August 2, 2023

Masalah Kesehatan Mental yang Dihadapi Penerjemah

Harris Hermansyah Setiajid

Universitas Sanata Dharma

JLTC (0039)

Penerjemah sebagai agen penting komunikasi antarbudaya bekerja di balik layar untuk memfasilitasi pertukaran global. Namun, mereka berhadapan dengan berbagai tantangan kesehatan mental yang sebagian besar belum dibahas dalam wacana akademik. Karakteristik profesi mereka membuat penerjemah sering terpapar stres kronis, yang berakar pada tenggat waktu yang ketat sehingga membuat tekanan yang dapat menyebabkan kecemasan dan depresi.

Ditambah dengan karakteristik pekerjaan mereka yang berbasis proyek membuat ketidakstabilan finansial, yang berpotensi  menciptakan kondisi stres psikologis yang terus menerus.

Isolasi sosial juga telah diidentifikasi sebagai katalis terjadinya depresi yang dialami penerjemah. Dengan sifat pekerjaan yang bisa dikerjakan secara jarak jauh menyebabkan  penerjemah seringkali kekurangan interaksi sosial. Masalah ini semakin diperparah ketika terjadi pandemi COVID-19.

Pekerjaan penerjemahan yang membutuhkan pergeseran secara terus menerus antara bahasa dan budaya  bisa sangat melelahkan secara mental dan meningkatkan risiko kelelahan (burnout). Selain itu, beban emosional dari seringnya memproses konten-konten serius, seperti laporan perang, teks-teks akademik yang rumit,  atau kasus hukum yang berat, dapat menyebabkan stres traumatik sekunder, mirip dengan gangguan stress pasca-trauma (PTSD) (Pan, 2017).

Garis antara pekerjaan dan kehidupan seorang penerjemah seringkali kabur sehingga tidak ada boundaries yang tegas dan terstruktur yang membantu mencegah depresi.  Hal tersebut diperparah dengan upaya meningkatkan kerja berlebihan untuk menggenjot stabilitas finansial yang pada gilirannya akan menyebabkan kelelahan dan berbagai masalah kesehatan mental.

Tuntutan industri penerjemahan untuk kesempurnaan mutlak yang terus menerus memapar penerjemah, semakin menambah beban mental dan berkontribusi pada kesehatan psikologis, dan  meningkatkan terjadinya kasus depresi di kalangan penerjemah.

Meningkatkan kesehatan mental di kalangan penerjemah

Mengingat beratnya permasalahan ini, industri penerjemahan perlu memberi prioritas pada kesehatan mental dan mengembangkan budaya pendukung yang mendorong diskusi kesehatan mental yang terbuka. Selain itu, jika penerjemah bekerja secara in-house, tempat kerja harus menawarkan sumber daya untuk dukungan kesehatan mental, seperti konseling dan terapi. Bagi penerjemah paruh waktu, diperlukan dukungan dari keluarga, teman, atau sejawat yang bisa menjadi tempat untuk melepaskan kepenatan mental alih-alih memberikan beban tambahan kepada penerjemah.

Mengatasi isolasi sosial dapat dicapai melalui upaya pembentukan komunitas seperti pertemuan, forum online, dan platform kolaborasi lainnya. Juga diperlukan strategi perawatan diri, seperti kesadaran penuh (mindfulness), yang dapat mendukung kesejahteraan mental penerjemah.

Dan yang terpenting,  klien dan agensi harus mengakui pekerjaan penerjemah yang kompleks, dengan cara menawarkan tenggat waktu yang wajar, kompensasi yang adil, dan umpan balik yang konstruktif.

Diskursus kesehatan mental di kalangan penerjemah belum menjadi fokus utama. Oleh karena itu, pengakuan dan manajemen proaktif atas masalah ini adalah langkah awal penting menuju lingkungan kerja yang lebih sehat. Dalam masyarakat dan pergaulan global, kesejahteraan mental penerjemah, seorang fasilitator antarbudaya umat manusia, tidak bisa diabaikan dan harus menjadi perhatian kita semua.

Pustaka

Bontempo, K., & Malcolm, K. (2012). An ounce of prevention is worth a pound of cure: Educating interpreters about the risk of vicarious trauma in healthcare settings. In N. Crezee (Ed.), Psycholinguistic and Sociolinguistic Perspectives on Second Language Learning and Teaching. Springer.

Chen, N. (2016). Anxiety in freelance translators. Perspectives, 24(3), 399-414.

Katan, D. (2011). Translating Cultures: An Introduction for Translators, Interpreters and Mediators. Routledge.

Pan, F. (2017). Freelance translation and occupational stress: A Chinese case study. Translation and Interpreting Studies, 12(2), 288-306.