August 2023

Benarkah Sastra Anak Sulit Diterjemahkan?

Yusuf Arimatea Neno

JLTC (0238)

Menerjemahkan sastra anak adalah tugas yang kompleks dan menantang, jauh dari sekadar mengganti kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lain. Terdapat nuansa, emosi, dan elemen budaya yang harus dipahami dan ditransfer dengan hati-hati untuk menciptakan terjemahan yang sesuai dengan pembaca belia. Meskipun penuh dengan rintangan, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Artikel ini akan menggali tantangan dalam menerjemahkan sastra anak dan menyajikan strategi yang dapat digunakan untuk mengatasinya.

Mendefinisikan sastra anak sulit dilakukan karena sastra dan anak memiliki arti yang luas (O’Connell, 1999). Di Indonesia biasanya masyarakat mendefinisikan sastra anak sebagai karya sastra untuk anak-anak yang belum menginjak usia remaja. Sastra anak memiliki banyak bentuk seperti buku, cerita pendek, lagu, puisi dll. Sastra anak memiliki tujuan untuk dapat membantu tumbuh kembang pikiran anak agar dapat mengeksplor imajinasi mereka dan daya pikir kritis. Sastra anak juga dapat membantu melatih kemampuan dasar anak yang dibutuhkan pada jenjang pendidikan selanjutnya (membaca, menulis, dan berhitung) (Kemdikbud, 2021).

Banyak sastra anak populer dari luar negeri yang menarik minat banyak anak-anak Indonesia khususnya dari negara berbahasa Inggris (Amerika, Inggris, Kanada dll). Terlebih film-film Disney dan Pixar yang sangat populer di kalangan anak-anak Indonesia. Salah satu kanal YouTube favorite, Coco Melon menjadi salah satu konten yang sering ditonton untuk mengisi waktu luang para anak-anak di Indonesia. Peran orang tua juga sangat penting dalam hal ini yaitu pengawasan dan menyaring sastra anak yang tepat, ini bertujuan agar terjauh dari literasi yang mengandung konten yang berpengaruh buruk kepada anak-anak mereka.

Peluang penerjemah untuk mengalihbahasakan sastra anak populer sangat besar untuk saat ini. Walaupun teknologi sudah sangat maju seperti teknologi mesin penerjemah dan AI (Artificial Intelligence) yang merajalela, penerjemah manusia masih memiliki posisi yang lebih tinggi karena lebih memahami konteks sosial budaya. Mesin penerjemah, untuk saat ini, memiliki keterbatasan dalam memamahi konteks budaya, seperti banyak ditemui dalam karya sastra. Di sisi lain, penerjemah manusia yang terlatih dan profesional memiliki kemampuan untuk memahami konteks sehingga dapat memberikan terjemahan berkualitas tinggi (Lin et al., 2010).

Manusia, untuk saat ini, memang masih belum tergantikan mesin dalam penerjemahan karya sastra. Namun, sastra anak bukan teks yang mudah untuk diterjemahkan. Bahkan mungkin beberapa penerjemah menganggap sastra anak adalah salah satu teks tersulit. Tantangan utamanya adalah konteks sosial budaya dan gaya bahasa spesifik yang sesuai dengan kemampuan berbahasa anak di tingkat usia masing-masing. Sastra anak sering berisi permainan kata, irama, visual, dan gaya bahasa lainnya sehingga mentransformasikannya ke dalam bahasa sasaran akan konpleks karena harus mempertahankan makna dan bentuk aslinya.

Selain itu, sastra anak sering memuat referensi budaya yang mungkin kurang akrab bagi anak-anak bahasa sasaran. Terakhir, sastra anak seringkali memiliki pembaca sasaran yang spesifik, yang berarti bahwa penerjemah harus mampu menyesuaikan bahasa dan gaya terjemahan agar sesuai dengan usia dan tingkat pembaca yang dituju (Joosen, 2019). Semua faktor tersebut membuat penerjemahan sastra anak menjadi tugas yang kompleks dan menantang.

Hal yang dilakukan untuk menerjemahkan sastra anak

Sastra anak diakui sulit untuk diterjemahkan tetapi ada beberapa hal yang dapat dilakukan penerjemah untuk meningkatkan kualitas teks terjemahan, yaitu:

Perbanyak referensi dan latihan. Perbanyak membaca karya terjemahan dari penerjemah lain, baik itu berupa buku, cerpen, lirik lagu ataupun subtitle agar lebih membiasakan diri dengan strategi dan cara penerjemahan sastra anak yang baik. Mencari referensi dari buku maupun dari sumber digital agar penerjemah kaya akan padanan kata. Perbanyak latihan menerjemahkan untuk mengasah keterampilan.

Terapkan strategi penerjemahan yang berfokus pada kemudahan pembacaan dan menarik si pembaca. Pembaca sasaran sastra anak  adalah anak-anak kognisi verba mereka masih terbatas  sehingga mereka akan lebih tertarik jika disuguhi esuatu yang mudah dipahami dan menyenangkan. Teks terjemahan bisa dikatakan sukses jika dapat  menarik atensi anak-anak yang membaca teks tersebut.

Libatkan anak-anak dalam proses penerjemahan (opsional). Umpan balik dari anak-anak pada teks terjemahan akan sangat berpengaruh positif dengan kualitas teks terjemahan yang dibuat. Namun, tidak semua penerjemah atau perusahan penerjemahan memiliki waktu atau sumber daya yang cukup untuk mengimplementasikan cara ini. Penerjemah dapat berfokus pada poin ke 2 atau dapat meminta tolong ke keluarga, kerabat, dan teman jika memiliki anak yang mau membantu dalam proses penerjemahan.

Tantangan dalam menerjemahkan sastra anak memang nyata, namun tidak berarti mustahil untuk diatasi. Dengan pendekatan yang cermat, empati terhadap pembaca usia belia, serta kreativitas dalam menjembatani perbedaan budaya dan bahasa, penerjemah dapat berhasil menghadirkan karya sastra anak yang menawan dalam berbagai bahasa. Upaya ini tidak hanya memperkaya perpustakaan anak-anak di seluruh dunia tetapi juga membuka pintu kepada pengertian dan apresiasi yang lebih dalam terhadap kekayaan budaya umat manusia. 

Pustaka

Kemdikbud. (2021). Buku Saku Pengembangan Literasi untuk Anak Usia 5-6 Tahun. UNICEF.

Lin, D., Murakami, Y., Ishida, T., Murakami, Y., & Tanaka, M. (2010). Composing Human and Machine Translation Services: Language Grid for Improving Localization Processes. https://www.researchgate.net/publication/220746917

Joosen, V. (2019). Children’s Literature in Translation: Towards a Participatory Approach. Humanities, 8(1), 48. 10.3390/h8010048

O’Connel, E. (1999). Translating for Children. In: Lathey, G. (2006). The Translation of Children’ Literature. Clevedon: Multilingual Matters.

Masalah Kesehatan Mental yang Dihadapi Penerjemah

Harris Hermansyah Setiajid

Universitas Sanata Dharma

JLTC (0039)

Penerjemah sebagai agen penting komunikasi antarbudaya bekerja di balik layar untuk memfasilitasi pertukaran global. Namun, mereka berhadapan dengan berbagai tantangan kesehatan mental yang sebagian besar belum dibahas dalam wacana akademik. Karakteristik profesi mereka membuat penerjemah sering terpapar stres kronis, yang berakar pada tenggat waktu yang ketat sehingga membuat tekanan yang dapat menyebabkan kecemasan dan depresi.

Ditambah dengan karakteristik pekerjaan mereka yang berbasis proyek membuat ketidakstabilan finansial, yang berpotensi  menciptakan kondisi stres psikologis yang terus menerus.

Isolasi sosial juga telah diidentifikasi sebagai katalis terjadinya depresi yang dialami penerjemah. Dengan sifat pekerjaan yang bisa dikerjakan secara jarak jauh menyebabkan  penerjemah seringkali kekurangan interaksi sosial. Masalah ini semakin diperparah ketika terjadi pandemi COVID-19.

Pekerjaan penerjemahan yang membutuhkan pergeseran secara terus menerus antara bahasa dan budaya  bisa sangat melelahkan secara mental dan meningkatkan risiko kelelahan (burnout). Selain itu, beban emosional dari seringnya memproses konten-konten serius, seperti laporan perang, teks-teks akademik yang rumit,  atau kasus hukum yang berat, dapat menyebabkan stres traumatik sekunder, mirip dengan gangguan stress pasca-trauma (PTSD) (Pan, 2017).

Garis antara pekerjaan dan kehidupan seorang penerjemah seringkali kabur sehingga tidak ada boundaries yang tegas dan terstruktur yang membantu mencegah depresi.  Hal tersebut diperparah dengan upaya meningkatkan kerja berlebihan untuk menggenjot stabilitas finansial yang pada gilirannya akan menyebabkan kelelahan dan berbagai masalah kesehatan mental.

Tuntutan industri penerjemahan untuk kesempurnaan mutlak yang terus menerus memapar penerjemah, semakin menambah beban mental dan berkontribusi pada kesehatan psikologis, dan  meningkatkan terjadinya kasus depresi di kalangan penerjemah.

Meningkatkan kesehatan mental di kalangan penerjemah

Mengingat beratnya permasalahan ini, industri penerjemahan perlu memberi prioritas pada kesehatan mental dan mengembangkan budaya pendukung yang mendorong diskusi kesehatan mental yang terbuka. Selain itu, jika penerjemah bekerja secara in-house, tempat kerja harus menawarkan sumber daya untuk dukungan kesehatan mental, seperti konseling dan terapi. Bagi penerjemah paruh waktu, diperlukan dukungan dari keluarga, teman, atau sejawat yang bisa menjadi tempat untuk melepaskan kepenatan mental alih-alih memberikan beban tambahan kepada penerjemah.

Mengatasi isolasi sosial dapat dicapai melalui upaya pembentukan komunitas seperti pertemuan, forum online, dan platform kolaborasi lainnya. Juga diperlukan strategi perawatan diri, seperti kesadaran penuh (mindfulness), yang dapat mendukung kesejahteraan mental penerjemah.

Dan yang terpenting,  klien dan agensi harus mengakui pekerjaan penerjemah yang kompleks, dengan cara menawarkan tenggat waktu yang wajar, kompensasi yang adil, dan umpan balik yang konstruktif.

Diskursus kesehatan mental di kalangan penerjemah belum menjadi fokus utama. Oleh karena itu, pengakuan dan manajemen proaktif atas masalah ini adalah langkah awal penting menuju lingkungan kerja yang lebih sehat. Dalam masyarakat dan pergaulan global, kesejahteraan mental penerjemah, seorang fasilitator antarbudaya umat manusia, tidak bisa diabaikan dan harus menjadi perhatian kita semua.

Pustaka

Bontempo, K., & Malcolm, K. (2012). An ounce of prevention is worth a pound of cure: Educating interpreters about the risk of vicarious trauma in healthcare settings. In N. Crezee (Ed.), Psycholinguistic and Sociolinguistic Perspectives on Second Language Learning and Teaching. Springer.

Chen, N. (2016). Anxiety in freelance translators. Perspectives, 24(3), 399-414.

Katan, D. (2011). Translating Cultures: An Introduction for Translators, Interpreters and Mediators. Routledge.

Pan, F. (2017). Freelance translation and occupational stress: A Chinese case study. Translation and Interpreting Studies, 12(2), 288-306.