November 2021

Bahasa hukum: rigiditas yang perlu?

Oleh Christien Yueni

Jogja Literary Translation Club

Bahasa hukum terkenal dengan rigiditasnya yang tak bisa ditawar karena dokumen hukum diciptakan untuk menghindari multiinterpretasi. Setiap kata dalam bahasa hukum mempunyai makna yang tunggal dan tidak boleh dimaknai lain.

Pendapat itu mengemuka dalam acara Professional Talk #9 yang menghadirkan pembicara David Kurniawan Bengu seorang lawyer di sebuah kantor hukum di Indonesia. Dalam pemaparannya, David mengatakan bahwa karena bahasa itu multi interpretasi maka bahasa hukum dibuat untuk menghindari atau setidaknya mengurangi ragam penfasiran yang muncul dari para pihak yang berkepentingan dalam dokumen hukum tersebut.

Oleh karena itu, dalam dokumen hukum ditemukan pengulangan-pengulangan kata atau frasa. Misalnya, dalam sebuah dokumen hukum tertulis “… pelaksana pewarisan senantiasa bersedia, wajib, dan diwajibkan..” Kata ‘bersedia, wajib, dan diwajibkan’ sebenarnya memiliki makna yang mirip, tetapi itu harus dinyatakan secara eksplisit dan tidak boleh dikurangi karena walaupun mirip, kata-kata tersebut memiliki makna yang berbeda.

“Rigiditas dalam bahasa hukum memang diperlukan bukan untuk sok-sokan melainkan untuk menjaga setiap kata dalam bahasa hukum memiliki makna yang tepat dan sesuai.”

Dalam konteks terjemahan, teks hukum yang diterjemahkan harus mengikuti bentuk dan gaya teks sumber seperti apa adanya. Penerjemah dilarang untuk berkreasi seperti ketika menerjemahkan teks sastra, misalnya. Selain itu istilah-istilah hukum juga harus diterjemahkan dengan semantik yang tepat untuk menghindari salah tafsir.

Rigiditas dalam bahasa hukum memang diperlukan bukan untuk sok-sokan melainkan untuk menjaga setiap kata dalam bahasa hukum memiliki makna yang tepat dan sesuai.

Diskusi daring JLTC ProTalk #9 yang diselenggarakan JLTC bekerja sama dengan kelas Register Translation Program Studi Sastra Inggris (13/11)  ini juga  menunjukkan pentingnya teks sumber sebagai acuan seandainya terjadi ketidaksinkronan makna antara teks sumber dan teks sasaran. 

Bahasa hukum yang dianggap ‘kaku’ atau ‘rigid’ oleh para pembaca adalah karena memang jenis teks ini tidak mengizinkan adanya ruang bagi inisiatif estetik.

Penerjemah: Profesi yang Masih Abu-Abu di Masyarakat?

Oleh Anis Zulfi Amalia

Penerjemah Paruh Waktu,

Anggota JLTC No. 0145

(Sumber: cnbcindonesia.com)

Jika menengok sejarahnya, kegiatan penerjemahan sebenarnya sudah ada sejak ribuan abad lalu. Tepatnya sejak abad 3 SM saat ditemukannya terjemahan Alkitab dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani. Sejak saat itu, aktivitas penerjemahan pun terus berkembang di berbagai negara dari masa ke masa. Bahkan, hingga masa sekarang pun, kegiatan penerjemahan masih terus dilakukan dengan kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Lambat laun, dengan meningkatnya kebutuhan penerjemahan, tidak sedikit masyarakat yang kemudian berprofesi menjadi penerjemah.  Ironisnya, meskipun profesi ini telah dilakoni oleh sebagian orang, masih banyak yang belum mengetahui profesi penerjemah secara persis, terlihat dari adanya anggapan atau stigma yang berkembang di tengah masyarakat terkait profesi penerjemah.

Stigma Masyarakat Terhadap Profesi Penerjemah

Ditambah lagi dengan adanya mesin penerjemahan seperti Google Translate yang bisa diakses dengan gratis oleh siapa saja, suburlah anggapan bahwa proses penerjemahan memang semudah mengetikkan kalimat sumber dan hanya butuh beberapa detik kalimat hasil terjemahan akan muncul. Nyatanya, proses penerjemahan tidaklah semudah itu. Penerjemah sering kali harus melalui proses jatuh bangun mencari kosakata yang tepat untuk sekadar menerjemahkan satu kalimat.

Selain anggapan tersebut, tidak sedikit masyarakat yang menganggap jika menerjemahkan itu hanya berkaitan dengan buku saja. Anggapan ini membuat masyarakat mengira jika cakupan kerja para penerjemah memang cukup terbatas. Faktanya, di era digital ini, kegiatan penerjemahan tergolong sangat beragam, dan objek yang diterjemahkan tidak hanya berkaitan dengan buku saja. Jika dikulik lebih dalam lagi, profesi ini memiliki potensi dan peluang yang sangat besar bagi orang yang menjalaninya.

“Nyatanya, proses penerjemahan tidaklah semudah itu. Penerjemah sering kali harus melalui proses jatuh bangun mencari kosakata yang tepat untuk sekadar menerjemahkan satu kalimat.”

Menjadi Penerjemah Itu Menguntungkan?

Seperti halnya dua sisi mata uang, profesi penerjemah juga memiliki sisi yang menguntungkan di samping adanya stigma terkait profesi ini. Apa saja sisi yang menguntungkan itu?

  1. Profesi penerjemah menawarkan jam kerja yang fleksibel dan terkadang tidak mengharuskan seseorang untuk memiliki kantor tertentu. Penerjemah bisa bekerja secara remote dimana saja, entah itu di rumah, kafe, taman, perpustakaan, maupun tempat lainnya asalkan ada koneksi internet.
  2. Dilihat dari sisi income yang didapatkan, profesi penerjemah justru memiliki peluang untuk mendapatkan income yang cukup besar. Terlebih lagi jika proyek yang dikerjakan memang memiliki budget yang tinggi. Namun, seperti kata pepatah, income yang besar menuntut, tanggung jawab yang tak kalah besar.
  3. Penerjemah berpeluang untuk terus belajar dan berkembang. Ilmu yang didapatkan dari kegiatan penerjemahan pun bisa beragam dan pastinya tidak hanya terbatas pada keilmuan bahasa saja.
(Sumber: berkarir.id)

Pada dasarnya, profesi ini memang memiliki banyak sisi menguntungkan. Hanya saja, masih banyak stigma atau anggapan dalam masyarakat yang membuat pekerjaan ini seolah dianggap sebelah mata dan belum banyak dikenal masyarakat. Tidak ada cara pasti terkait bagaimana menghilangkan stigma tersebut, selain terus berusaha membuktikan jika profesi ini memiliki peran yang menguntungkan bagi masyarakat itu sendiri. Semangat untuk para penerjemah!