June 2025

Deforming Tendencies dalam Penerjemahan: Telaah atas Gagasan Antoine Berman

Yusuf Arimatea Neno
Chief Operating Officer
Jogja Literary Translation Club
JLTC 0238

Dalam praktik penerjemahan, terdapat dua metode utama yang dapat digunakan untuk menerjemahkan teks, yaitu domestikasi (domestication) dan pengasingan (foreignization). Metode domestikasi bertujuan untuk membuat teks terasa lebih lokal dan akrab dengan budaya bahasa target (BT). Melalui metode ini, teks didekatkan kepada pembaca dengan menggunakan istilah-istilah lokal yang sudah dikenal, sehingga pembaca tidak perlu memahami istilah asing. Dengan kata lain, teks “mengunjungi” pembaca melalui penyesuaian budaya.

Sebaliknya, pengasingan merupakan metode yang mempertahankan istilah-istilah dari bahasa sumber (BS) ke dalam bahasa target. Pendekatan ini mengharuskan pembaca untuk “mendekat” kepada teks, belajar mengenal istilah asing, dan melampaui zona kenyamanan konteks budaya mereka sendiri.

Lawrence Venuti mengemukakan bahwa konsep domestikasi dan pengasingan awalnya berasal dari gagasan Friedrich Schleiermacher dalam esainya yang berjudul Über die verschiedenen Methoden des Übersetzens. Namun, menurut Venuti, domestikasi dan pengasingan bukanlah dua kutub yang saling bertentangan secara biner, melainkan bagian dari sebuah kontinum yang berkaitan dengan kode etik penerjemahan. Ia menyatakan bahwa istilah seperti domestication dan foreignization pada dasarnya mencerminkan sikap etis terhadap teks dan budaya asing, serta efek etis yang dihasilkan dari pilihan teks untuk diterjemahkan dan strategi penerjemahan yang digunakan. Sementara itu, istilah seperti fluency dan resistancy lebih menunjukkan ciri-ciri wacana dalam strategi penerjemahan yang memengaruhi cara pembaca memproses teks secara kognitif (Venuti, 2018:19).

Venuti sendiri cenderung memilih strategi pengasingan dalam menerjemahkan karya-karyanya. Namun, ia juga menyadari bahwa penggunaan metode domestikasi atau pengasingan sangat bergantung pada dominasi pengaruh budaya dalam teks sumber. Pilihan strategi ini merupakan keputusan etis dari penerjemah: apakah akan membawa teks lebih dekat kepada pembaca, atau justru membawa pembaca mendekati teks tersebut.

Analitik negatif Berman

Dari sini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana penerjemah perlu membawa pembaca ke dalam dunia teks untuk memperkenalkan istilah asing? Atau seberapa signifikan penerjemah harus mengasimilasi istilah asing ke dalam konteks lokal bahasa target?

Antoine Berman menanggapi pemikiran Venuti dalam bukunya L’épreuve de l’étranger: Culture et traduction dans l’Allemagne romantique (1984), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Experience of the Foreign: Culture and Translation in Romantic Germany (1992). Berman mengkritik kecenderungan umum dalam penerjemahan yang cenderung meniadakan unsur asing melalui strategi ‘naturalisasi’ — yang kemudian diistilahkan sebagai domestikasi oleh Venuti. Menurut Berman (ibid.: 241), “tujuan etis yang tepat dari tindakan penerjemahan adalah menerima yang asing sebagai yang asing.” Pandangan ini sangat memengaruhi strategi pengasingan Venuti. Namun, Berman juga mengakui bahwa secara umum terdapat suatu sistem deformasi tekstual dalam bahasa target yang menghambat munculnya kata atau konsep asing. Analisisnya terhadap bentuk-bentuk deformasi ini ia sebut sebagai analitik negatif.

“The negative analytic is primarily concerned with ethnocentric, annexationist translations and hypertextual translations (pastiche, imitation, adaptation, freemwriting), where the play of deforming forces is freely exercised (Berman 1984, p. 242)”

Berman, yang dikenal menerjemahkan karya-karya fiksi Amerika Latin dan filsafat Jerman, memandang bahwa setiap penerjemah secara inheren dan tak terelakkan terpapar pada kekuatan etnosentris dalam proses penerjemahan (Munday et al., 2022). Kekuatan ini tidak hanya membentuk keinginan untuk menerjemahkan, tetapi juga memengaruhi bentuk akhir dari teks terjemahan (TT). 

Menurut Berman, satu-satunya cara untuk menetralisasi kecenderungan-kecenderungan deformasi tersebut adalah melalui analisis psikoanalitis terhadap karya penerjemah itu sendiri, serta dengan mendorong kesadaran penerjemah terhadap kekuatan-kekuatan ideologis dan kultural yang memengaruhi keputusan mereka selama proses penerjemahan.

“The principal problem of translating the novel is to respect its shapeless polylogic and avoid an arbitrary homogenization (Berman 1984, p. 243)”

12 kecenderungan deformasi Berman

Dengan pernyataan ini, Berman merujuk pada keragaman bahasa dan kreativitas yang melekat dalam karya novel, serta bagaimana praktik penerjemahan cenderung mengurangi atau mereduksi keragaman tersebut. Ia menilai bahwa proses penerjemahan kerap kali menyederhanakan kekayaan linguistik dan gaya yang khas dari teks sumber. Untuk menjelaskan hal ini, Berman mengidentifikasi dua belas kecenderungan deformasi (deforming tendencies) yang lazim muncul dalam teks terjemahan.

1. Rationalization
Sebuah deformasi yang mana menata ulang sintaksis agar sesuai dengan aturan bahasa target, sering kali melibatkan teknik generalisasi.

  • ST: She left without bringing any money, clothes, or food
  • TT: Dia tidak membawa apa-apa saat pergi

Beberapa kata dalam ST seperti money, clothes, dan food diterjemahkan secara general menjadi apa-apa dalam TT. Meskipun secara konteks masih dapat dipahami, penggantian ini menyebabkan hilangnya detail yang penting dalam ST.

2. Clarification
Memperjelas ambiguitas dengan membuat makna tersirat menjadi tersurat. Mengklarifikasi suatu makna agar lebih jelas.

  • ST: Let him cook
  • TT: Biarkan dia menunjukan kemampuanya

Kalimat Let him cook bukan bahasa kiasan atau idiom, tetapi istilah populer internet untuk memberikan dukungan kepada orang untuk menunjukan kemampuan. Terjemahan ini langsung memberikan makna secara gamblang tapi tidak mentransfer emosi asli dari ST.

3. Expansion
Memanjangkan hasil terjemahan di TT, terkadang tindakan ini tidak dibutuhkan.

  • ST: It good
  • TT: Barang ini bagus sekali

Ungkapan good seharusnya cukup diterjemahkan menjadi bagus. Penambahan kata sekali sangat tidak perlukan, tidak memperjelakan konteks tapi malah membuat konteks sendiri di TT.

4. Ennoblement 
Penerjemah memiliki tendensi untuk mengubah atau mengimprovisasi sebuah kata atau ekpresi yang ada di ST menjadi lebih elegan di TT. Tindakan ini dapat menghancurkan retorika lisan dalam ST.

  • ST: He is cool man
  • TT: dia sangat berkarisma

Ungkapan cool man dapat diterjemahkan menjadi pria keren, terjemahan itu memang tidak elegan tapi dapat mempertahankan makna asli. Tapi frasa itu malah diterjemahkan menjadi sangat berkarisma. Kata berkarisma memang elegan dan astetik tapi malah melukai makna di ST, konteknya menjadi berubah.

5. Qualitative impoverishment
Tindakan penerjemah yang membuat teks ST kehilangan keunikan atas kata atau ekpresi.

  • ST: Thank you, bro
  • TT: Terimakasih, teman

Kata bro memang dapat diterjemahkan menjadi teman tetapi tidak dapat memberikan ekpresi yang unik. Kata bro sering digunakan untuk merujuk kapada teman cowok yang sangat akrap atau sahabat karib. Di Indonesia kata bro sudah melekat di kosakata sehari-hari shingga tidak perlu diterjemahkan.

6. Quantitative impoverishment
Sebuah terjemahan yang kehilangan keragaman lesikal atau eliminasi dari permainan kata.

  • ST: She and he eat an apple
  • TT: Dia dan dia makan apel

Di bahasa Inggris ada aturan gender sehingga kita tahu gender seseorang saat merujuk orang. Di bahasa Indonesia tidak ada aturan gender sehingga tidak ada kata untuk merujuk gender. Kata she dan he kehilangan maknanya jika ditermahkan menjadi dia. Perbedaan ini membuat konteks di ST tidak sepenuhnya ditransfer di TT.

7. The destruction of rhythms 
Ritme banyak ditemukan di genre puisi yang membuat terjemahan puisi kadang kehilangan ritme nya. Bukan hanya ada di puisi tapi di berbagi genre sastra lain. Tatanan kata juga akan berubah saat diterjemahkan.

  • ST: This is night knight
  • TT: Ini adalah kesatria malam

Di bahasa Inggris, night dan knight memiliki bunyi yang sama sehingga menghasilkan ritme yang selaras. Tapi, di bahasa Indonesia terjemahan literal dari kedua kata itu tidak dapat mengasilkan ritme yang sama karena tidak mengasilkan bunyi yang sama.

8. The destruction of underlying networks of signification
Networks atau jaringan kata sangat berpengaruh untuk membentuk konteks yang lebih besar. Memang satu kata tidak akan memberikan arti yang signifikan tapi jika kata terus diulang pada keseluruhan teks maka ada sebuah pesan yang ini disampaikan.

  • ST: I love the light, I need the light, I feel the light
  • TT: Aku suka cahaya, Aku butuh sinar, Aku merasakan kemilau

Kata light disini memiliki banyak padanan kata di dalam di bahasa indonesia Indonesia tetapi justru jika menerjemahkan secara berbeda akan merusak konteks itu sendiri. Seharusnya diterjemahkan dengan padanan kata yang sama.

9. The destruction of linguistic patternings
Penggunaan terlalu banyak teknik penerjemahan dapat merusak pola linguistik yang ada di ST. Banyak teknik akan menstandarisasi terjemahan sehingga pole dan kontruksi linguistik bisa hilang.

  • ST: She sells seashells by the seashore
  • TT: Dia menjual kerang di tepi pantai

Kalimat di ST adalah tongue twister yang sengaja dibentuk untuk memiliki bunyi yang sama dan susah diucapkan. Terjemahan di TT itu memang dapat mentransfer semua pesanya tetapi tidak dengan bunyinya.

10. The destruction of vernacular networks or their exoticization
Hilangnya kenunikan vernakular yang ada di ST karena tidak bisa di transfer ke bahasa target. Berman menyarankan cultural items bisa di ubah menjadi italics.

  • ST: Ain’t no man (AAVE)
  • TT: Tidak ada seorang pun

Kalimat Ain’t no man adalah bahasa African American Vernacular English. Dimana kalimat tersebut harus dibaca dialek AAVE dan pembaca ST tau kalau kalimat tersebut harus dibaca seperti itu. Saat diterjemahkan ke bahasa Indonesia, keunikan itu hilang dan hancur. Pembaca TT pasti tidak akan tau kalau kalimat itu sebenarnya adalah AAVE.

11. The destruction of expressions and idioms
Berman memandang menerjemahan idiom mengunakan teknik ekuivalen sebagai tindakan ethnocentrism. Mengunakan ekuivalence seperti menyerang budaya di ST

  • ST: Hit the sack
  • TT: Pergi ke dunia mimpi

Meskipun terjemahan dalam TT secara makna dapat dipertanggungjawabkan karena menggunakan teknik ekuivalen yang efektif dalam mentransfer isi dari ST, aspek imajinatif dan pengalaman estetik yang melekat pada teks sastra sering kali lenyap dalam proses tersebut.

12. The effacement of the superimposition of languages
Penerjemahan sering kali menghilangkan variasi linguistik yang berbeda yang ada di dalam ST, merusak keragaman linguistik.

  • ST: Go away, Adios!
  • TT: Pergi, selamat tinggal!

Kata adios seharusnya tidak usah dihilangkan karena itu adalah keunikan ekpresi yang ada di ST, keragaman linguistik menjadi hilang

Kedua belas kecenderungan penerjemah yang disebut deforming tendencies oleh Antoine Berman merupakan fenomena umum dalam praktik penerjemahan. Konsep ini sekaligus menjadi kritik terhadap para penerjemah yang kerap mengubah teks sesuai preferensi pribadi, sehingga menghilangkan berbagai aspek khas dan keunikan teks sumber.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Medium Yusuf Neno.

Pustaka

Berman, A. (1984/1992) L’épreuve de l’étranger: Culture et traduction dans l’Allemagne romantique. Paris: Éditions Gallimard; translated (1992) by S. Heyvaert as The Experience of the Foreign: Culture and Translation in Romantic Germany. State University of New York.

Munday, J., Pinto, S. R., & Blakesley, J. (2022). Introducing Translation Studies: Theories and Applications 5th Edition (5th ed.). Routledge.

Venuti, L. (1995/2018) The Translator’s Invisibility: A History of Translation. Routledge.

Catatan Ringan Jelang TSN HPI

Prayudi Wijaya, M.A., CPCD.
Penerjemah Tersumpah, 
Asesor Kompetensi Bidang Hukum Bisnis Indonesia
www.pw-translation.com
JLTC 0203

Tes Sertifikasi Nasional (TSN) yang diselenggarakan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) merupakan salah satu yang paling bergengsi bagi penerjemah Indonesia. Diadakan sejak tahun 2010, TSN adalah ujian yang harus dihadapi oleh para penerjemah—baik penerjemah pemula yang ingin “naik kelas” maupun penerjemah berpengalaman yang ingin menjajal kemampuan serta mengukuhkan posisinya—untuk bisa mendapatkan status sebagai Penerjemah Bersertifikat HPI.

Sebagai salah satu yang beruntung bisa lulus TSN pada tahun 2015 untuk kedua arah bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris kategori umum, saya ingin membagikan beberapa kiat yang mungkin dapat bermanfaat bagi Anda yang ingin menjajal kemampuan dalam tes ini—yang semuanya bersumber dari pengalaman saya sendiri. Di sini, saya membaginya ke dalam dua fase: persiapan dan pelaksanaan.

A. Fase Persiapan
Persiapan merupakan tahap penting sebelum mengikuti TSN. Beberapa penerjemah memiliki cara masing-masing: ada yang menjalankan pekerjaannya seperti biasa dengan sedikit penyesuaian, dan ada pula yang secara khusus menyusun strategi, setidaknya satu bulan sebelum ujian. Dalam fase ini, beberapa kiat berikut mungkin cukup membantu:

1. Lakukan pengondisian teknis
TSN memperbolehkan peserta membawa sumber daya cetak (kamus, catatan pribadi, dll.), namun tidak memperbolehkan penggunaan sumber daya internet—apalagi AI. Oleh karena itu, Anda sebaiknya mulai membiasakan diri dengan mode kerja yang lebih mengandalkan sumber daya cetak, dan membatasi ketergantungan terhadap internet. Selain itu, mengukur kecepatan menerjemahkan dan mencari strategi pengelolaan waktu ujian juga bisa mulai dilatih.

2. Analisis kebiasaan buruk dalam berbahasa
Hampir semua orang memiliki kebiasaan buruk, sekecil apa pun itu. Bagi penerjemah, kebiasaan buruk ini biasanya bersifat linguistis: kesalahan tik, penggunaan preposisi yang kurang tepat, kebiasaan menyingkat, atau menulis kalimat yang canggung. Dengan mengenali—dan mengakui—kebiasaan ini, Anda dapat membuat semacam daftar periksa yang akan sangat berguna saat menyunting pekerjaan Anda di ruang ujian, agar penyuntingan lebih efektif. Kuncinya: biasakan berpikir pedantis.

3. Cari mentor atau mitra berlatih 
Mencari penerjemah yang lebih berpengalaman untuk dimintai masukan atas hasil pekerjaan Anda adalah langkah yang sering diabaikan—padahal sangat bermanfaat. Bahkan, mencari partner yang juga akan mengikuti TSN dan saling memberi umpan balik bisa berdampak besar bagi kesiapan Anda.

B. Fase Pelaksanaan
Yang saya maksud dengan fase pelaksanaan di sini adalah saat Anda telah berada di ruang ujian dan mulai mengerjakan soal. Setelah melakukan persiapan yang memadai, berikut beberapa hal penting yang perlu diperhatikan:

1. Abaikan suara keyboard peserta lain 
Saya ingat saat mengikuti TSN dulu, kala waktu ujian mulai berjalan, saya mendengar suara peserta lain mulai mengetikkan terjemahannya. Mendengar ini saya langsung merasa minder—kok mereka sudah mulai menerjemahkan, sementara saya belum benar-benar memahami teksnya?

Namun, perlu diingat bahwa setiap orang punya ritualnya sendiri dalam menerjemahkan. Belum mulai mengetik bukan berarti tidak siap. Tetap fokus, tenang, dan lakukan ritual Anda sendiri.

2. Pilih kata-kata yang jelas 
Menggunakan padanan yang jelas dan tidak bermakna ganda akan memudahkan penilai memahami maksud Anda—dan menghindari terjemahan Anda disalaharti. Misalnya, gunakan interpretation alih-alih construction jika ingin mengatakan penafsiran, atau absence alih-alih lack untuk menyatakan tidak ada. Secara makna mungkin sejajar, tetapi construction dan lack lebih rawan dianggap keliru, meski maksud Anda benar. Ingat, hasil TSN bersifat final. Anda tidak bisa komplain setelahnya.

3. Andalkan otak ketimbang kamus
Bagi beberapa orang, membawa masuk banyak kamus dan catatan ke ruang ujian bisa memberi rasa tenang: ada di kala butuh. Tapi alangkah kurang bijak jika Anda selalu membolak-balik kamus untuk mencari satu atau dua kata tiap kalimat, apalagi  jika ini dilakukan hanya untuk meyakinkan diri Anda. Ingat, waktu ujian amat terbatas. Jadi, lebih baik andalkan otak Anda sendiri. Percaya pada semua latihan yang telah Anda lakukan pada fase persiapan. Gunakan kamus hanya saat darurat.

4. Utamakan akurasi ketimbang keindahan
Menghasilkan terjemahan yang indah memang membanggakan. Namun, dalam ujian, pastikan dulu bahwa hasil terjemahan Anda akurat. Tidak ada gunanya memoles kalimat dan mengutak-atik diksi jika isinya masih keliru. Sunting dulu dari sisi akurasi—baru sentuh gaya jika masih ada waktu. Bagi saya pribadi, jika kalimat sudah terdengar “benar”, itu sudah cukup.

Penutup
Menghadapi TSN bukan hanya soal menerjemahkan dengan baik, melainkan juga soal mengelola waktu, mengenali kelemahan diri, dan menghadapi tekanan. Memang tidak ada resep pasti untuk lulus, tetapi upaya dan kesadaran terhadap proses tetap menjadi hal penting—baik untuk TSN maupun perkembangan profesional Anda sebagai penerjemah ke depannya. Semoga kiat-kiat kecil ini membawa manfaat.