Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Penerjemahan sering disebut sebagai “the invisible art”, seni yang tak terlihat. Para penerjemah bekerja di balik layar, menjembatani bahasa, budaya, dan ideologi tanpa banyak sorotan. Kita adalah fasilitator komunikasi yang diam-diam membentuk sejarah, politik, ekonomi, dan diplomasi, tetapi nyaris tak tercatat sebagai subjek aktif dalam percaturan wacana publik.
Sebagai penerjemah, kita terbiasa memindahkan pesan, tetapi jarang memindahkan pengalaman itu sendiri ke dalam bentuk tulisan yang bisa diwariskan. Kita menyelesaikan proyek demi proyek, lalu menyimpannya dalam folder pribadi atau di balik Non-Disclosure Agreement (NDA). Padahal di balik proses itu ada banyak cerita, dilema, bahkan strategi yang layak dibagikan.
Pertanyaannya: Kapan terakhir kali kita menulis tentang pengalaman menerjemahkan, bukan sekadar melakukannya?
Mengapa menulis tentang penerjemahan?
Menulis tentang penerjemahan bukan sekadar soal akademik atau publikasi semata. Ini adalah bagian dari transfer pengetahuan dan tanggung jawab profesional.
Penerjemahan adalah aktivitas yang selalu berhadapan dengan konteks: budaya, politik, hukum, bahkan psikologi bahasa. Ketika kita menuliskan pengalaman menerjemahkan, kita sedang membuka jendela bagi orang lain untuk belajar dari proses yang kita jalani. Kita membantu orang lain memahami bukan hanya “apa yang diterjemahkan”, tetapi “bagaimana” dan “mengapa” keputusan-keputusan penerjemahan diambil.
Lebih jauh lagi, dengan menulis kita ikut membangun ekosistem pengetahuan penerjemahan nasional. Di negara seperti Indonesia, yang multibahasa dan multikultural, praktik penerjemahan seringkali tidak terdokumentasi dengan baik. Akibatnya, generasi penerjemah berikutnya harus belajar dari awal, seakan tak ada jejak yang bisa diikuti.
Dengan adanya Jurnal Penerjemahan Online Kemensetneg, peluang untuk berbagi pengalaman secara lebih sistematis kini terbuka. Praktisi bisa menuliskan studi kasus, refleksi, atau analisis pengalaman menerjemahkan dokumen negara, pidato kenegaraan, undang-undang, perjanjian internasional, dan berbagai teks penting lainnya. Akademisi bisa mengkaji data tersebut untuk mengembangkan teori dan memperkaya literatur nasional.
Write, Share, Impact
Mari kita bedah satu per satu.
Write – Mulai dengan menulis
Banyak penerjemah merasa ragu saat akan menulis:
“Saya kan cuma praktisi, bukan akademisi.”
“Tulisan saya nanti takutnya kurang ilmiah.”
“Waktunya kapan? Sibuk dengan deadline.”
Padahal, menulis itu seperti menerjemahkan juga, dimulai dari satu kalimat pertama. Tidak perlu menunggu sempurna. Tulis saja dulu. Revisi urusan nanti.
Tips memulai tulisan tentang penerjemahan:
- Pilih pengalaman yang spesifik: misalnya, kesulitan menerjemahkan istilah hukum yang ambigu, atau pengalaman menangani teks sensitif yang berdampak diplomatis.
- Fokus pada proses, bukan hasil. Ceritakan bagaimana kita memutuskan padanan tertentu dan mengapa.
- Sertakan referensi teori sebagai penguat, tetapi jangan biarkan teori menenggelamkan cerita.
- Gunakan bahasa yang komunikatif, tidak kaku, tetapi tetap sistematis.
Publikasi bukan cuma untuk dosen atau peneliti. Praktisi juga wajib punya ruang untuk menulis.
Share – Bagikan untuk komunitas
Tulisan yang disimpan sendiri di laptop atau Google Drive tidak akan berdampak. Tulisan harus dibagikan. Dengan berbagi, kita mengajak komunitas untuk berdiskusi, memperbaiki praktik, dan berkembang bersama.
Jurnal Penerjemahan Online hadir sebagai wadah untuk itu. Di sinilah kita bisa mempublikasikan:
- Refleksi penerjemahan dokumen resmi
- Studi kasus penerjemahan kebijakan negara
- Cerita di balik layar proses penyuntingan terjemahan
- Analisis dilema etik dalam penerjemahan rahasia negara
- Pengalaman menghadapi tantangan bahasa diplomatik
Selain berbagi dalam jurnal, kita juga bisa membagikan tulisan di blog, media sosial profesional seperti LinkedIn, situs web komunitas seperti Jogja Literary Translation Club atau dalam seminar dan workshop. Dengan cara ini, tulisan menjadi alat pembelajaran yang hidup.
Impact – Ciptakan dampak nyata
Publikasi bukan soal mengejar angka sitasi atau skor akreditasi semata. Lebih dari itu, publikasi adalah tentang dampak pengetahuan.
Bayangkan jika:
- Seorang penerjemah pemula bisa belajar dari pengalaman kita mengatasi ambiguitas teks hukum.
- Seorang dosen bisa mengutip tulisan kita untuk bahan ajar tentang penerjemahan teks diplomatik.
- Seorang policymaker memahami pentingnya peran penerjemah dalam menjaga citra negara melalui tulisan kita tentang kesalahan kecil yang bisa berdampak besar.
Inilah yang disebut “translation beyond text”, penerjemahan yang berdampak, karena tidak hanya memindahkan bahasa, tetapi juga mewariskan pengetahuan dan memperbaiki praktik kerja kolektif.
Menyentuh dua dunia: praktis dan akademis
Beberapa dari kita mungkin bertanya: “Bagaimana kalau ingin menulis untuk jurnal akademik seperti SINTA atau Scopus?”
Jawabannya: bisa. Dunia akademik dan dunia praktis sebenarnya bisa bersinergi.
Jika di jurnal praktis kita menulis refleksi personal, di jurnal akademik kita bisa mengolah pengalaman itu menjadi artikel ilmiah dengan pendekatan metodologis. Misalnya:
- Menjadikan pengalaman penerjemahan sebagai studi kasus
- Membandingkan hasil terjemahan beberapa penerjemah untuk dianalisis secara teoretis
- Mengkaji pengaruh konteks budaya dan politik terhadap strategi penerjemahan tertentu
Dengan cara ini, kita tidak hanya berbagi cerita, tetapi juga ikut membangun teori dan pengetahuan ilmiah tentang penerjemahan di tingkat nasional maupun internasional.

Penerjemahan adalah seni yang membantu peradaban bergerak. Namun, tanpa dokumentasi, seni itu akan hilang begitu saja. Kita perlu menulis tentang penerjemahan bukan karena ingin sekadar terkenal, tetapi karena ingin mewariskan pengetahuan. Seperti kata pepatah, “Jika ingin dikenal satu abad, tanamlah pohon. Jika ingin dikenal seribu abad, tulislah buku.”
Hari ini, kita bisa mulai dengan satu artikel. Satu refleksi. Satu tulisan yang jujur tentang praktik kita sehari-hari.
Karena dengan menulis dan berbagi, kita memberi dampak. Write, Share, Impact!
Artikel ini ditulis untuk Peluncuran Jurnal Penerjemahan Online Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 29 Juli 2025.
Pustaka
Cronin, M. (2003). Translation and Globalization. Routledge.
Eco, U. (2003). Mouse or Rat? Translation as Negotiation. Weidenfeld & Nicolson.
Pym, A. (2012). On Translator Ethics: Principles for Mediation between Cultures. John Benjamins.
Venuti, L. (2012). The Translator’s Invisibility: A History of Translation (2nd ed.). Routledge.
Chesterman, A. (1997). Memes of Translation: The Spread of Ideas in Translation Theory. John Benjamins.