Teori Penerjemahan

Deforming Tendencies dalam Penerjemahan: Telaah atas Gagasan Antoine Berman

Yusuf Arimatea Neno
Chief Operating Officer
Jogja Literary Translation Club
JLTC 0238

Dalam praktik penerjemahan, terdapat dua metode utama yang dapat digunakan untuk menerjemahkan teks, yaitu domestikasi (domestication) dan pengasingan (foreignization). Metode domestikasi bertujuan untuk membuat teks terasa lebih lokal dan akrab dengan budaya bahasa target (BT). Melalui metode ini, teks didekatkan kepada pembaca dengan menggunakan istilah-istilah lokal yang sudah dikenal, sehingga pembaca tidak perlu memahami istilah asing. Dengan kata lain, teks “mengunjungi” pembaca melalui penyesuaian budaya.

Sebaliknya, pengasingan merupakan metode yang mempertahankan istilah-istilah dari bahasa sumber (BS) ke dalam bahasa target. Pendekatan ini mengharuskan pembaca untuk “mendekat” kepada teks, belajar mengenal istilah asing, dan melampaui zona kenyamanan konteks budaya mereka sendiri.

Lawrence Venuti mengemukakan bahwa konsep domestikasi dan pengasingan awalnya berasal dari gagasan Friedrich Schleiermacher dalam esainya yang berjudul Über die verschiedenen Methoden des Übersetzens. Namun, menurut Venuti, domestikasi dan pengasingan bukanlah dua kutub yang saling bertentangan secara biner, melainkan bagian dari sebuah kontinum yang berkaitan dengan kode etik penerjemahan. Ia menyatakan bahwa istilah seperti domestication dan foreignization pada dasarnya mencerminkan sikap etis terhadap teks dan budaya asing, serta efek etis yang dihasilkan dari pilihan teks untuk diterjemahkan dan strategi penerjemahan yang digunakan. Sementara itu, istilah seperti fluency dan resistancy lebih menunjukkan ciri-ciri wacana dalam strategi penerjemahan yang memengaruhi cara pembaca memproses teks secara kognitif (Venuti, 2018:19).

Venuti sendiri cenderung memilih strategi pengasingan dalam menerjemahkan karya-karyanya. Namun, ia juga menyadari bahwa penggunaan metode domestikasi atau pengasingan sangat bergantung pada dominasi pengaruh budaya dalam teks sumber. Pilihan strategi ini merupakan keputusan etis dari penerjemah: apakah akan membawa teks lebih dekat kepada pembaca, atau justru membawa pembaca mendekati teks tersebut.

Analitik negatif Berman

Dari sini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana penerjemah perlu membawa pembaca ke dalam dunia teks untuk memperkenalkan istilah asing? Atau seberapa signifikan penerjemah harus mengasimilasi istilah asing ke dalam konteks lokal bahasa target?

Antoine Berman menanggapi pemikiran Venuti dalam bukunya L’épreuve de l’étranger: Culture et traduction dans l’Allemagne romantique (1984), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Experience of the Foreign: Culture and Translation in Romantic Germany (1992). Berman mengkritik kecenderungan umum dalam penerjemahan yang cenderung meniadakan unsur asing melalui strategi ‘naturalisasi’ — yang kemudian diistilahkan sebagai domestikasi oleh Venuti. Menurut Berman (ibid.: 241), “tujuan etis yang tepat dari tindakan penerjemahan adalah menerima yang asing sebagai yang asing.” Pandangan ini sangat memengaruhi strategi pengasingan Venuti. Namun, Berman juga mengakui bahwa secara umum terdapat suatu sistem deformasi tekstual dalam bahasa target yang menghambat munculnya kata atau konsep asing. Analisisnya terhadap bentuk-bentuk deformasi ini ia sebut sebagai analitik negatif.

“The negative analytic is primarily concerned with ethnocentric, annexationist translations and hypertextual translations (pastiche, imitation, adaptation, freemwriting), where the play of deforming forces is freely exercised (Berman 1984, p. 242)”

Berman, yang dikenal menerjemahkan karya-karya fiksi Amerika Latin dan filsafat Jerman, memandang bahwa setiap penerjemah secara inheren dan tak terelakkan terpapar pada kekuatan etnosentris dalam proses penerjemahan (Munday et al., 2022). Kekuatan ini tidak hanya membentuk keinginan untuk menerjemahkan, tetapi juga memengaruhi bentuk akhir dari teks terjemahan (TT). 

Menurut Berman, satu-satunya cara untuk menetralisasi kecenderungan-kecenderungan deformasi tersebut adalah melalui analisis psikoanalitis terhadap karya penerjemah itu sendiri, serta dengan mendorong kesadaran penerjemah terhadap kekuatan-kekuatan ideologis dan kultural yang memengaruhi keputusan mereka selama proses penerjemahan.

“The principal problem of translating the novel is to respect its shapeless polylogic and avoid an arbitrary homogenization (Berman 1984, p. 243)”

12 kecenderungan deformasi Berman

Dengan pernyataan ini, Berman merujuk pada keragaman bahasa dan kreativitas yang melekat dalam karya novel, serta bagaimana praktik penerjemahan cenderung mengurangi atau mereduksi keragaman tersebut. Ia menilai bahwa proses penerjemahan kerap kali menyederhanakan kekayaan linguistik dan gaya yang khas dari teks sumber. Untuk menjelaskan hal ini, Berman mengidentifikasi dua belas kecenderungan deformasi (deforming tendencies) yang lazim muncul dalam teks terjemahan.

1. Rationalization
Sebuah deformasi yang mana menata ulang sintaksis agar sesuai dengan aturan bahasa target, sering kali melibatkan teknik generalisasi.

  • ST: She left without bringing any money, clothes, or food
  • TT: Dia tidak membawa apa-apa saat pergi

Beberapa kata dalam ST seperti money, clothes, dan food diterjemahkan secara general menjadi apa-apa dalam TT. Meskipun secara konteks masih dapat dipahami, penggantian ini menyebabkan hilangnya detail yang penting dalam ST.

2. Clarification
Memperjelas ambiguitas dengan membuat makna tersirat menjadi tersurat. Mengklarifikasi suatu makna agar lebih jelas.

  • ST: Let him cook
  • TT: Biarkan dia menunjukan kemampuanya

Kalimat Let him cook bukan bahasa kiasan atau idiom, tetapi istilah populer internet untuk memberikan dukungan kepada orang untuk menunjukan kemampuan. Terjemahan ini langsung memberikan makna secara gamblang tapi tidak mentransfer emosi asli dari ST.

3. Expansion
Memanjangkan hasil terjemahan di TT, terkadang tindakan ini tidak dibutuhkan.

  • ST: It good
  • TT: Barang ini bagus sekali

Ungkapan good seharusnya cukup diterjemahkan menjadi bagus. Penambahan kata sekali sangat tidak perlukan, tidak memperjelakan konteks tapi malah membuat konteks sendiri di TT.

4. Ennoblement 
Penerjemah memiliki tendensi untuk mengubah atau mengimprovisasi sebuah kata atau ekpresi yang ada di ST menjadi lebih elegan di TT. Tindakan ini dapat menghancurkan retorika lisan dalam ST.

  • ST: He is cool man
  • TT: dia sangat berkarisma

Ungkapan cool man dapat diterjemahkan menjadi pria keren, terjemahan itu memang tidak elegan tapi dapat mempertahankan makna asli. Tapi frasa itu malah diterjemahkan menjadi sangat berkarisma. Kata berkarisma memang elegan dan astetik tapi malah melukai makna di ST, konteknya menjadi berubah.

5. Qualitative impoverishment
Tindakan penerjemah yang membuat teks ST kehilangan keunikan atas kata atau ekpresi.

  • ST: Thank you, bro
  • TT: Terimakasih, teman

Kata bro memang dapat diterjemahkan menjadi teman tetapi tidak dapat memberikan ekpresi yang unik. Kata bro sering digunakan untuk merujuk kapada teman cowok yang sangat akrap atau sahabat karib. Di Indonesia kata bro sudah melekat di kosakata sehari-hari shingga tidak perlu diterjemahkan.

6. Quantitative impoverishment
Sebuah terjemahan yang kehilangan keragaman lesikal atau eliminasi dari permainan kata.

  • ST: She and he eat an apple
  • TT: Dia dan dia makan apel

Di bahasa Inggris ada aturan gender sehingga kita tahu gender seseorang saat merujuk orang. Di bahasa Indonesia tidak ada aturan gender sehingga tidak ada kata untuk merujuk gender. Kata she dan he kehilangan maknanya jika ditermahkan menjadi dia. Perbedaan ini membuat konteks di ST tidak sepenuhnya ditransfer di TT.

7. The destruction of rhythms 
Ritme banyak ditemukan di genre puisi yang membuat terjemahan puisi kadang kehilangan ritme nya. Bukan hanya ada di puisi tapi di berbagi genre sastra lain. Tatanan kata juga akan berubah saat diterjemahkan.

  • ST: This is night knight
  • TT: Ini adalah kesatria malam

Di bahasa Inggris, night dan knight memiliki bunyi yang sama sehingga menghasilkan ritme yang selaras. Tapi, di bahasa Indonesia terjemahan literal dari kedua kata itu tidak dapat mengasilkan ritme yang sama karena tidak mengasilkan bunyi yang sama.

8. The destruction of underlying networks of signification
Networks atau jaringan kata sangat berpengaruh untuk membentuk konteks yang lebih besar. Memang satu kata tidak akan memberikan arti yang signifikan tapi jika kata terus diulang pada keseluruhan teks maka ada sebuah pesan yang ini disampaikan.

  • ST: I love the light, I need the light, I feel the light
  • TT: Aku suka cahaya, Aku butuh sinar, Aku merasakan kemilau

Kata light disini memiliki banyak padanan kata di dalam di bahasa indonesia Indonesia tetapi justru jika menerjemahkan secara berbeda akan merusak konteks itu sendiri. Seharusnya diterjemahkan dengan padanan kata yang sama.

9. The destruction of linguistic patternings
Penggunaan terlalu banyak teknik penerjemahan dapat merusak pola linguistik yang ada di ST. Banyak teknik akan menstandarisasi terjemahan sehingga pole dan kontruksi linguistik bisa hilang.

  • ST: She sells seashells by the seashore
  • TT: Dia menjual kerang di tepi pantai

Kalimat di ST adalah tongue twister yang sengaja dibentuk untuk memiliki bunyi yang sama dan susah diucapkan. Terjemahan di TT itu memang dapat mentransfer semua pesanya tetapi tidak dengan bunyinya.

10. The destruction of vernacular networks or their exoticization
Hilangnya kenunikan vernakular yang ada di ST karena tidak bisa di transfer ke bahasa target. Berman menyarankan cultural items bisa di ubah menjadi italics.

  • ST: Ain’t no man (AAVE)
  • TT: Tidak ada seorang pun

Kalimat Ain’t no man adalah bahasa African American Vernacular English. Dimana kalimat tersebut harus dibaca dialek AAVE dan pembaca ST tau kalau kalimat tersebut harus dibaca seperti itu. Saat diterjemahkan ke bahasa Indonesia, keunikan itu hilang dan hancur. Pembaca TT pasti tidak akan tau kalau kalimat itu sebenarnya adalah AAVE.

11. The destruction of expressions and idioms
Berman memandang menerjemahan idiom mengunakan teknik ekuivalen sebagai tindakan ethnocentrism. Mengunakan ekuivalence seperti menyerang budaya di ST

  • ST: Hit the sack
  • TT: Pergi ke dunia mimpi

Meskipun terjemahan dalam TT secara makna dapat dipertanggungjawabkan karena menggunakan teknik ekuivalen yang efektif dalam mentransfer isi dari ST, aspek imajinatif dan pengalaman estetik yang melekat pada teks sastra sering kali lenyap dalam proses tersebut.

12. The effacement of the superimposition of languages
Penerjemahan sering kali menghilangkan variasi linguistik yang berbeda yang ada di dalam ST, merusak keragaman linguistik.

  • ST: Go away, Adios!
  • TT: Pergi, selamat tinggal!

Kata adios seharusnya tidak usah dihilangkan karena itu adalah keunikan ekpresi yang ada di ST, keragaman linguistik menjadi hilang

Kedua belas kecenderungan penerjemah yang disebut deforming tendencies oleh Antoine Berman merupakan fenomena umum dalam praktik penerjemahan. Konsep ini sekaligus menjadi kritik terhadap para penerjemah yang kerap mengubah teks sesuai preferensi pribadi, sehingga menghilangkan berbagai aspek khas dan keunikan teks sumber.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Medium Yusuf Neno.

Pustaka

Berman, A. (1984/1992) L’épreuve de l’étranger: Culture et traduction dans l’Allemagne romantique. Paris: Éditions Gallimard; translated (1992) by S. Heyvaert as The Experience of the Foreign: Culture and Translation in Romantic Germany. State University of New York.

Munday, J., Pinto, S. R., & Blakesley, J. (2022). Introducing Translation Studies: Theories and Applications 5th Edition (5th ed.). Routledge.

Venuti, L. (1995/2018) The Translator’s Invisibility: A History of Translation. Routledge.

Penerjemahan Sastra: Etika dan Praktik Profesional

Harris Hermansyah Setiajid

Pemerhati Penerjemahan

Universitas Sanata Dharma

JLTC 0039

Dalam dunia sastra, penerjemah bukan hanya perantara bahasa, melainkan juga pelaku etis yang bertanggung jawab terhadap representasi budaya, gaya penulisan, dan intensi pengarang. Ia harus menghadapi beragam dilema antara kesetiaan terhadap teks sumber dan keterbacaan dalam bahasa sasaran. Tugas penerjemah tidak sekadar memindahkan kata demi kata, melainkan menggali makna terdalam dari sebuah karya dan menyampaikannya dengan kepekaan linguistik serta kesadaran budaya. Dalam proses ini, penerjemah menjadi penjembatan antara dua dunia yang berbeda, menafsirkan teks dengan empati dan tanggung jawab. 

Sebagai pelaku budaya, ia mesti peka terhadap konteks sosial, politik, dan historis yang membentuk naskah asal. Maka, praktik penerjemahan sastra selalu menuntut pertimbangan etis yang tidak bisa diabaikan.

Penerjemah Sastra sebagai Pelaku Etis

Seperti dikemukakan oleh Antoine Berman (1985), penerjemahan sastra yang baik harus menghindari deforming tendencies, yaitu kecenderungan merusak bentuk dan jiwa teks sumber. Misalnya, dalam menerjemahkan metafora puitis dari Rainer Maria Rilke ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah tidak cukup hanya menerjemahkan makna leksikal, tetapi juga harus menangkap efek emosional dan musikalitasnya.

Contoh konkret bisa dilihat dalam penerjemahan puisi Chairil Anwar ke dalam bahasa Inggris. Baris “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” diterjemahkan oleh Burton Raffel sebagai “I want to live a thousand years more”. Meski literal, banyak kritikus berpendapat bahwa nuansa eksistensial dalam versi aslinya tidak sepenuhnya terwakili. Di sinilah muncul pertanyaan etis: Haruskah penerjemah menambahkan lapisan interpretasi atau tetap pada literalitas?

Kutipan dari Lawrence Venuti memperkuat hal ini: “The translator wields considerable power in the formation of cultural identity, but this power must be accompanied by ethical responsibility” (Venuti, 1995, The Translator’s Invisibility).

Dengan demikian, penerjemah sastra harus sadar bahwa setiap keputusan linguistik mengandung implikasi ideologis dan kultural.

Praktik Profesional dan Tanggung Jawab Penerjemah

Selain dimensi etika, penerjemahan sastra juga menuntut profesionalisme dalam bentuk kerja sama, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak intelektual.

Salah satu prinsip utama dalam praktik profesional adalah pengakuan terhadap karya penerjemah. Di banyak negara, hak moral penerjemah dilindungi oleh hukum hak cipta, termasuk hak untuk diakui sebagai pengalih bahasa. Sayangnya, di banyak penerbitan Indonesia, nama penerjemah kerap ditulis kecil atau bahkan dihilangkan. Padahal, menurut UNESCO (1976), penerjemah memiliki hak moral untuk dicantumkan namanya pada setiap publikasi karya terjemahan.

Contoh positif datang dari penerbit Tilted Axis Press di Inggris yang memosisikan penerjemah sebagai kolaborator utama dalam proyek literatur dunia ketiga. Misalnya, dalam penerbitan novel The Hole karya Pyun Hye-young, penerjemah Sora Kim-Russell bahkan dilibatkan dalam sesi diskusi publik dan proses penyuntingan akhir.

Penerjemah juga bertanggung jawab untuk menjaga komunikasi terbuka dengan editor dan, jika memungkinkan, dengan penulis asli. Dalam penerjemahan karya Murakami, Jay Rubin (salah satu penerjemah utamanya) dikenal sebagai mitra diskusi Murakami dalam menentukan kata atau ekspresi kunci yang sulit dialihkan. Ini mencerminkan praktik profesional berbasis kolaborasi.

Seiring berkembangnya pasar penerjemahan global, penerjemah juga harus terbuka pada revisi, peer review, dan umpan balik dari pembaca. Profesionalisme bukan hanya soal kontrak kerja, tetapi juga soal kesediaan untuk tumbuh dan menyempurnakan hasil kerja secara berkelanjutan.

Tantangan Kontemporer dan Refleksi Etis

Dunia sastra hari ini semakin kompleks dengan hadirnya isu-isu seperti representasi gender, postkolonialisme, dan sensor politik. Dalam konteks ini, penerjemah dituntut untuk tidak hanya fasih secara bahasa, tetapi juga peka secara sosial dan ideologis.

Contoh yang sempat mencuat adalah kontroversi seputar terjemahan karya The Vegetarian oleh Han Kang. Penerjemahnya, Deborah Smith, dianggap terlalu bebas dalam menerjemahkan narasi dan gaya bahasa Korea, sehingga menimbulkan perdebatan: apakah ini bentuk kreatif yang sah, atau pelanggaran etis terhadap otoritas penulis? Beberapa kritikus di Korea menyebut bahwa terjemahan tersebut terlalu ‘mengindahkan selera Barat’, sehingga menciptakan orientalist gaze terhadap karya Asia.

Dalam konteks lokal, penerjemahan novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori juga menimbulkan tantangan. Banyak referensi budaya, politik Orde Baru, dan trauma kolektif 1998 yang tidak mudah dialihkan ke bahasa asing tanpa kehilangan kekuatan historisnya. Penerjemah perlu memutuskan: apakah akan memberi catatan kaki? Apakah akan mengadaptasi secara kontekstual?

Dalam isu gender, penerjemahan karya LGBTQ+ juga menuntut sensitivitas tinggi. Istilah seperti they/themnon-binary, atau penggunaan queer slang dalam novel-novel kontemporer harus diterjemahkan dengan hati-hati agar tidak menghapus identitas tokoh. Penerjemah tidak boleh menyeragamkan ekspresi gender hanya demi kenyamanan budaya sasaran.

Seperti dikatakan oleh Gayatri Spivak (1993), “The task of the translator is to listen to the silence of the text and resist the temptation to make the Other fully knowable.”

Etika penerjemahan sastra tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, sejarah, dan kuasa yang menyertainya. Ini menuntut penerjemah untuk terus merefleksikan posisinya, bukan hanya sebagai pengalih bahasa, tetapi juga sebagai pelaku budaya dan agen politik dalam skala mikro

Untuk mengetahui selengkapnya tentang penerjemahan sastra, ikuti seri Pelatihan Penerjemahan Sastra yang diselenggarakan Jogja Literary Translation Club bekerja sama dengan Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma.

Seri 3 “Etika dan Praktik Profesional”
2 Juni 2025, 07:30-09:00 WIB.

Pustaka

Berman, A. (1985). Translation and the Trials of the Foreign. In L. Venuti (Ed.), The Translation Studies Reader (2000). Routledge.

Lefevere, A. (1992). Translation, Rewriting, and the Manipulation of Literary Fame. Routledge.

Spivak, G. C. (1993). Outside in the Teaching Machine. Routledge.

UNESCO. (1976). Recommendation on the Legal Protection of Translators and Translations and the Practical Means to Improve the Status of Translators.

Venuti, L. (1995). The Translator’s Invisibility: A History of Translation. Routledge.

Smith, D. (2016). Translator’s Preface to The Vegetarian. Portobello Books.