Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Penerjemahan sastra merupakan bidang dalam kajian penerjemahan yang memiliki kompleksitas tinggi, karena tidak hanya berkaitan dengan alih bahasa semata, tetapi juga dengan pengalihan nilai-nilai estetik, emosi, gaya, serta konteks budaya yang melekat dalam teks sumber. Dalam kerangka ini, penerjemah sastra dituntut untuk memiliki kompetensi ganda: sebagai penerjemah profesional dan sebagai pembaca sastra yang peka terhadap makna tersirat dan keindahan ekspresif bahasa.
Menurut Bassnett (2002), penerjemahan sastra mencakup keterlibatan aktif penerjemah dalam menafsirkan konteks budaya dan struktur literer teks sumber, yang kemudian harus direpresentasikan kembali dalam bahasa sasaran. Ia menyatakan bahwa “literary translation involves far more than simply conveying information; it requires the translator to engage with the literary and cultural context of the source text and to recreate it in another language” (hlm. 22). Dengan demikian, penerjemahan sastra merupakan proses kreatif dan intelektual yang sejajar dengan proses menulis ulang (rewriting).
Mempertahankan suara penulis
Salah satu tantangan besar dalam penerjemahan sastra adalah bagaimana mempertahankan suara penulis (authorial voice), gaya naratif, dan nuansa emosional dari teks asli. Ini sering kali melibatkan keputusan sulit antara keakuratan literal dan keberterimaan stilistika. Sebagai contoh, dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, kalimat terkenal “You never really understand a person until you consider things from his point of view” diterjemahkan oleh Bakdi Soemanto menjadi “Kau takkan benar-benar memahami seseorang sampai kau melihat dari sudut pandangnya.” Terjemahan ini menunjukkan keberhasilan dalam mempertahankan pesan moral dan nada naratif sederhana namun kuat, yang menjadi ciri khas karya Lee.

Penerjemahan puisi menghadirkan tantangan tersendiri karena menggabungkan unsur bunyi, ritme, rima, dan struktur formal. Dalam hal ini, konsep dynamic equivalence yang dikembangkan oleh Nida (1964) menjadi relevan. Ia berpendapat bahwa keberhasilan penerjemahan tidak terletak pada kesepadanan leksikal, tetapi pada kemampuan untuk menghasilkan respons yang serupa dari pembaca sasaran. Ketika menerjemahkan puisi seperti “The Tyger” karya William Blake, penerjemah dihadapkan pada dilema antara mempertahankan bentuk puisi asli atau menyampaikan pesan filosofisnya secara efektif dalam bahasa sasaran.

Lefevere (1992) lebih jauh menyoroti bahwa penerjemahan sastra bukanlah proses netral, melainkan bentuk rewriting yang senantiasa dipengaruhi oleh ideologi, poetika, dan patronase yang berlaku dalam masyarakat target. Artinya, penerjemah tidak hanya bekerja dalam ruang linguistik, tetapi juga dalam sistem nilai dan kekuasaan tertentu. Ini bisa dilihat dalam bagaimana teks sastra asing disesuaikan untuk memenuhi norma moral, politik, atau estetika lokal.
Menjadi penafsir ulang
Dalam tataran praktik, penerjemahan sastra di Indonesia telah berkembang dengan dinamika yang menarik. Salah satu penerjemah sastra kontemporer yang produktif adalah Aan Mansyur, yang menerjemahkan karya-karya Ernest Hemingway, seperti The Old Man and the Sea. Hemingway dikenal dengan gaya penulisan yang hemat kata dan penuh ketegangan emosional. Dalam versi terjemahan Aan, kehematan itu tetap terjaga, dengan pilihan diksi yang padat dan ritmis. Ini menunjukkan bagaimana penerjemah perlu memahami tidak hanya isi teks, tetapi juga gaya dan atmosfer yang membentuknya.

Tidak hanya karya prosa dan puisi, genre drama juga menuntut kepekaan khusus dalam penerjemahan. Bahasa dalam drama sering kali bersifat idiomatis dan terkait erat dengan konteks budaya serta performatif. Maka dari itu, penerjemahan naskah drama menuntut perhatian terhadap dialog natural, register, dan kemungkinan performa dalam budaya target. Dalam hal ini, penerjemahan sastra bersinggungan langsung dengan studi teater dan performativitas.
Secara keseluruhan, penerjemahan sastra adalah arena yang mempertemukan bahasa dan budaya dalam bentuk paling kompleks, halus, dan manusiawi. Ia menuntut lebih dari sekadar keterampilan linguistik—ia menuntut kepekaan etis, estetika, dan intelektual. Penerjemah sastra tidak hanya menjembatani dua bahasa, tetapi juga dua dunia: dunia penciptaan dan dunia pembacaan ulang. Dalam proses ini, penerjemah menjadi penafsir yang menghadirkan kembali makna, emosi, dan imajinasi lintas batas geografis dan historis.
Sebagaimana ditekankan oleh Venuti (1995), penerjemahan sastra adalah tindakan yang mengandung pilihan ideologis: memilih kata adalah memilih nilai, dan menyuarakan makna adalah menyuarakan identitas. Dengan demikian, penerjemahan sastra bukan hanya bagian dari praktik kebahasaan, tetapi juga kontribusi terhadap dialog peradaban. Dalam setiap teks sastra yang diterjemahkan dengan cermat, ada upaya mempertahankan kemanusiaan dalam keragaman, dan dalam setiap pembacaan yang lintas bahasa, tersimpan harapan untuk memahami yang lain secara lebih utuh. Maka, penerjemahan sastra bukan hanya seni membaca dan menulis, tetapi juga seni memahami dan menjembatani dunia.
Untuk mengetahui selengkapnya tentang penerjemahan sastra, ikuti seri Pelatihan Penerjemahan Sastra yang diselenggarakan Jogja Literary Translation Club bekerja sama dengan Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma.
Seri 1 “Pengantar Penerjemahan Sastra”
19 Mei 2025, 19:00-21:00 WIB

Pustaka
Bassnett, S. (2002). Translation studies (3rd ed.). Routledge.
Blake, W. (1794). The Tyger, dalam Songs of Experience.
Lee, H. (2010). To Kill a Mockingbird (terj. B. Soemanto). Qanita. (Karya asli diterbitkan 1960)
Lefevere, A. (1992). Translation, rewriting, and the manipulation of literary fame. Routledge.
Nida, E. A. (1964). Toward a science of translating: With special reference to principles and procedures involved in Bible translating. Brill.
Venuti, L. (1995). The translator’s invisibility: A history of translation. Routledge.