July 2025

Translation: Write, Share, Impact!

Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Penerjemahan sering disebut sebagai “the invisible art”, seni yang tak terlihat. Para penerjemah bekerja di balik layar, menjembatani bahasa, budaya, dan ideologi tanpa banyak sorotan. Kita adalah fasilitator komunikasi yang diam-diam membentuk sejarah, politik, ekonomi, dan diplomasi, tetapi nyaris tak tercatat sebagai subjek aktif dalam percaturan wacana publik.

Sebagai penerjemah, kita terbiasa memindahkan pesan, tetapi jarang memindahkan pengalaman itu sendiri ke dalam bentuk tulisan yang bisa diwariskan. Kita menyelesaikan proyek demi proyek, lalu menyimpannya dalam folder pribadi atau di balik Non-Disclosure Agreement (NDA). Padahal di balik proses itu ada banyak cerita, dilema, bahkan strategi yang layak dibagikan.

Pertanyaannya: Kapan terakhir kali kita menulis tentang pengalaman menerjemahkan, bukan sekadar melakukannya?

Mengapa menulis tentang penerjemahan?

Menulis tentang penerjemahan bukan sekadar soal akademik atau publikasi semata. Ini adalah bagian dari transfer pengetahuan dan tanggung jawab profesional.

Penerjemahan adalah aktivitas yang selalu berhadapan dengan konteks: budaya, politik, hukum, bahkan psikologi bahasa. Ketika kita menuliskan pengalaman menerjemahkan, kita sedang membuka jendela bagi orang lain untuk belajar dari proses yang kita jalani. Kita membantu orang lain memahami bukan hanya “apa yang diterjemahkan”, tetapi “bagaimana” dan “mengapa” keputusan-keputusan penerjemahan diambil.

Lebih jauh lagi, dengan menulis kita ikut membangun ekosistem pengetahuan penerjemahan nasional. Di negara seperti Indonesia, yang multibahasa dan multikultural, praktik penerjemahan seringkali tidak terdokumentasi dengan baik. Akibatnya, generasi penerjemah berikutnya harus belajar dari awal, seakan tak ada jejak yang bisa diikuti.

Dengan adanya Jurnal Penerjemahan Online Kemensetneg, peluang untuk berbagi pengalaman secara lebih sistematis kini terbuka. Praktisi bisa menuliskan studi kasus, refleksi, atau analisis pengalaman menerjemahkan dokumen negara, pidato kenegaraan, undang-undang, perjanjian internasional, dan berbagai teks penting lainnya. Akademisi bisa mengkaji data tersebut untuk mengembangkan teori dan memperkaya literatur nasional.

Write, Share, Impact
Mari kita bedah satu per satu.

Write – Mulai dengan menulis
Banyak penerjemah merasa ragu saat akan menulis:

“Saya kan cuma praktisi, bukan akademisi.”
“Tulisan saya nanti takutnya kurang ilmiah.”
“Waktunya kapan? Sibuk dengan deadline.”

Padahal, menulis itu seperti menerjemahkan juga, dimulai dari satu kalimat pertama. Tidak perlu menunggu sempurna. Tulis saja dulu. Revisi urusan nanti.

Tips memulai tulisan tentang penerjemahan:

  • Pilih pengalaman yang spesifik: misalnya, kesulitan menerjemahkan istilah hukum yang ambigu, atau pengalaman menangani teks sensitif yang berdampak diplomatis.
  • Fokus pada proses, bukan hasil. Ceritakan bagaimana kita memutuskan padanan tertentu dan mengapa.
  • Sertakan referensi teori sebagai penguat, tetapi jangan biarkan teori menenggelamkan cerita.
  • Gunakan bahasa yang komunikatif, tidak kaku, tetapi tetap sistematis.

Publikasi bukan cuma untuk dosen atau peneliti. Praktisi juga wajib punya ruang untuk menulis.

Share – Bagikan untuk komunitas
Tulisan yang disimpan sendiri di laptop atau Google Drive tidak akan berdampak. Tulisan harus dibagikan. Dengan berbagi, kita mengajak komunitas untuk berdiskusi, memperbaiki praktik, dan berkembang bersama.

Jurnal Penerjemahan Online hadir sebagai wadah untuk itu. Di sinilah kita bisa mempublikasikan:

  • Refleksi penerjemahan dokumen resmi
  • Studi kasus penerjemahan kebijakan negara
  • Cerita di balik layar proses penyuntingan terjemahan
  • Analisis dilema etik dalam penerjemahan rahasia negara
  • Pengalaman menghadapi tantangan bahasa diplomatik

Selain berbagi dalam jurnal, kita juga bisa membagikan tulisan di blog, media sosial profesional seperti LinkedIn, situs web komunitas seperti Jogja Literary Translation Club atau dalam seminar dan workshop. Dengan cara ini, tulisan menjadi alat pembelajaran yang hidup.

Impact – Ciptakan dampak nyata
Publikasi bukan soal mengejar angka sitasi atau skor akreditasi semata. Lebih dari itu, publikasi adalah tentang dampak pengetahuan.

Bayangkan jika:

  • Seorang penerjemah pemula bisa belajar dari pengalaman kita mengatasi ambiguitas teks hukum.
  • Seorang dosen bisa mengutip tulisan kita untuk bahan ajar tentang penerjemahan teks diplomatik.
  • Seorang policymaker memahami pentingnya peran penerjemah dalam menjaga citra negara melalui tulisan kita tentang kesalahan kecil yang bisa berdampak besar.

Inilah yang disebut “translation beyond text”, penerjemahan yang berdampak, karena tidak hanya memindahkan bahasa, tetapi juga mewariskan pengetahuan dan memperbaiki praktik kerja kolektif.

Menyentuh dua dunia: praktis dan akademis

Beberapa dari kita mungkin bertanya: “Bagaimana kalau ingin menulis untuk jurnal akademik seperti SINTA atau Scopus?”

Jawabannya: bisa. Dunia akademik dan dunia praktis sebenarnya bisa bersinergi.

Jika di jurnal praktis kita menulis refleksi personal, di jurnal akademik kita bisa mengolah pengalaman itu menjadi artikel ilmiah dengan pendekatan metodologis. Misalnya:

  • Menjadikan pengalaman penerjemahan sebagai studi kasus
  • Membandingkan hasil terjemahan beberapa penerjemah untuk dianalisis secara teoretis
  • Mengkaji pengaruh konteks budaya dan politik terhadap strategi penerjemahan tertentu

Dengan cara ini, kita tidak hanya berbagi cerita, tetapi juga ikut membangun teori dan pengetahuan ilmiah tentang penerjemahan di tingkat nasional maupun internasional.

Penerjemahan adalah seni yang membantu peradaban bergerak. Namun, tanpa dokumentasi, seni itu akan hilang begitu saja. Kita perlu menulis tentang penerjemahan bukan karena ingin sekadar terkenal, tetapi karena ingin mewariskan pengetahuan. Seperti kata pepatah, “Jika ingin dikenal satu abad, tanamlah pohon. Jika ingin dikenal seribu abad, tulislah buku.”

Hari ini, kita bisa mulai dengan satu artikel. Satu refleksi. Satu tulisan yang jujur tentang praktik kita sehari-hari.

Karena dengan menulis dan berbagi, kita memberi dampak. Write, Share, Impact!

Artikel ini ditulis untuk Peluncuran Jurnal Penerjemahan Online Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 29 Juli 2025.

Pustaka

Cronin, M. (2003). Translation and Globalization. Routledge.

Eco, U. (2003). Mouse or Rat? Translation as Negotiation. Weidenfeld & Nicolson.

Pym, A. (2012). On Translator Ethics: Principles for Mediation between Cultures. John Benjamins.

Venuti, L. (2012). The Translator’s Invisibility: A History of Translation (2nd ed.). Routledge.

Chesterman, A. (1997). Memes of Translation: The Spread of Ideas in Translation Theory. John Benjamins.

Menjaga Bahasa, Menjaga Bumi: Greenwashing dan Tantangan Eco-Translation di Indonesia

Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039

Bayangkan suatu hari Anda sedang scrolling media sosial, lalu muncul iklan sebuah perusahaan besar dengan visual menenangkan: hutan hijau, sungai jernih, anak-anak tersenyum memungut sampah dari pantai. Di pojok bawah, ada logo perusahaan tersebut, yang Anda tahu, di balik layar, justru sering diberitakan terkait pencemaran lingkungan. Inilah yang disebut greenwashing (pencucian hijau): seni mengemas citra hijau tanpa tindakan nyata. Tulisan berikut ini merupakan pengantar dari tulisan saya yang lebih mendetail yang dimuat dalam buku Ekologi dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Budaya.

Greenwashing bukan hal baru. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Jay Westerveld pada 1986 saat mengkritik hotel yang meminta tamu “hemat handuk demi lingkungan”, padahal jejak ekologis hotel itu justru tak berkurang. Di Indonesia, praktik ini makin marak sejak isu keberlanjutan menjadi tren global. Banyak perusahaan, dari sawit, energi, hingga startup fintech, mulai menggunakan kata-kata seperti “ramah lingkungan”, “net zero”, atau “berkelanjutan”, meskipun praktiknya masih jauh dari klaim tersebut.

Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah kasus Asia Pulp & Paper (APP). Perusahaan ini pernah mengumumkan kebijakan zero deforestation. Namun, investigasi dari Eyes on the Forest dan Greenpeace membuktikan bahwa rantai pasoknya masih terkait dengan pembalakan liar di Sumatra dan Kalimantan. Di sisi lain, laporan media internasional seperti Eco-Business dan Earth Journalism juga mengungkap bagaimana perusahaan-perusahaan besar di Indonesia berusaha membangun citra hijau melalui laporan tahunan dan video promosi, meskipun dampak riil terhadap lingkungan seringkali minim.

Masalahnya, greenwashing ini tidak hanya terjadi di tataran komunikasi visual atau iklan. Ia juga masuk ke dalam teks-teks korporasi yang diterjemahkan dan disebarluaskan, baik dalam laporan keberlanjutan, siaran pers, maupun kampanye pemasaran global. Di sinilah peran eco-translation menjadi penting.

Apa itu eco-translation?

Eco-translation (eko-terjemahan) adalah pendekatan penerjemahan yang tidak hanya memikirkan bagaimana teks bisa terbaca secara linguistik, tetapi juga bagaimana teks itu berdampak secara ekologis. Michael Cronin, dalam bukunya Translation and Globalization, menyebut bahwa penerjemahan bukan sekadar soal memindahkan kata, melainkan juga memindahkan nilai dan ideologi. Dalam konteks lingkungan, penerjemah memiliki peran ganda: sebagai komunikator dan penjaga etika.

Bayangkan ketika sebuah perusahaan multinasional menugaskan penerjemah untuk mengalihbahasakan klaim “Our products are carbon neutral by 2030.” Jika penerjemah hanya mengalihbahasakan secara literal menjadi “Produk kami akan netral karbon pada 2030”, maka ia sedang menjadi bagian dari strategi greenwashing, terlebih jika perusahaan tersebut tidak menjelaskan bagaimana prosesnya, apakah lewat pengurangan emisi nyata atau hanya dengan membeli offset yang tidak jelas.

Dalam praktik eco-translation, penerjemah disarankan menambahkan klarifikasi, misalnya dengan catatan kaki atau penjelasan tambahan. Jika ada klaim “sustainable palm oil”, penerjemah bisa menulis “minyak sawit berkelanjutan (mengacu pada standar RSPO, yang meskipun diakui internasional, masih memiliki kritik terkait deforestasi di area bersertifikat)”. Dengan begitu, penerjemah membantu pembaca untuk tidak sekadar menerima informasi secara pasif, tetapi mengajak berpikir kritis terhadap klaim hijau yang beredar.

Masalah lain adalah ketika istilah asing langsung diterjemahkan tanpa mempertimbangkan budaya lokal. Istilah “carbon neutral”, misalnya, sering diartikan mentah-mentah sebagai “netral karbon”, yang bagi sebagian masyarakat tidak bermakna apa-apa. Padahal, yang lebih efektif adalah menjelaskan konsepnya: pengurangan emisi dan pengimbangan melalui reboisasi atau proyek lingkungan lain, tentu dengan transparansi yang jelas.

Di Indonesia, literasi tentang greenwashing masih rendah. Sebuah survei yang dilakukan di sektor fintech menunjukkan bahwa meskipun banyak konsumen memberikan penilaian positif terhadap “green marketing”, banyak di antara mereka yang sebenarnya tidak tahu apakah klaim itu benar atau hanya sebatas gimmick. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya regulasi terkait komunikasi lingkungan. Belum ada aturan tegas di Indonesia yang secara khusus mengatur batasan greenwashing seperti di Uni Eropa atau Jerman, yang pada 2024 mulai mewajibkan perusahaan membuktikan setiap klaim netralitas karbon dengan data yang jelas dan dapat diaudit.

Dilema bagi penerjemah

Bagi para penerjemah, terutama yang sering bekerja dengan teks korporasi atau laporan keberlanjutan, situasi ini menimbulkan dilema etis. Di satu sisi, mereka adalah profesional yang bertugas menerjemahkan sesuai permintaan klien. Di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menjadi bagian dari rantai misinformasi lingkungan. Eco-translation bisa menjadi jalan tengah, yaitu penerjemah tetap menjalankan tugas linguistiknya, tetapi dengan tambahan konteks, verifikasi data, atau bahkan penolakan halus terhadap teks yang jelas-jelas menyesatkan.

Praktik ini sudah mulai diterapkan di beberapa komunitas penerjemahan internasional. Di Inggris, Translators for Climate Action mendorong penerjemah untuk menolak proyek yang mempromosikan greenwashing. Di Prancis, ada gerakan serupa di kalangan jurnalis lingkungan dan penerjemah media. Di Indonesia sendiri, wacana ini masih sangat baru. Komunitas seperti Jogja Literary Translation Club bisa menjadi pelopor dengan mengadakan diskusi, workshop, atau bahkan menyusun kode etik terkait eco-translation.

Sebagai penerjemah, kita sering dianggap sebagai pihak yang “hanya memindahkan bahasa”. Namun sesungguhnya, kita juga memindahkan makna, nilai, dan bahkan dampak sosial. Di era krisis iklim seperti sekarang, tanggung jawab itu menjadi semakin besar. Jangan sampai teks yang kita terjemahkan malah memperkuat greenwashing yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Sudah saatnya kita melihat penerjemahan bukan hanya sebagai kerja bahasa, tetapi juga kerja ekologis—kerja yang membantu menjaga bumi lewat kata-kata yang jujur dan transparan.

Pustaka

Cronin, M. (2003). Translation and globalization. Routledge.

Earth Journalism Network. (2022). Green scandal: How Indonesia’s pulp industry misleads the world’s fashion brands. Earth Journalism Network. https://earthjournalism.net/stories/green-scandal-how-indonesias-pulp-industry-misleads-the-worlds-fashion-brands

Eco-Business. (2023). Greenwashing raises red flags among Indonesian consumers. Eco-Business. https://www.eco-business.com/news/greenwashing-raises-red-flags-among-indonesian-consumers/

European Commission. (2024). Proposal for a directive on green claims. European Commission. https://ec.europa.eu/environment/publications/proposal-directive-green-claims_en

Eyes on the Forest. (2022). APP’s deforestation footprint. Eyes on the Forest. https://eyesontheforest.or.id/

Hu, G. (2003). Eco-translatology: A primer. The Commercial Press.

Lyon, T. P., & Montgomery, D. (2015). The means and end of greenwash. Organization & Environment, 28(2), 223–249. https://doi.org/10.1177/1086026615575332

Tercek, M. R., & Adams, J. S. (2013). Nature’s fortune: How business and society thrive by investing in nature. Basic Books.

Westerveld, J. (1986). The greenwashing phenomenon. [Unpublished essay].