May 2025

Penerjemahan Sastra: Etika dan Praktik Profesional

Harris Hermansyah Setiajid

Pemerhati Penerjemahan

Universitas Sanata Dharma

JLTC 0039

Dalam dunia sastra, penerjemah bukan hanya perantara bahasa, melainkan juga pelaku etis yang bertanggung jawab terhadap representasi budaya, gaya penulisan, dan intensi pengarang. Ia harus menghadapi beragam dilema antara kesetiaan terhadap teks sumber dan keterbacaan dalam bahasa sasaran. Tugas penerjemah tidak sekadar memindahkan kata demi kata, melainkan menggali makna terdalam dari sebuah karya dan menyampaikannya dengan kepekaan linguistik serta kesadaran budaya. Dalam proses ini, penerjemah menjadi penjembatan antara dua dunia yang berbeda, menafsirkan teks dengan empati dan tanggung jawab. 

Sebagai pelaku budaya, ia mesti peka terhadap konteks sosial, politik, dan historis yang membentuk naskah asal. Maka, praktik penerjemahan sastra selalu menuntut pertimbangan etis yang tidak bisa diabaikan.

Penerjemah Sastra sebagai Pelaku Etis

Seperti dikemukakan oleh Antoine Berman (1985), penerjemahan sastra yang baik harus menghindari deforming tendencies, yaitu kecenderungan merusak bentuk dan jiwa teks sumber. Misalnya, dalam menerjemahkan metafora puitis dari Rainer Maria Rilke ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah tidak cukup hanya menerjemahkan makna leksikal, tetapi juga harus menangkap efek emosional dan musikalitasnya.

Contoh konkret bisa dilihat dalam penerjemahan puisi Chairil Anwar ke dalam bahasa Inggris. Baris “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” diterjemahkan oleh Burton Raffel sebagai “I want to live a thousand years more”. Meski literal, banyak kritikus berpendapat bahwa nuansa eksistensial dalam versi aslinya tidak sepenuhnya terwakili. Di sinilah muncul pertanyaan etis: Haruskah penerjemah menambahkan lapisan interpretasi atau tetap pada literalitas?

Kutipan dari Lawrence Venuti memperkuat hal ini: “The translator wields considerable power in the formation of cultural identity, but this power must be accompanied by ethical responsibility” (Venuti, 1995, The Translator’s Invisibility).

Dengan demikian, penerjemah sastra harus sadar bahwa setiap keputusan linguistik mengandung implikasi ideologis dan kultural.

Praktik Profesional dan Tanggung Jawab Penerjemah

Selain dimensi etika, penerjemahan sastra juga menuntut profesionalisme dalam bentuk kerja sama, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak intelektual.

Salah satu prinsip utama dalam praktik profesional adalah pengakuan terhadap karya penerjemah. Di banyak negara, hak moral penerjemah dilindungi oleh hukum hak cipta, termasuk hak untuk diakui sebagai pengalih bahasa. Sayangnya, di banyak penerbitan Indonesia, nama penerjemah kerap ditulis kecil atau bahkan dihilangkan. Padahal, menurut UNESCO (1976), penerjemah memiliki hak moral untuk dicantumkan namanya pada setiap publikasi karya terjemahan.

Contoh positif datang dari penerbit Tilted Axis Press di Inggris yang memosisikan penerjemah sebagai kolaborator utama dalam proyek literatur dunia ketiga. Misalnya, dalam penerbitan novel The Hole karya Pyun Hye-young, penerjemah Sora Kim-Russell bahkan dilibatkan dalam sesi diskusi publik dan proses penyuntingan akhir.

Penerjemah juga bertanggung jawab untuk menjaga komunikasi terbuka dengan editor dan, jika memungkinkan, dengan penulis asli. Dalam penerjemahan karya Murakami, Jay Rubin (salah satu penerjemah utamanya) dikenal sebagai mitra diskusi Murakami dalam menentukan kata atau ekspresi kunci yang sulit dialihkan. Ini mencerminkan praktik profesional berbasis kolaborasi.

Seiring berkembangnya pasar penerjemahan global, penerjemah juga harus terbuka pada revisi, peer review, dan umpan balik dari pembaca. Profesionalisme bukan hanya soal kontrak kerja, tetapi juga soal kesediaan untuk tumbuh dan menyempurnakan hasil kerja secara berkelanjutan.

Tantangan Kontemporer dan Refleksi Etis

Dunia sastra hari ini semakin kompleks dengan hadirnya isu-isu seperti representasi gender, postkolonialisme, dan sensor politik. Dalam konteks ini, penerjemah dituntut untuk tidak hanya fasih secara bahasa, tetapi juga peka secara sosial dan ideologis.

Contoh yang sempat mencuat adalah kontroversi seputar terjemahan karya The Vegetarian oleh Han Kang. Penerjemahnya, Deborah Smith, dianggap terlalu bebas dalam menerjemahkan narasi dan gaya bahasa Korea, sehingga menimbulkan perdebatan: apakah ini bentuk kreatif yang sah, atau pelanggaran etis terhadap otoritas penulis? Beberapa kritikus di Korea menyebut bahwa terjemahan tersebut terlalu ‘mengindahkan selera Barat’, sehingga menciptakan orientalist gaze terhadap karya Asia.

Dalam konteks lokal, penerjemahan novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori juga menimbulkan tantangan. Banyak referensi budaya, politik Orde Baru, dan trauma kolektif 1998 yang tidak mudah dialihkan ke bahasa asing tanpa kehilangan kekuatan historisnya. Penerjemah perlu memutuskan: apakah akan memberi catatan kaki? Apakah akan mengadaptasi secara kontekstual?

Dalam isu gender, penerjemahan karya LGBTQ+ juga menuntut sensitivitas tinggi. Istilah seperti they/themnon-binary, atau penggunaan queer slang dalam novel-novel kontemporer harus diterjemahkan dengan hati-hati agar tidak menghapus identitas tokoh. Penerjemah tidak boleh menyeragamkan ekspresi gender hanya demi kenyamanan budaya sasaran.

Seperti dikatakan oleh Gayatri Spivak (1993), “The task of the translator is to listen to the silence of the text and resist the temptation to make the Other fully knowable.”

Etika penerjemahan sastra tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, sejarah, dan kuasa yang menyertainya. Ini menuntut penerjemah untuk terus merefleksikan posisinya, bukan hanya sebagai pengalih bahasa, tetapi juga sebagai pelaku budaya dan agen politik dalam skala mikro

Untuk mengetahui selengkapnya tentang penerjemahan sastra, ikuti seri Pelatihan Penerjemahan Sastra yang diselenggarakan Jogja Literary Translation Club bekerja sama dengan Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma.

Seri 3 “Etika dan Praktik Profesional”
2 Juni 2025, 07:30-09:00 WIB.

Pustaka

Berman, A. (1985). Translation and the Trials of the Foreign. In L. Venuti (Ed.), The Translation Studies Reader (2000). Routledge.

Lefevere, A. (1992). Translation, Rewriting, and the Manipulation of Literary Fame. Routledge.

Spivak, G. C. (1993). Outside in the Teaching Machine. Routledge.

UNESCO. (1976). Recommendation on the Legal Protection of Translators and Translations and the Practical Means to Improve the Status of Translators.

Venuti, L. (1995). The Translator’s Invisibility: A History of Translation. Routledge.

Smith, D. (2016). Translator’s Preface to The Vegetarian. Portobello Books.

Penerjemahan Sastra: Pertimbangan Budaya dan Konteks

Harris Hermansyah Setiajid

Pemerhati Penerjemahan

Universitas Sanata Dharma

JLTC 0039

Penerjemahan sastra merupakan salah satu cabang penerjemahan yang paling menantang karena melibatkan lebih dari sekadar transfer makna linguistik. Di dalamnya terkandung dimensi budaya, ideologis, dan estetika yang kompleks. Salah satu aspek krusial dalam praktik penerjemahan sastra adalah mempertimbangkan budaya dan konteks yang membentuk teks sumber. Tanpa kepekaan terhadap aspek ini, hasil terjemahan cenderung kehilangan esensi teks asli, atau lebih buruk lagi, menghasilkan distorsi makna dan nilai-nilai budaya.

Penerjemahan sebagai Transfer Budaya

Penerjemahan adalah sebuah tindakan lintas budaya. Menurut Bassnett dan Lefevere (1990), “Translation is not merely a linguistic operation, but a cultural transfer” (hlm. 11). Dalam penerjemahan sastra, unsur budaya hadir dalam bentuk idiom, ungkapan khas, alusi sastra, nilai-nilai sosial, sistem kepercayaan, serta norma perilaku yang sangat terkait dengan latar masyarakat penghasil teks. Oleh karena itu, penerjemah dituntut untuk tidak hanya menguasai bahasa sumber dan sasaran, tetapi juga memiliki kompetensi budaya yang memungkinkan mereka membaca teks secara holistik.

Strategi Domestikasi dan Forenisasi

Pertimbangan budaya dalam penerjemahan sastra mencakup dua pendekatan utama: domestikasi (domestication) dan forenisasi (foreignization), sebagaimana dikemukakan oleh Venuti (1995). Domestikasi berupaya mendekatkan teks asing ke dalam budaya pembaca sasaran, sering kali dengan cara mengadaptasi referensi budaya agar lebih akrab. 

Sebaliknya, forenisasi mempertahankan elemen asing teks asli demi menjaga keaslian dan integritas budaya sumber. Kedua pendekatan ini memiliki konsekuensi etis dan ideologis yang harus dipertimbangkan secara hati-hati oleh penerjemah.

Konteks Sosial dan Historis dalam Penerjemahan

Selain elemen leksikal, konteks sosial dan historis juga memainkan peran penting. Sebuah teks sastra selalu lahir dari konteks tertentu—baik itu kolonialisme, konflik sosial, maupun dinamika gender. Jika konteks ini tidak diakomodasi dalam proses penerjemahan, maka makna yang disampaikan bisa kehilangan kekuatan retoriknya. Sebagaimana dinyatakan oleh Hermans (2007), “Translators do not work in a vacuum; they are located in specific cultural and ideological contexts that shape their decisions” (hlm. 75).

Ketidakterjemahan Budaya dan Strateginya

Tidak kalah penting adalah kesadaran akan cultural untranslatability, yakni saat suatu konsep atau pengalaman budaya tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa atau budaya target. Dalam kasus ini, strategi penerjemahan seperti penjelasan dalam teks, catatan kaki, atau penerjemahan parafrastik bisa diterapkan. Namun, keputusan ini harus diambil dengan hati-hati agar tidak mengganggu pengalaman estetik pembaca sasaran.

Posisi dan Ideologi Penerjemah

Pertimbangan budaya dan konteks juga tidak bisa dilepaskan dari posisi penerjemah itu sendiri. Penerjemah adalah subjek yang membawa nilai, ideologi, dan preferensi estetika mereka sendiri dalam proses penerjemahan. Seperti ditegaskan oleh Berman (2000), setiap penerjemahan adalah bentuk interpretasi yang bersifat subjektif, dan oleh karena itu, keputusan penerjemahan selalu berakar pada posisi ideologis tertentu.

Penerjemahan sastra yang berkualitas menuntut sensitivitas budaya dan kesadaran kontekstual yang tinggi. Keberhasilan penerjemahan bukan semata-mata ditentukan oleh kesepadanan kata atau struktur kalimat, tetapi oleh kemampuan penerjemah dalam menangkap dan menyampaikan makna-makna kultural dan ideologis yang melekat dalam teks sumber. Dalam dunia yang semakin global, peran penerjemah sastra sebagai jembatan budaya menjadi semakin strategis, tidak hanya dalam membangun pemahaman antarbangsa, tetapi juga dalam melestarikan keragaman identitas manusia.

Untuk mengetahui selengkapnya tentang penerjemahan sastra, ikuti seri Pelatihan Penerjemahan Sastra yang diselenggarakan Jogja Literary Translation Club bekerja sama dengan Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma.

Seri 2 “Pertimbangan Budaya dan Konteks”
26 Mei 2025, 07:30-09:00 WIB.

Pustaka

Bassnett, S., & Lefevere, A. (1990). Translation, history and culture. Routledge.

Berman, A. (2000). “Translation and the trials of the foreign”. In L. Venuti (Ed.), The translation studies reader (pp. 284–297). Routledge.

Hermans, T. (2007). The conference of the tongues. St. Jerome Publishing.

Venuti, L. (1995). The translator’s invisibility: A history of translation. Routledge.

Achebe, C. (1994). Things Fall Apart. Anchor Books. (Karya asli diterbitkan 1958)