Jogja Literary Translation Club

Menjaga Bahasa, Menjaga Bumi: Greenwashing dan Tantangan Eco-Translation di Indonesia

Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Bayangkan suatu hari Anda sedang scrolling media sosial, lalu muncul iklan sebuah perusahaan besar dengan visual menenangkan: hutan hijau, sungai jernih, anak-anak tersenyum memungut sampah dari pantai. Di pojok bawah, ada logo perusahaan tersebut, yang Anda tahu, di balik layar, justru sering diberitakan terkait pencemaran lingkungan. Inilah yang disebut greenwashing (pencucian hijau): seni mengemas citra hijau tanpa tindakan nyata. Tulisan berikut ini merupakan pengantar dari tulisan saya yang lebih mendetail yang dimuat dalam buku Ekologi dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Budaya.

Greenwashing bukan hal baru. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Jay Westerveld pada 1986 saat mengkritik hotel yang meminta tamu “hemat handuk demi lingkungan”, padahal jejak ekologis hotel itu justru tak berkurang. Di Indonesia, praktik ini makin marak sejak isu keberlanjutan menjadi tren global. Banyak perusahaan, dari sawit, energi, hingga startup fintech, mulai menggunakan kata-kata seperti “ramah lingkungan”, “net zero”, atau “berkelanjutan”, meskipun praktiknya masih jauh dari klaim tersebut.

Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah kasus Asia Pulp & Paper (APP). Perusahaan ini pernah mengumumkan kebijakan zero deforestation. Namun, investigasi dari Eyes on the Forest dan Greenpeace membuktikan bahwa rantai pasoknya masih terkait dengan pembalakan liar di Sumatra dan Kalimantan. Di sisi lain, laporan media internasional seperti Eco-Business dan Earth Journalism juga mengungkap bagaimana perusahaan-perusahaan besar di Indonesia berusaha membangun citra hijau melalui laporan tahunan dan video promosi, meskipun dampak riil terhadap lingkungan seringkali minim.

Masalahnya, greenwashing ini tidak hanya terjadi di tataran komunikasi visual atau iklan. Ia juga masuk ke dalam teks-teks korporasi yang diterjemahkan dan disebarluaskan, baik dalam laporan keberlanjutan, siaran pers, maupun kampanye pemasaran global. Di sinilah peran eco-translation menjadi penting.

Apa itu eco-translation?

Eco-translation (eko-terjemahan) adalah pendekatan penerjemahan yang tidak hanya memikirkan bagaimana teks bisa terbaca secara linguistik, tetapi juga bagaimana teks itu berdampak secara ekologis. Michael Cronin, dalam bukunya Translation and Globalization, menyebut bahwa penerjemahan bukan sekadar soal memindahkan kata, melainkan juga memindahkan nilai dan ideologi. Dalam konteks lingkungan, penerjemah memiliki peran ganda: sebagai komunikator dan penjaga etika.

Bayangkan ketika sebuah perusahaan multinasional menugaskan penerjemah untuk mengalihbahasakan klaim “Our products are carbon neutral by 2030.” Jika penerjemah hanya mengalihbahasakan secara literal menjadi “Produk kami akan netral karbon pada 2030”, maka ia sedang menjadi bagian dari strategi greenwashing, terlebih jika perusahaan tersebut tidak menjelaskan bagaimana prosesnya, apakah lewat pengurangan emisi nyata atau hanya dengan membeli offset yang tidak jelas.

Dalam praktik eco-translation, penerjemah disarankan menambahkan klarifikasi, misalnya dengan catatan kaki atau penjelasan tambahan. Jika ada klaim “sustainable palm oil”, penerjemah bisa menulis “minyak sawit berkelanjutan (mengacu pada standar RSPO, yang meskipun diakui internasional, masih memiliki kritik terkait deforestasi di area bersertifikat)”. Dengan begitu, penerjemah membantu pembaca untuk tidak sekadar menerima informasi secara pasif, tetapi mengajak berpikir kritis terhadap klaim hijau yang beredar.

Masalah lain adalah ketika istilah asing langsung diterjemahkan tanpa mempertimbangkan budaya lokal. Istilah “carbon neutral”, misalnya, sering diartikan mentah-mentah sebagai “netral karbon”, yang bagi sebagian masyarakat tidak bermakna apa-apa. Padahal, yang lebih efektif adalah menjelaskan konsepnya: pengurangan emisi dan pengimbangan melalui reboisasi atau proyek lingkungan lain, tentu dengan transparansi yang jelas.

Di Indonesia, literasi tentang greenwashing masih rendah. Sebuah survei yang dilakukan di sektor fintech menunjukkan bahwa meskipun banyak konsumen memberikan penilaian positif terhadap “green marketing”, banyak di antara mereka yang sebenarnya tidak tahu apakah klaim itu benar atau hanya sebatas gimmick. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya regulasi terkait komunikasi lingkungan. Belum ada aturan tegas di Indonesia yang secara khusus mengatur batasan greenwashing seperti di Uni Eropa atau Jerman, yang pada 2024 mulai mewajibkan perusahaan membuktikan setiap klaim netralitas karbon dengan data yang jelas dan dapat diaudit.

Dilema bagi penerjemah

Bagi para penerjemah, terutama yang sering bekerja dengan teks korporasi atau laporan keberlanjutan, situasi ini menimbulkan dilema etis. Di satu sisi, mereka adalah profesional yang bertugas menerjemahkan sesuai permintaan klien. Di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menjadi bagian dari rantai misinformasi lingkungan. Eco-translation bisa menjadi jalan tengah, yaitu penerjemah tetap menjalankan tugas linguistiknya, tetapi dengan tambahan konteks, verifikasi data, atau bahkan penolakan halus terhadap teks yang jelas-jelas menyesatkan.

Praktik ini sudah mulai diterapkan di beberapa komunitas penerjemahan internasional. Di Inggris, Translators for Climate Action mendorong penerjemah untuk menolak proyek yang mempromosikan greenwashing. Di Prancis, ada gerakan serupa di kalangan jurnalis lingkungan dan penerjemah media. Di Indonesia sendiri, wacana ini masih sangat baru. Komunitas seperti Jogja Literary Translation Club bisa menjadi pelopor dengan mengadakan diskusi, workshop, atau bahkan menyusun kode etik terkait eco-translation.

Sebagai penerjemah, kita sering dianggap sebagai pihak yang “hanya memindahkan bahasa”. Namun sesungguhnya, kita juga memindahkan makna, nilai, dan bahkan dampak sosial. Di era krisis iklim seperti sekarang, tanggung jawab itu menjadi semakin besar. Jangan sampai teks yang kita terjemahkan malah memperkuat greenwashing yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Sudah saatnya kita melihat penerjemahan bukan hanya sebagai kerja bahasa, tetapi juga kerja ekologis—kerja yang membantu menjaga bumi lewat kata-kata yang jujur dan transparan.

Pustaka

Cronin, M. (2003). Translation and globalization. Routledge.

Earth Journalism Network. (2022). Green scandal: How Indonesia’s pulp industry misleads the world’s fashion brands. Earth Journalism Network. https://earthjournalism.net/stories/green-scandal-how-indonesias-pulp-industry-misleads-the-worlds-fashion-brands

Eco-Business. (2023). Greenwashing raises red flags among Indonesian consumers. Eco-Business. https://www.eco-business.com/news/greenwashing-raises-red-flags-among-indonesian-consumers/

European Commission. (2024). Proposal for a directive on green claims. European Commission. https://ec.europa.eu/environment/publications/proposal-directive-green-claims_en

Eyes on the Forest. (2022). APP’s deforestation footprint. Eyes on the Forest. https://eyesontheforest.or.id/

Hu, G. (2003). Eco-translatology: A primer. The Commercial Press.

Lyon, T. P., & Montgomery, D. (2015). The means and end of greenwash. Organization & Environment, 28(2), 223–249. https://doi.org/10.1177/1086026615575332

Tercek, M. R., & Adams, J. S. (2013). Nature’s fortune: How business and society thrive by investing in nature. Basic Books.

Westerveld, J. (1986). The greenwashing phenomenon. [Unpublished essay].

Mengurai Deforming Tendencies: Ketika Terjemahan Sastra Kehilangan Jiwa

Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Dalam dunia penerjemahan sastra, kita sering berhadapan dengan dilema klasik: mempertahankan nuansa orisinal atau menyesuaikan dengan pembaca baru. Di antara banyak pemikir yang mencoba menjawab tantangan ini, Antoine Berman menonjol lewat gagasannya yang terkenal: Deforming Tendencies. Gagasan ini bukan hanya mengkritik praktik terjemahan yang terlalu bebas, tetapi juga membuka jalan bagi pendekatan yang lebih etis terhadap karya sastra asing.

Melawan etos ethnocentric

Antoine Berman (1942–1991), seorang filsuf dan teoretikus penerjemahan asal Prancis, mengemukakan deforming tendencies dalam esainya yang berpengaruh berjudul “La traduction et la lettre ou l’auberge du lointain” (1985). Esai ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lawrence Venuti dalam buku The Translation Studies Reader (Venuti, 2012).

Berman menilai bahwa banyak praktik penerjemahan cenderung etnosentris, yakni membentuk ulang teks asing agar terasa seolah-olah berasal dari budaya si pembaca, bukan dari “yang lain”. Menurut Berman, hal ini bukan hanya menghilangkan kekhasan teks sumber, tetapi juga bentuk kekerasan simbolik terhadap keberadaan budaya asing.

Karena itulah, ia menyusun 12 deforming tendencies atau dua belas kecenderungan yang secara sistemik mengubah atau mendistorsi teks sastra ketika diterjemahkan.

Dua belas tendensi yang mengubah teks

Berikut adalah ringkasan dua belas deformasi versi Berman. Untuk versi lengkapnya silakan melihat tulisan Yusuf Arimatea Neno berjudul “Deforming Tendencis dalam Penerjemahan: Telaah atas Gagasan Antoine Berman

1. Rasionalisasi (rationalization): Penyesuaian atau pengubahan struktur sintaksis agar tampak lebih logis atau sistematis dalam bahasa sasaran.

2. Klarifikasi (clarification): Menambahkan penjelasan atau memperjelas makna yang sebenarnya dibiarkan implisit dalam teks sumber.

3. Ekspansi (expansion): Hasil terjemahan menjadi lebih panjang dari teks asli karena penambahan yang tidak perlu.

4. Pemuliaan gaya (ennoblement): Gaya bahasa disesuaikan atau dipoles hingga terdengar lebih tinggi atau lebih elegan daripada gaya asli penulis.

5. Pemiskinan kualitatif (qualitative impoverishment): Kehilangan warna atau ragam leksikal akibat penggantian kata yang khas dengan kata yang lebih netral.

6. Pemiskinan kuantitatif (quantitative impoverishment): Pengurangan jumlah pengulangan kata atau struktur khas yang menjadi gaya retoris penulis.

7. Penghancuran ritme (destruction of rhythms): Hilangnya irama khas, jeda, atau musikalitas yang ditanamkan dalam struktur kalimat sumber.

8. Penghancuran jaringan makna bawah permukaan (destruction of underlying networks of signification): Mengabaikan keterkaitan simbolik atau tema implisit dalam teks sumber.

9. Penghancuran pola linguistik  (destruction of linguistic patternings): Merusak pola atau konsistensi stilistik tertentu dari bahasa penulis.

10. Penghancuran ragam lokal atau pengeksotisan (destruction of vernacular networks or exoticitazation): Menghilangkan dialek atau idiom lokal, atau malah membumbuinya agar terasa ‘asing’ secara stereotipikal.

11. Penghancuran ekspresi dan idiom (destruction of expressions and idioms): Mengganti atau menghilangkan ungkapan khas dan idiomatik dari bahasa sumber.

12. Penghapusan tumpang tindih bahasa (effacement of the superimposition of languages): Menghilangkan jejak multibahasa atau percampuran register/bahasa yang disengaja dalam teks asli.

Tendensi tersebut, kata Berman, tidak sekadar kesalahan teknis. Mereka mencerminkan sikap ideologis terhadap bahasa dan budaya asing: ketidakmampuan menerima “yang asing” (l’étranger).

Contoh kasus: Laskar Pelangi yang dirapikan

Salah satu contoh nyata deforming tendencies dapat ditemukan dalam terjemahan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata oleh John H. McGlynn.

Dalam kalimat sederhana dan metaforis, “Aku hanya bisa diam. Seperti batu,” kekuatan stilistik bahasa sumber bertumpu pada citraan konkret yang membekas secara emosional. Namun dalam terjemahan Bahasa Inggris, kalimat tersebut diubah menjadi “I remained silent, frozen in place.”

Terjemahan tersebut, meskipun lebih idiomatis dan alami bagi pembaca berbahasa Inggris, mencerminkan kecenderungan rationalization dan destruction of idioms sebagaimana diuraikan Berman, yakni penyusunan ulang struktur dan penghilangan kekhasan ekspresi lokal demi keterbacaan.

Gaya tutur yang puitik dan khas dalam teks asli menjadi lebih datar dan teratur dalam terjemahan, sehingga kehilangan kekuatan retoris yang menyentuh dan kedekatan kultural dengan pembaca Indonesia.

Kontribusi terhadap dunia penerjemahan sastra

Gagasan deforming tendencies membawa pengaruh besar dalam teori penerjemahan sastra, terutama dalam mendukung pendekatan foreignizing yang diusung Lawrence Venuti. Pendekatan ini menolak menyesuaikan teks sumber ke dalam bahasa target secara berlebihan dan justru mengedepankan “asingnya” teks untuk memelihara keotentikan budaya.

Dalam praktiknya, deforming tendencies juga menjadi alat evaluasi dan kritik yang berguna. Seorang penerjemah dapat mengecek apakah hasil kerjanya sudah “menghormati” teks sumber atau tidak, apakah ia tanpa sadar “melatih” kecenderungan deformasi tertentu.

Tidak heran, para akademisi dalam translation studies menggunakan kerangka Berman untuk menelaah penerjemahan karya sastra klasik maupun kontemporer. Contohnya, analisis terhadap penerjemahan puisi Pablo Neruda (Susam-Sarajeva, 2003) atau karya Dostoyevsky yang diterjemahkan ke bahasa Prancis dan Inggris.

Kritik dan relevansi hari ini

Tentu, gagasan Berman bukan tanpa kritik. Beberapa penerjemah berpendapat bahwa tidak semua deformasi dapat dihindari. Kadang-kadang, klarifikasi atau ekspansi diperlukan agar pembaca modern tetap memahami konteks. Ada pula yang menyatakan bahwa Berman terlalu idealistik, melupakan kenyataan bahwa penerjemahan juga bergantung pada penerbit, pasar, bahkan sensor politik.

Meski demikian, semangat Berman tetap relevan hari ini, di tengah derasnya arus globalisasi. Di era ketika terjemahan bisa dilakukan oleh mesin dan disesuaikan dengan klik, mempertahankan “keasingan” adalah tindakan yang hampir subversif dan sangat manusiawi.

Menjadi penerjemah yang sadar

Antoine Berman mengingatkan kita bahwa menerjemahkan adalah tindakan etis dan politis. Ia bukan sekadar memindahkan kata dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi menghadirkan suara, ritme, dan jiwa dari “yang asing” ke tengah ruang bahasa kita. Ketika seorang penerjemah sadar akan deformasi yang mungkin terjadi, ia bisa membuat pilihan yang lebih jujur dan penuh tanggung jawab.

Seperti yang ditulis Berman sendiri, “A translation that does not aim at the letter is an ethnocentric transformation of the foreign work.” (2000: 276). Maka, barangkali tugas penerjemah sastra bukan sekadar membuat pembaca merasa nyaman tetapi justru mengganggu kenyamanan itu demi kebenaran estetik dan budaya.

Pustaka

Berman, A. (1985). La traduction et la lettre ou l’auberge du lointain. In Les Tours de Babel. Gallimard.

Berman, A. (2000). Translation and the trials of the foreign (L. Venuti, Trans.). In L. Venuti (Ed.), The translation studies reader (pp. 276–289). Routledge.

Susam-Sarajeva, Ş. (2003). “Translation and Travelling Theory: Feminist Theory in Turkey.” Target, 15(1), 1–36.

Venuti, L. (1995). The Translator’s Invisibility: A History of Translation. Routledge.

Venuti, L. (Ed.). (2012). The Translation Studies Reader (3rd ed.). Routledge.