May 14, 2025

Teori Penerjemahan: Fondasi Penting bagi Penerjemah Pemula

Anis Zulfi Amalia

Penerjemah Purna Waktu

JLTC 0145

Penerjemahan merupakan kegiatan mengalihbahasakan teks sumber ke teks sasaran dengan tujuan untuk menyampaikan pesan, makna, dan konteks yang utuh. Untuk menjadi profesional, penerjemah dituntut tidak hanya menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga memahami teori dan konsep yang mendasari praktik penerjemahan. 

Teori penerjemahan memiliki nilai yang sama pentingnya dengan praktik penerjemahan. Berikut adalah beberapa teori penerjemahan yang harus dipelajari oleh penerjemah pemula.

Teori Kesetiaan (Loyalty Theory)

Teori ini berfokus pada seberapa konsisten teks yang diterjemahkan dalam mengikuti teks asli. Teori kesetiaan ini mempertahankan arti, nuansa, dan gaya bahasa sumber  sebanyak mungkin namun tidak mewajibkan teks terjemahan harus sama persis dengan teks sumbernya secara harfiah. Teori ini mengakui bahwa pada kasus tertentu, penyesuaian hasil terjemahan harus dilakukan untuk membuat teks yang diterjemahkan lebih mudah dimengerti oleh audiens sasaran. Jadi, seorang penerjemah tidak sepatutnya hanya menerjemahkan teks secara literal kata demi kata, melainkan juga perlu memperhatikan makna yang dihasilkan pada teks sasaran apakah sudah sesuai atau tidak.

Teori Relevansi (Relevance Theory)

Dalam kegiatan penerjemahan, teori relevansi menekankan bahwa penerjemah harus menghasilkan terjemahan yang mampu membuat teks asli dapat dipahami dan disampaikan secara efektif dalam teks sasaran.  Penerjemah harus memusatkan perhatiannya untuk menentukan bagian mana dari teks asli yang paling relevan dan penting untuk disampaikan dalam teks sasaran.

Dengan demikian, penerjemah tidak hanya menerjemahkan makna kata demi kata tetapi juga memahami konteks dan tujuan asli dari teks tersebut. Penerjemah harus memastikan bahwa hasil terjemahan tidak hanya akurat secara linguistik tetapi juga berhasil menyampaikan pesan dengan relevansi yang sama atau lebih tinggi dalam teks sasaran.

Teori Skopos (Skopos Theory)

Skopos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tujuan”. Teori ini mengubah pandangan tradisional yang menganggap bahwa praktik penerjemahan yang awalnya harus terfokus pada kesetiaan teks sumber menjadi pendekatan yang lebih terfokus pada tujuan dan fungsi teks dalam konteks penerjemahan. Teori ini mengharuskan penerjemah untuk memprioritaskan kebutuhan dan pemahaman pembaca dalam bahasa sasaran. Seorang penerjemah harus memahami mengapa teks tersebut diterjemahkan dan untuk siapa teks tersebut ditujukan. 

Dalam teori ini, kesetiaan bukanlah prioritas utama. Kadang kala, penerjemah perlu mengorbankan kesetiaan terhadap suatu kata atau struktur kalimat asli untuk mencapai hasil terjemahan yang sesuai dalam teks sasaran.

Teori Adaptasi (Adaptation Theory)

Teori ini menekankan pentingnya adaptasi atau modifikasi teks sumber agar mampu menjembatani perbedaan budaya, bahasa, dan konteks dalam teks sasaran. Teori adaptasi menunjukkan bahwa tidak semua teks dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam teks sasaran.

Prinsip utama dalam teori ini adalah menekankan fleksibilitas dalam proses penerjemahan. Artinya, penerjemah dapat mengubah struktur kalimat, menambahkan atau menghapus informasi teks asli agar lebih sesuai dengan teks sasaran.

Teori adaptasi ini juga cenderung mengadaptasi budaya bahasa sumber yang melekat pada gaya bahasa serta strukturnya.  Penerjemah yang menggunakan teori ini diharapkan dapat mencapai efektivitas komunikatif dalam bahasa sasaran Teori ini sangat relevan untuk digunakan dalam menerjemahkan teks-teks yang memiliki elemen-elemen yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah atau terdapat perbedaan besar dalam budaya dan norma antara bahasa teks sumber dan bahasa teks sasaran.

Teori Komunikasi (Communication Theory)

Teori komunikasi merupakan teori yang menitikberatkan bentuk komunikasi pada kegiatan penerjemahan serta pesan yang akan disampaikan dalam terjemahan tetap efektif dalam teks sasaran. Komunikasi antara penulis dan pembaca akan terjadi secara tidak langsung apabila penerjemah dapat mempraktikkan teori komunikasi ini dengan baik.

Dalam teori ini, penerjemah harus menata ulang, menggunakan kolokasi dan kosa kata yang lebih umum agar menjadi lancar, autentik, dan ringkas. Selain itu, penerjemah juga harus menyesuaikan hubungan logis teks asli, memperjelas konsep yang ambigu, menghapus pengulangan kata, dan menjadikan bahasa yang unik menjadi bahasa yang lebih umum.

Dengan demikian, terjemahan yang diperoleh adalah terjemahan yang lebih sederhana, jelas, lugas, dan sesuai dengan kebiasaan maupun adat dari bahasa sasaran. Tujuan utama dari penggunaan teori ini adalah penerjemah berhasil menyampaikan pesan teks sumber dengan relevansi dan efektivitas komunikasi dalam bahasa sasaran.

Teori Fungsional (Functional Theory)

Menurut teori ini, penerjemahan harus dilakukan sesuai dengan fungsi dan tujuan teks sasaran. Pada dasarnya, teori fungsional berfokus pada kebutuhan pembaca dalam bahasa sasaran sehingga penerjemah harus memastikan teks sasaran mudah dimengerti oleh audiens sasaran. Penerjemah dianggap sebagai mediator komunikatif yang bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan dengan tujuan tertentu dalam konteks yang spesifik.

Penerjemah harus memastikan bahwa tujuan teks sumber tercapai dalam teks sasaran. Terkadang, penerjemah juga harus kreatif dalam memilih kata dan struktur kalimat yang paling sesuai agar tujuan komunikatif teks tersebut terpenuhi. Teori ini mampu mempertahankan kesetiaan terhadap tujuan komunikatif tanpa harus menerjemahkan teks asli secara harfiah.

Dengan mempelajari prinsip-prinsip dasar di balik teori-teori penerjemahan di atas, penerjemah pemula dapat memperbaiki keterampilan mereka dalam menyampaikan pesan secara efektif dalam bahasa sasaran serta akan lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul dalam praktik penerjemahan. Selain itu, terjun langsung dalam praktik penerjemahan juga dapat membantu mengembangkan keterampilan penerjemahan dan menjadi seorang penerjemah yang lebih kompeten dan efektif.

Mewaspadai Teman Palsu dalam Penerjemahan Teks Hukum

Prayudi Wijaya, M.A., CPCD.
Penerjemah Tersumpah, 
Asesor Kompetensi Bidang Hukum Bisnis Indonesia
www.pw-translation.com
JLTC 0203

Dalam konteks penerjemahan, istilah false friends dipahami sebagai pasangan kata dalam dua bahasa yang bentuknya terlihat serupa, namun maknanya berbeda—terkadang bahkan amat jauh. Dalam konteks penerjemahan hukum, hal ini menjadi makin penting, dan tak jarang menghasilkan kesalahan konseptual yang cukup—kalau tidak bisa dibilang sangat—fatal. Ketidakpekaan dalam membedakan makna acap menimbulkan salah pemahaman dan berkurangnya relevansi teks, bahkan munculnya risiko hukum.

False friends yang paling sering disalahkenali dalam terjemahan hukum Indonesia–Inggris adalah pasangan yang bentuknya seperti serapan satu sama lain. Berikut beberapa contohnya:

minuta (ID) ≠ minutes (EN) 

Dalam konteks kenotariatan Indonesia, minuta adalah naskah asli akta notaris yang telah ditandatangani oleh para pihak dan disimpan oleh notaris sebagai bagian dari protokol notaris. Istilah ini amat berbeda dengan kata minutes dalam bahasa Inggris yang berarti notulen atau ringkasan hasil rapat.

konvensi (ID) ≠ convention (EN) 

Konvensi dalam hukum acara perdata di Indonesia berarti gugatan pokok (eis in conventie dalam sistem Belanda). Istilah ini umumnya muncul bersamaan dengan istilah rekonvensi yang berarti gugatan balik. Sementara itu, dalam bahasa Inggris, convention biasanya dipahami sebagai perjanjian atau konferensi. Istilah bahasa Inggris yang lebih berterima untuk kedua kata ini adalah, misalnya, original claim (konvensi) dan counter claim (rekonvensi).

kurator (ID) curator (EN) 

Muncul dalam konteks kepailitan di Indonesia, istilah kurator mengacu pada individu atau entitas yang ditunjuk pengadilan untuk menangani proses kepailitan suatu perusahaan atau entitas, termasuk pengurusan dan pemberesan harta para debiturnya. Namun, curator dalam bahasa Inggris lebih dikenal dan lebih sering muncul dalam konteks seni dan museum. Menerjemahkan kurator sebagai curator adalah miskonsepsi yang membuat terjemahan tidak relevan.

Selain false friends yang bentuknya seperti serapan, ada pula yang bentuknya lebih tidak kentara, karena terlihat seperti terjemahan natural satu sama lain, padahal berbeda secara konseptual. Berikut beberapa contoh yang sangat sering dijumpai:

Pengadilan Tinggi (ID) ≠ High Court  (EN)

Dalam sistem hukum Indonesia, Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding. Namun di beberapa negara yang menganut sistem hukum common law, istilah High Court justru mengacu pada pengadilan tingkat kasasi, yang dalam sistem hukum kita biasanya disebut Mahkamah Agung. Dalam hal ini, diperlukan riset yang mendalam tentang negara yang terkait beserta struktur peradilannya.

bawah tangan (ID) ≠ underhand (EN)

Istilah bawah tangan dalam konteks hukum Indonesia biasanya mengacu pada transaksi atau dokumen yang dibuat tanpa pengesahan notaris. Meski sekilas terlihat seperti terjemahan langsung, dalam bahasa Inggris, underhand sering bermakna negatif atau merujuk pada tindakan tidak jujur atau licik. Ini akan menjadi sangat fatal dalam dokumen perjanjian.

Kesalahan dalam mengenali false friends bukan hanya masalah leksikal, melainkan masalah pemahaman terhadap sistem hukum dan konteks penggunaan. Oleh karena itu, penguasaan terminologi saja tidak cukup, dan pemahaman terhadap perbedaan struktur hukum sumber serta sasaran menjadi kunci. Hal ini menggarisbawahi pentingnya spesialisasi dalam terjemahan hukum. Terjemahan yang andal hanya dapat dihasilkan melalui kajian yang cermat, kepekaan terhadap makna dalam konteks hukum, dan kemauan untuk terus belajar.

Ingat, teman palsu tidak hanya mengelabui mata, tetapi juga hukum—dan penerjemahlah yang memikul tanggung jawabnya.