Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Dalam dunia penerjemahan sastra, kita sering berhadapan dengan dilema klasik: mempertahankan nuansa orisinal atau menyesuaikan dengan pembaca baru. Di antara banyak pemikir yang mencoba menjawab tantangan ini, Antoine Berman menonjol lewat gagasannya yang terkenal: Deforming Tendencies. Gagasan ini bukan hanya mengkritik praktik terjemahan yang terlalu bebas, tetapi juga membuka jalan bagi pendekatan yang lebih etis terhadap karya sastra asing.
Melawan etos ethnocentric
Antoine Berman (1942–1991), seorang filsuf dan teoretikus penerjemahan asal Prancis, mengemukakan deforming tendencies dalam esainya yang berpengaruh berjudul “La traduction et la lettre ou l’auberge du lointain” (1985). Esai ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lawrence Venuti dalam buku The Translation Studies Reader (Venuti, 2012).
Berman menilai bahwa banyak praktik penerjemahan cenderung etnosentris, yakni membentuk ulang teks asing agar terasa seolah-olah berasal dari budaya si pembaca, bukan dari “yang lain”. Menurut Berman, hal ini bukan hanya menghilangkan kekhasan teks sumber, tetapi juga bentuk kekerasan simbolik terhadap keberadaan budaya asing.
Karena itulah, ia menyusun 12 deforming tendencies atau dua belas kecenderungan yang secara sistemik mengubah atau mendistorsi teks sastra ketika diterjemahkan.
Dua belas tendensi yang mengubah teks
Berikut adalah ringkasan dua belas deformasi versi Berman. Untuk versi lengkapnya silakan melihat tulisan Yusuf Arimatea Neno berjudul “Deforming Tendencis dalam Penerjemahan: Telaah atas Gagasan Antoine Berman“
1. Rasionalisasi (rationalization): Penyesuaian atau pengubahan struktur sintaksis agar tampak lebih logis atau sistematis dalam bahasa sasaran.
2. Klarifikasi (clarification): Menambahkan penjelasan atau memperjelas makna yang sebenarnya dibiarkan implisit dalam teks sumber.
3. Ekspansi (expansion): Hasil terjemahan menjadi lebih panjang dari teks asli karena penambahan yang tidak perlu.
4. Pemuliaan gaya (ennoblement): Gaya bahasa disesuaikan atau dipoles hingga terdengar lebih tinggi atau lebih elegan daripada gaya asli penulis.
5. Pemiskinan kualitatif (qualitative impoverishment): Kehilangan warna atau ragam leksikal akibat penggantian kata yang khas dengan kata yang lebih netral.
6. Pemiskinan kuantitatif (quantitative impoverishment): Pengurangan jumlah pengulangan kata atau struktur khas yang menjadi gaya retoris penulis.
7. Penghancuran ritme (destruction of rhythms): Hilangnya irama khas, jeda, atau musikalitas yang ditanamkan dalam struktur kalimat sumber.
8. Penghancuran jaringan makna bawah permukaan (destruction of underlying networks of signification): Mengabaikan keterkaitan simbolik atau tema implisit dalam teks sumber.
9. Penghancuran pola linguistik (destruction of linguistic patternings): Merusak pola atau konsistensi stilistik tertentu dari bahasa penulis.
10. Penghancuran ragam lokal atau pengeksotisan (destruction of vernacular networks or exoticitazation): Menghilangkan dialek atau idiom lokal, atau malah membumbuinya agar terasa ‘asing’ secara stereotipikal.
11. Penghancuran ekspresi dan idiom (destruction of expressions and idioms): Mengganti atau menghilangkan ungkapan khas dan idiomatik dari bahasa sumber.
12. Penghapusan tumpang tindih bahasa (effacement of the superimposition of languages): Menghilangkan jejak multibahasa atau percampuran register/bahasa yang disengaja dalam teks asli.
Tendensi tersebut, kata Berman, tidak sekadar kesalahan teknis. Mereka mencerminkan sikap ideologis terhadap bahasa dan budaya asing: ketidakmampuan menerima “yang asing” (l’étranger).
Contoh kasus: Laskar Pelangi yang dirapikan
Salah satu contoh nyata deforming tendencies dapat ditemukan dalam terjemahan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata oleh John H. McGlynn.
Dalam kalimat sederhana dan metaforis, “Aku hanya bisa diam. Seperti batu,” kekuatan stilistik bahasa sumber bertumpu pada citraan konkret yang membekas secara emosional. Namun dalam terjemahan Bahasa Inggris, kalimat tersebut diubah menjadi “I remained silent, frozen in place.”
Terjemahan tersebut, meskipun lebih idiomatis dan alami bagi pembaca berbahasa Inggris, mencerminkan kecenderungan rationalization dan destruction of idioms sebagaimana diuraikan Berman, yakni penyusunan ulang struktur dan penghilangan kekhasan ekspresi lokal demi keterbacaan.
Gaya tutur yang puitik dan khas dalam teks asli menjadi lebih datar dan teratur dalam terjemahan, sehingga kehilangan kekuatan retoris yang menyentuh dan kedekatan kultural dengan pembaca Indonesia.

Kontribusi terhadap dunia penerjemahan sastra
Gagasan deforming tendencies membawa pengaruh besar dalam teori penerjemahan sastra, terutama dalam mendukung pendekatan foreignizing yang diusung Lawrence Venuti. Pendekatan ini menolak menyesuaikan teks sumber ke dalam bahasa target secara berlebihan dan justru mengedepankan “asingnya” teks untuk memelihara keotentikan budaya.
Dalam praktiknya, deforming tendencies juga menjadi alat evaluasi dan kritik yang berguna. Seorang penerjemah dapat mengecek apakah hasil kerjanya sudah “menghormati” teks sumber atau tidak, apakah ia tanpa sadar “melatih” kecenderungan deformasi tertentu.
Tidak heran, para akademisi dalam translation studies menggunakan kerangka Berman untuk menelaah penerjemahan karya sastra klasik maupun kontemporer. Contohnya, analisis terhadap penerjemahan puisi Pablo Neruda (Susam-Sarajeva, 2003) atau karya Dostoyevsky yang diterjemahkan ke bahasa Prancis dan Inggris.
Kritik dan relevansi hari ini
Tentu, gagasan Berman bukan tanpa kritik. Beberapa penerjemah berpendapat bahwa tidak semua deformasi dapat dihindari. Kadang-kadang, klarifikasi atau ekspansi diperlukan agar pembaca modern tetap memahami konteks. Ada pula yang menyatakan bahwa Berman terlalu idealistik, melupakan kenyataan bahwa penerjemahan juga bergantung pada penerbit, pasar, bahkan sensor politik.
Meski demikian, semangat Berman tetap relevan hari ini, di tengah derasnya arus globalisasi. Di era ketika terjemahan bisa dilakukan oleh mesin dan disesuaikan dengan klik, mempertahankan “keasingan” adalah tindakan yang hampir subversif dan sangat manusiawi.

Menjadi penerjemah yang sadar
Antoine Berman mengingatkan kita bahwa menerjemahkan adalah tindakan etis dan politis. Ia bukan sekadar memindahkan kata dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi menghadirkan suara, ritme, dan jiwa dari “yang asing” ke tengah ruang bahasa kita. Ketika seorang penerjemah sadar akan deformasi yang mungkin terjadi, ia bisa membuat pilihan yang lebih jujur dan penuh tanggung jawab.
Seperti yang ditulis Berman sendiri, “A translation that does not aim at the letter is an ethnocentric transformation of the foreign work.” (2000: 276). Maka, barangkali tugas penerjemah sastra bukan sekadar membuat pembaca merasa nyaman tetapi justru mengganggu kenyamanan itu demi kebenaran estetik dan budaya.
Pustaka
Berman, A. (1985). La traduction et la lettre ou l’auberge du lointain. In Les Tours de Babel. Gallimard.
Berman, A. (2000). Translation and the trials of the foreign (L. Venuti, Trans.). In L. Venuti (Ed.), The translation studies reader (pp. 276–289). Routledge.
Susam-Sarajeva, Ş. (2003). “Translation and Travelling Theory: Feminist Theory in Turkey.” Target, 15(1), 1–36.
Venuti, L. (1995). The Translator’s Invisibility: A History of Translation. Routledge.
Venuti, L. (Ed.). (2012). The Translation Studies Reader (3rd ed.). Routledge.