Teori Penerjemahan

Penerjemahan Sastra: Pertimbangan Budaya dan Konteks

Harris Hermansyah Setiajid

Pemerhati Penerjemahan

Universitas Sanata Dharma

JLTC 0039

Penerjemahan sastra merupakan salah satu cabang penerjemahan yang paling menantang karena melibatkan lebih dari sekadar transfer makna linguistik. Di dalamnya terkandung dimensi budaya, ideologis, dan estetika yang kompleks. Salah satu aspek krusial dalam praktik penerjemahan sastra adalah mempertimbangkan budaya dan konteks yang membentuk teks sumber. Tanpa kepekaan terhadap aspek ini, hasil terjemahan cenderung kehilangan esensi teks asli, atau lebih buruk lagi, menghasilkan distorsi makna dan nilai-nilai budaya.

Penerjemahan sebagai Transfer Budaya

Penerjemahan adalah sebuah tindakan lintas budaya. Menurut Bassnett dan Lefevere (1990), “Translation is not merely a linguistic operation, but a cultural transfer” (hlm. 11). Dalam penerjemahan sastra, unsur budaya hadir dalam bentuk idiom, ungkapan khas, alusi sastra, nilai-nilai sosial, sistem kepercayaan, serta norma perilaku yang sangat terkait dengan latar masyarakat penghasil teks. Oleh karena itu, penerjemah dituntut untuk tidak hanya menguasai bahasa sumber dan sasaran, tetapi juga memiliki kompetensi budaya yang memungkinkan mereka membaca teks secara holistik.

Strategi Domestikasi dan Forenisasi

Pertimbangan budaya dalam penerjemahan sastra mencakup dua pendekatan utama: domestikasi (domestication) dan forenisasi (foreignization), sebagaimana dikemukakan oleh Venuti (1995). Domestikasi berupaya mendekatkan teks asing ke dalam budaya pembaca sasaran, sering kali dengan cara mengadaptasi referensi budaya agar lebih akrab. 

Sebaliknya, forenisasi mempertahankan elemen asing teks asli demi menjaga keaslian dan integritas budaya sumber. Kedua pendekatan ini memiliki konsekuensi etis dan ideologis yang harus dipertimbangkan secara hati-hati oleh penerjemah.

Konteks Sosial dan Historis dalam Penerjemahan

Selain elemen leksikal, konteks sosial dan historis juga memainkan peran penting. Sebuah teks sastra selalu lahir dari konteks tertentu—baik itu kolonialisme, konflik sosial, maupun dinamika gender. Jika konteks ini tidak diakomodasi dalam proses penerjemahan, maka makna yang disampaikan bisa kehilangan kekuatan retoriknya. Sebagaimana dinyatakan oleh Hermans (2007), “Translators do not work in a vacuum; they are located in specific cultural and ideological contexts that shape their decisions” (hlm. 75).

Ketidakterjemahan Budaya dan Strateginya

Tidak kalah penting adalah kesadaran akan cultural untranslatability, yakni saat suatu konsep atau pengalaman budaya tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa atau budaya target. Dalam kasus ini, strategi penerjemahan seperti penjelasan dalam teks, catatan kaki, atau penerjemahan parafrastik bisa diterapkan. Namun, keputusan ini harus diambil dengan hati-hati agar tidak mengganggu pengalaman estetik pembaca sasaran.

Posisi dan Ideologi Penerjemah

Pertimbangan budaya dan konteks juga tidak bisa dilepaskan dari posisi penerjemah itu sendiri. Penerjemah adalah subjek yang membawa nilai, ideologi, dan preferensi estetika mereka sendiri dalam proses penerjemahan. Seperti ditegaskan oleh Berman (2000), setiap penerjemahan adalah bentuk interpretasi yang bersifat subjektif, dan oleh karena itu, keputusan penerjemahan selalu berakar pada posisi ideologis tertentu.

Penerjemahan sastra yang berkualitas menuntut sensitivitas budaya dan kesadaran kontekstual yang tinggi. Keberhasilan penerjemahan bukan semata-mata ditentukan oleh kesepadanan kata atau struktur kalimat, tetapi oleh kemampuan penerjemah dalam menangkap dan menyampaikan makna-makna kultural dan ideologis yang melekat dalam teks sumber. Dalam dunia yang semakin global, peran penerjemah sastra sebagai jembatan budaya menjadi semakin strategis, tidak hanya dalam membangun pemahaman antarbangsa, tetapi juga dalam melestarikan keragaman identitas manusia.

Untuk mengetahui selengkapnya tentang penerjemahan sastra, ikuti seri Pelatihan Penerjemahan Sastra yang diselenggarakan Jogja Literary Translation Club bekerja sama dengan Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma.

Seri 2 “Pertimbangan Budaya dan Konteks”
26 Mei 2025, 07:30-09:00 WIB.

Pustaka

Bassnett, S., & Lefevere, A. (1990). Translation, history and culture. Routledge.

Berman, A. (2000). “Translation and the trials of the foreign”. In L. Venuti (Ed.), The translation studies reader (pp. 284–297). Routledge.

Hermans, T. (2007). The conference of the tongues. St. Jerome Publishing.

Venuti, L. (1995). The translator’s invisibility: A history of translation. Routledge.

Achebe, C. (1994). Things Fall Apart. Anchor Books. (Karya asli diterbitkan 1958)

Penerjemahan Sastra dalam Perspektif Teoretis, Estetis, dan Praktis

Harris Hermansyah Setiajid

Pemerhati Penerjemahan
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Penerjemahan sastra merupakan bidang dalam kajian penerjemahan yang memiliki kompleksitas tinggi, karena tidak hanya berkaitan dengan alih bahasa semata, tetapi juga dengan pengalihan nilai-nilai estetik, emosi, gaya, serta konteks budaya yang melekat dalam teks sumber. Dalam kerangka ini, penerjemah sastra dituntut untuk memiliki kompetensi ganda: sebagai penerjemah profesional dan sebagai pembaca sastra yang peka terhadap makna tersirat dan keindahan ekspresif bahasa.

Menurut Bassnett (2002), penerjemahan sastra mencakup keterlibatan aktif penerjemah dalam menafsirkan konteks budaya dan struktur literer teks sumber, yang kemudian harus direpresentasikan kembali dalam bahasa sasaran. Ia menyatakan bahwa “literary translation involves far more than simply conveying information; it requires the translator to engage with the literary and cultural context of the source text and to recreate it in another language” (hlm. 22). Dengan demikian, penerjemahan sastra merupakan proses kreatif dan intelektual yang sejajar dengan proses menulis ulang (rewriting).

Mempertahankan suara penulis

Salah satu tantangan besar dalam penerjemahan sastra adalah bagaimana mempertahankan suara penulis (authorial voice), gaya naratif, dan nuansa emosional dari teks asli. Ini sering kali melibatkan keputusan sulit antara keakuratan literal dan keberterimaan stilistika. Sebagai contoh, dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, kalimat terkenal “You never really understand a person until you consider things from his point of view” diterjemahkan oleh Bakdi Soemanto menjadi “Kau takkan benar-benar memahami seseorang sampai kau melihat dari sudut pandangnya.” Terjemahan ini menunjukkan keberhasilan dalam mempertahankan pesan moral dan nada naratif sederhana namun kuat, yang menjadi ciri khas karya Lee.

Penerjemahan puisi menghadirkan tantangan tersendiri karena menggabungkan unsur bunyi, ritme, rima, dan struktur formal. Dalam hal ini, konsep dynamic equivalence yang dikembangkan oleh Nida (1964) menjadi relevan. Ia berpendapat bahwa keberhasilan penerjemahan tidak terletak pada kesepadanan leksikal, tetapi pada kemampuan untuk menghasilkan respons yang serupa dari pembaca sasaran. Ketika menerjemahkan puisi seperti “The Tyger” karya William Blake, penerjemah dihadapkan pada dilema antara mempertahankan bentuk puisi asli atau menyampaikan pesan filosofisnya secara efektif dalam bahasa sasaran.

Lefevere (1992) lebih jauh menyoroti bahwa penerjemahan sastra bukanlah proses netral, melainkan bentuk rewriting yang senantiasa dipengaruhi oleh ideologi, poetika, dan patronase yang berlaku dalam masyarakat target. Artinya, penerjemah tidak hanya bekerja dalam ruang linguistik, tetapi juga dalam sistem nilai dan kekuasaan tertentu. Ini bisa dilihat dalam bagaimana teks sastra asing disesuaikan untuk memenuhi norma moral, politik, atau estetika lokal.

Menjadi penafsir ulang

Dalam tataran praktik, penerjemahan sastra di Indonesia telah berkembang dengan dinamika yang menarik. Salah satu penerjemah sastra kontemporer yang produktif adalah Aan Mansyur, yang menerjemahkan karya-karya Ernest Hemingway, seperti The Old Man and the Sea. Hemingway dikenal dengan gaya penulisan yang hemat kata dan penuh ketegangan emosional. Dalam versi terjemahan Aan, kehematan itu tetap terjaga, dengan pilihan diksi yang padat dan ritmis. Ini menunjukkan bagaimana penerjemah perlu memahami tidak hanya isi teks, tetapi juga gaya dan atmosfer yang membentuknya.

Tidak hanya karya prosa dan puisi, genre drama juga menuntut kepekaan khusus dalam penerjemahan. Bahasa dalam drama sering kali bersifat idiomatis dan terkait erat dengan konteks budaya serta performatif. Maka dari itu, penerjemahan naskah drama menuntut perhatian terhadap dialog natural, register, dan kemungkinan performa dalam budaya target. Dalam hal ini, penerjemahan sastra bersinggungan langsung dengan studi teater dan performativitas.

Secara keseluruhan, penerjemahan sastra adalah arena yang mempertemukan bahasa dan budaya dalam bentuk paling kompleks, halus, dan manusiawi. Ia menuntut lebih dari sekadar keterampilan linguistik—ia menuntut kepekaan etis, estetika, dan intelektual. Penerjemah sastra tidak hanya menjembatani dua bahasa, tetapi juga dua dunia: dunia penciptaan dan dunia pembacaan ulang. Dalam proses ini, penerjemah menjadi penafsir yang menghadirkan kembali makna, emosi, dan imajinasi lintas batas geografis dan historis.

Sebagaimana ditekankan oleh Venuti (1995), penerjemahan sastra adalah tindakan yang mengandung pilihan ideologis: memilih kata adalah memilih nilai, dan menyuarakan makna adalah menyuarakan identitas. Dengan demikian, penerjemahan sastra bukan hanya bagian dari praktik kebahasaan, tetapi juga kontribusi terhadap dialog peradaban. Dalam setiap teks sastra yang diterjemahkan dengan cermat, ada upaya mempertahankan kemanusiaan dalam keragaman, dan dalam setiap pembacaan yang lintas bahasa, tersimpan harapan untuk memahami yang lain secara lebih utuh. Maka, penerjemahan sastra bukan hanya seni membaca dan menulis, tetapi juga seni memahami dan menjembatani dunia.

Untuk mengetahui selengkapnya tentang penerjemahan sastra, ikuti seri Pelatihan Penerjemahan Sastra yang diselenggarakan Jogja Literary Translation Club bekerja sama dengan Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma.

Seri 1 “Pengantar Penerjemahan Sastra”
19 Mei 2025, 19:00-21:00 WIB

 

Pustaka

Bassnett, S. (2002). Translation studies (3rd ed.). Routledge.

Blake, W. (1794). The Tyger, dalam Songs of Experience.

Lee, H. (2010). To Kill a Mockingbird (terj. B. Soemanto). Qanita. (Karya asli diterbitkan 1960)

Lefevere, A. (1992). Translation, rewriting, and the manipulation of literary fame. Routledge.

Nida, E. A. (1964). Toward a science of translating: With special reference to principles and procedures involved in Bible translating. Brill.

Venuti, L. (1995). The translator’s invisibility: A history of translation. Routledge.