Kontribusi Komunitas

Pengetahuan Dasar Kontrak bagi Penerjemah: Melindungi Diri dengan Perjanjian

Prayudi Wijaya, M.A., CPCD.
Penerjemah Tersumpah, 
Asesor Kompetensi Bidang Hukum Bisnis Indonesia
www.pw-translation.com
JLTC 0203

Kontrak adalah salah satu aspek yang cukup sering diabaikan—bahkan disepelekan—oleh para penerjemah. Padahal, keberadaan kontrak atau perjanjian amat penting bagi para pekerja jasa seperti penerjemah, utamanya dalam melindungi hak-hak si penerjemah, juga klien yang menyewa jasanya. 

Saya sering mendengar berbagai cerita tentang penerjemah yang dimanfaatkan oleh para oknum yang menyewa jasanya dengan perjanjian lisan bahwa penerjemah baru akan dibayar setelah terjemahan dikirimkan kepadanya, lalu menghilang begitu saja begitu terjemahan—yang susah-payah dihasilkan oleh si penerjemah—diterimanya. 

Bagi para penerjemah yang menerapkan kebijakan bekerja di depan dan dibayar di belakang, saya menyarankan dinormalisasinya meminta calon klien menyetujui kontrak penyediaan jasa untuk meminimalisasi terjadinya insiden “klien menghilang” ini.

Lantas apa itu kontrak dan bagaimana kontrak yang baik untuk jasa penerjemahan?

Pada prinsipnya, kontrak adalah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Karena bentuknya tertulis, kontrak lebih kuat dalam hal pembuktian, sehingga lebih dapat ditegakkan keberlakuannya. Sistem hukum perdata di Indonesia tidak mengatur bagaimana bentuk kontrak yang baik, tetapi untuk mencapai keabsahan hukum, Pasal 1320 KUHPer mengatur sebuah kontrak harus memenuhi empat persyaratan:

  • adanya kesepakatan—dalam hal ini tidak ada paksaan baik dari penerjemah, klien, maupun pihak lain;
  • adanya kecakapan para pihak—dalam hal ini penerjemah dan klien (atau wakilnya) cukup umur dan sehat rohani
  • adanya suatu hal tertentu—dalam hal ini objeknya berupa jasa penerjemahan; dan
  • adanya sebab yang halal—dalam hal ini tidak ada undang-undang yang dilanggar dengan melakukan pekerjaan penerjemahan.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kontrak yang baik adalah kontrak yang dapat mengantisipasi sebanyak mungkin hal yang mungkin terjadi selama pelaksanaannya. Menyoal penyediaan jasa penerjemahan sendiri, menurut hemat saya kontrak yang layak digunakan perlu memuat beberapa ketentuan penting sebagai berikut:

Jenis pekerjaan. Sebutkan dengan jelas judul atau nama teks yang diterjemahkan, volumenya, dan outputnya. Ini juga mencakup ruang lingkup pekerjaan, misalnya hanya menerjemahkan, memperbaiki teks sumber sebelum menerjemahkannya, menerjemahkan sembari memformat hasil terjemahan hingga layak terbit, dll. Tegaskan juga apa ada layanan revisi yang diberikan, dan, jika ada, berapa banyak dan revisi yang seperti apa. Yang terakhir, perlu juga disepakati perlu atau tidaknya pembayaran tambahan apabila terdapat pekerjaan yang muncul atau diminta di luar hal-hal yang diatur di sini.

Jangka waktu pekerjaan. Tuangkan dengan detail berapa lama waktu untuk menerjemahkan, berapa lama waktu klien memeriksa hasil terjemahan dan meminta revisi, dan berapa lama penerjemah harus memberikan naskah final sesuai revisi yang diminta klien.

Nilai pekerjaan dan pembayaran. Sebutkan secara jelas berapa nilai pekerjaan. Nilai ini bisa dihitung berdasarkan volume pekerjaan atau sebagai bundel solusi, sesuai kebiasaan praktik penerjemah. Tentukan apakah nilai yang tertera sudah termasuk pajak, serta tenggat pembayaran.

Keadaan memaksa. Apa saja hal-hal yang di luar kuasa penerjemah maupun klien yang dapat memaksa keduanya atau salah satunya untuk setidaknya menunda pelaksanaan kewajibannya (menyelesaikan terjemahan atau membayar uang muka), dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.

Sengketa, pelanggaran, dan ganti rugi. Jika salah satu pihak melanggar atau terlambat menunaikan kewajiban kontraknya, apa ganti rugi yang akan diberikan kepada pihak lain yang dirugikan, misalnya berupa denda keterlambatan. Lalu, sebutkan setelah berapa lama salah satu pihak “menghilang” (ghosting) dapat dianggap sebagai pelanggaran yang memberi hak bagi pihak lain yang dirugikan untuk menggugat.

Hukum dan bahasa. Jika kontrak melibatkan dua pihak yang berasal dari negara yang berbeda, perlu juga ditetapkan hukum yang menjadi acuan, yang disebut governing law, beserta pengadilan mana yang dipilih sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa. Dalam kasus ini, bahasa resmi komunikasi dan bahasa acuan kontrak (jika dibuat dwibahasa) juga perlu disepakati.

Berakhirnya kontrak. Nyatakan bagaimana dan kapan kontrak diakhiri atau berakhir dengan sendirinya. Lalu, jika kontrak berakhir sebelum waktunya (pengakhiran lebih awal), misalnya jika pekerjaan dibatalkan sebelum terjadi, tentukan apakah akan ada pembayaran sebagian (jika pembatalan oleh klien), ganti rugi (jika pembatalan oleh penerjemah).

Kerahasiaan. Acap kali, pekerjaan penerjemahan berkaitan dengan dokumen yang sifatnya rahasia atau pribadi, sehingga diperlukan perlindungan atau kerahasiaan informasi. Dalam kasus ini, tentukan apa saja yang termasuk informasi rahasia dan apa yang tidak, lalu berapa lama kerahasiaan harus dijaga.

Lain-lain. Beberapa ketentuan lain yang sebaiknya ada di antaranya penentuan media komunikasi resmi (email atau telepon) tempat permohonan atau pertanyaan akan dikirimkan. Jika email disepakati sebagai media resmi, percakapan via WhatsApp mungkin tidak bisa dijadikan bukti jika terjadi sengketa di pengadilan.

Sebagai catatan penutup, mungkin memang tidak semua proyek perlu kontrak formal. Namun, jika Anda pernah mengalami satu saja kasus “klien menghilang”, Anda tentu paham bahwa sebuah kontrak sederhana bisa menjadi penyelamat. Mulailah dari yang sederhana, yang penting tertulis, disepakati, dan masuk akal. Dengan mengikatkan diri dan calon klien dalam suatu kontrak, penerjemah dapat bekerja dengan lebih baik karena meyakini hak-haknya terlindungi.

Teori Penerjemahan: Fondasi Penting bagi Penerjemah Pemula

Anis Zulfi Amalia

Penerjemah Purna Waktu

JLTC 0145

Penerjemahan merupakan kegiatan mengalihbahasakan teks sumber ke teks sasaran dengan tujuan untuk menyampaikan pesan, makna, dan konteks yang utuh. Untuk menjadi profesional, penerjemah dituntut tidak hanya menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga memahami teori dan konsep yang mendasari praktik penerjemahan. 

Teori penerjemahan memiliki nilai yang sama pentingnya dengan praktik penerjemahan. Berikut adalah beberapa teori penerjemahan yang harus dipelajari oleh penerjemah pemula.

Teori Kesetiaan (Loyalty Theory)

Teori ini berfokus pada seberapa konsisten teks yang diterjemahkan dalam mengikuti teks asli. Teori kesetiaan ini mempertahankan arti, nuansa, dan gaya bahasa sumber  sebanyak mungkin namun tidak mewajibkan teks terjemahan harus sama persis dengan teks sumbernya secara harfiah. Teori ini mengakui bahwa pada kasus tertentu, penyesuaian hasil terjemahan harus dilakukan untuk membuat teks yang diterjemahkan lebih mudah dimengerti oleh audiens sasaran. Jadi, seorang penerjemah tidak sepatutnya hanya menerjemahkan teks secara literal kata demi kata, melainkan juga perlu memperhatikan makna yang dihasilkan pada teks sasaran apakah sudah sesuai atau tidak.

Teori Relevansi (Relevance Theory)

Dalam kegiatan penerjemahan, teori relevansi menekankan bahwa penerjemah harus menghasilkan terjemahan yang mampu membuat teks asli dapat dipahami dan disampaikan secara efektif dalam teks sasaran.  Penerjemah harus memusatkan perhatiannya untuk menentukan bagian mana dari teks asli yang paling relevan dan penting untuk disampaikan dalam teks sasaran.

Dengan demikian, penerjemah tidak hanya menerjemahkan makna kata demi kata tetapi juga memahami konteks dan tujuan asli dari teks tersebut. Penerjemah harus memastikan bahwa hasil terjemahan tidak hanya akurat secara linguistik tetapi juga berhasil menyampaikan pesan dengan relevansi yang sama atau lebih tinggi dalam teks sasaran.

Teori Skopos (Skopos Theory)

Skopos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tujuan”. Teori ini mengubah pandangan tradisional yang menganggap bahwa praktik penerjemahan yang awalnya harus terfokus pada kesetiaan teks sumber menjadi pendekatan yang lebih terfokus pada tujuan dan fungsi teks dalam konteks penerjemahan. Teori ini mengharuskan penerjemah untuk memprioritaskan kebutuhan dan pemahaman pembaca dalam bahasa sasaran. Seorang penerjemah harus memahami mengapa teks tersebut diterjemahkan dan untuk siapa teks tersebut ditujukan. 

Dalam teori ini, kesetiaan bukanlah prioritas utama. Kadang kala, penerjemah perlu mengorbankan kesetiaan terhadap suatu kata atau struktur kalimat asli untuk mencapai hasil terjemahan yang sesuai dalam teks sasaran.

Teori Adaptasi (Adaptation Theory)

Teori ini menekankan pentingnya adaptasi atau modifikasi teks sumber agar mampu menjembatani perbedaan budaya, bahasa, dan konteks dalam teks sasaran. Teori adaptasi menunjukkan bahwa tidak semua teks dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam teks sasaran.

Prinsip utama dalam teori ini adalah menekankan fleksibilitas dalam proses penerjemahan. Artinya, penerjemah dapat mengubah struktur kalimat, menambahkan atau menghapus informasi teks asli agar lebih sesuai dengan teks sasaran.

Teori adaptasi ini juga cenderung mengadaptasi budaya bahasa sumber yang melekat pada gaya bahasa serta strukturnya.  Penerjemah yang menggunakan teori ini diharapkan dapat mencapai efektivitas komunikatif dalam bahasa sasaran Teori ini sangat relevan untuk digunakan dalam menerjemahkan teks-teks yang memiliki elemen-elemen yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah atau terdapat perbedaan besar dalam budaya dan norma antara bahasa teks sumber dan bahasa teks sasaran.

Teori Komunikasi (Communication Theory)

Teori komunikasi merupakan teori yang menitikberatkan bentuk komunikasi pada kegiatan penerjemahan serta pesan yang akan disampaikan dalam terjemahan tetap efektif dalam teks sasaran. Komunikasi antara penulis dan pembaca akan terjadi secara tidak langsung apabila penerjemah dapat mempraktikkan teori komunikasi ini dengan baik.

Dalam teori ini, penerjemah harus menata ulang, menggunakan kolokasi dan kosa kata yang lebih umum agar menjadi lancar, autentik, dan ringkas. Selain itu, penerjemah juga harus menyesuaikan hubungan logis teks asli, memperjelas konsep yang ambigu, menghapus pengulangan kata, dan menjadikan bahasa yang unik menjadi bahasa yang lebih umum.

Dengan demikian, terjemahan yang diperoleh adalah terjemahan yang lebih sederhana, jelas, lugas, dan sesuai dengan kebiasaan maupun adat dari bahasa sasaran. Tujuan utama dari penggunaan teori ini adalah penerjemah berhasil menyampaikan pesan teks sumber dengan relevansi dan efektivitas komunikasi dalam bahasa sasaran.

Teori Fungsional (Functional Theory)

Menurut teori ini, penerjemahan harus dilakukan sesuai dengan fungsi dan tujuan teks sasaran. Pada dasarnya, teori fungsional berfokus pada kebutuhan pembaca dalam bahasa sasaran sehingga penerjemah harus memastikan teks sasaran mudah dimengerti oleh audiens sasaran. Penerjemah dianggap sebagai mediator komunikatif yang bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan dengan tujuan tertentu dalam konteks yang spesifik.

Penerjemah harus memastikan bahwa tujuan teks sumber tercapai dalam teks sasaran. Terkadang, penerjemah juga harus kreatif dalam memilih kata dan struktur kalimat yang paling sesuai agar tujuan komunikatif teks tersebut terpenuhi. Teori ini mampu mempertahankan kesetiaan terhadap tujuan komunikatif tanpa harus menerjemahkan teks asli secara harfiah.

Dengan mempelajari prinsip-prinsip dasar di balik teori-teori penerjemahan di atas, penerjemah pemula dapat memperbaiki keterampilan mereka dalam menyampaikan pesan secara efektif dalam bahasa sasaran serta akan lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul dalam praktik penerjemahan. Selain itu, terjun langsung dalam praktik penerjemahan juga dapat membantu mengembangkan keterampilan penerjemahan dan menjadi seorang penerjemah yang lebih kompeten dan efektif.