April 2022

Membangun reputasi, meraih rezeki lewat Internet

Christien Yueni

Jogja Literary Translation Club

Memanfaatkan situs-situs freelance terjemahan kini semakin banyak diminati oleh mahasiswa, penerjemah pemula, atau bahkan mereka yang telah berkeluarga untuk menambah pemasukan. Program Studi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma bekerja sama dengan JLTC menyelenggarakan webinar Penerjemah Pegari dengan menghadirkan Lily Handayani, seorang penerjemah lepas waktu yang telah kenyang pengalaman dalam situs-situs freelance penerjemahan (22/4).

Setelah sambutan dari Simon Arsa Manggala, S.S., M.Hum., Wakil Ketua Prodi Sastra Inggris USD, Lily Handayani membuka pemaparannya dengan berkisah tentang awal dia terjun sebagai penerjemah paruh waktu di situs-situs freelance. Didorong oleh keingintahuannya untuk mendalami dunia penerjemahan dan menambah penghasilan, dia berhasil memanfaatkan beragam situs penyedia jasa yang ditawarkan di Internet, seperti Fiverr, Fastworld, dan Tomedes. Keraguan dan rasa takutnya terhadap para pesaing yang sudah mapan di situs-situs tersebut ditepisnya dengan menawarkan kecepatan dalam penerjemahannya. Tak memakan lama, dia segera mendapat klien pertama yang kemudian menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk mencoba lebih banyak lagi situs penyedia jasa.

Dalam perjalanannya, Lily semakin paham seluk beluk dunia penerjemahan sehingga keterampilannya semakin berkembang dan kepercayaan dirinya semakin besar. Klien yang memberikan feedback yang baik dijadikannya promosi untuk menawarkan dirinya. Lily memandang kustomer harus dilayani dengan baik hingga puas dan pada gilirannya akan kembali untuk meminta jasa menerjemahkan. Salah satu cara untuk melayani kustomer dengan baik adalah dengan memberikan fasilitas revisi kepada mereka jika belum puas pada terjemahan yang dihasilkan Lily. Salah satu hal menarik yang dikemukakan Lily adalah bagaimana kita mengasah kemampuan kita untuk mengetahui keterbatasan kita. Dia berpesan, setelah mendapat klien, penerjemah jangan kemaruk dengan mengambil semua pekerjaan yang ditawarkan klien. Penerjemah profesional harus  tahu batas kemampuannya untuk menjaga mutu terjemahan yang dihasilkannya. Di bagian akhir Lily juga memberikan kiat-kiat bagi para mahasiswa dan penerjemah pemula untuk mulai mengasah keterampilan dan memberanikan diri melangkah serta memanfaatkan beragam kesempatan yang ditawarkan Internet.

Salah satu hal menarik yang dikemukakan Lily adalah bagaimana kita mengasah kemampuan untuk mengetahui keterbatasan kita. Penerjemah jangan kemaruk dengan mengambil semua pekerjaan yang ditawarkan klien. Penerjemah profesional harus tahu batas kemampuannya untuk menjaga mutu terjemahan yang dihasilkannya.

Sesi tanya jawab berlangsung dengan hangat. Banyak pertanyaan datang dari peserta yang ingin tahu lebih jauh tentang pemanfaatan situs freelance ini. Acara yang dimoderatori oleh Stella Estee ini diakhiri dengan pembagian giveaway untuk para peserta.  Rekaman webinar ini bisa dilihat di Kegiatan – Jogja Literary Translation Club (jltc.live).

Perkembangan Skopostheorie: Justa Holz-Mänttäri (1984)

Harris Hermansyah Setiajid

Penikmat Buku-buku Terjemahan

Anggota JLTC No. 0039

Skopostheorie menjadi teori yang memperkenalkan betapa pentingnya tujuan penerjemahan dan beranjak dari  paradigma penerjemahan yang selama ini bersifat preskriptif dan berfokus pada akurasi yang mementingkan kesetiaan pada teks sumber. Aktivitas penerjemahan yang dilakukan ternyata memiliki beragam kepentingan dan tujuan yang selama ini dinomorduakan demi menjaga kesetiaan teks sumber. Hadirnya teori ini membongkar kejumudan paradigma penerjemahan.

Walapun Skopostheorie yang diperkenalkan Vermeer dan Reiss berhasil menunjukkan pentingnya audience design sebelum dilakukannya translational action, teori ini tak luput dari berbagai kritikan, antara lain

  1. Aturan hierarkis teori tersebut menyebabkan Skopostheorie men-dethroning (mensubordinasi) TSu, yang menimbulkan kontroversi dan pertanyaan: apakah terjemahan dianggap baik sepanjang tujuan TSa terpenuhi?
  2. Sejauh mana penerjemah harus memenuhi commission yang ditentukan klien?
  3. Istilah translatum untuk menggantikan istilah TSa tidak begitu menunjukkan signifikansi.
  4. Skopostheorie tidak memberikan perhatian yang penuh pada tataran mikro. Jadi, walaupun tujuan bisa terpenuhi, pada tataran semantik dan stilistika ditemukan permasalahan.

Holz-Mänttäri (1984), seorang linguis dan penerjemah berkebangsaan Finlandia, mengembangkan Skopostheories dengan membuat model penerjemahan yang disebutnya sebagai translatorial action. Model translatorial action ini memandang terjemahan sebagai “interaksi manusia yang didasari tujuan dan berorientasi pada hasil” yang melibatkan transfer antarbudaya:

“[It] is not about translating words, sentences or texts but in every case about guiding the intended co-operation over cultural barriers enabling functionally oriented communication.” (Holz-Mänttäri, 1984)

Holz-Mänttäri memerikan terjemahan sebagai translatorial action dan sebagai proses komunikatif yang melibatkan serangkaian “peran” dan “pemain”, yaitu:

  • initiator: perusahaan atau individu yang membutuhkan terjemahan.
  • commissioner: individu atau agensi yang mengontak penerjemah.
  • ST producer: individu dalam perusahaan yang menulis TSu tetapi tidak harus selalu terlibat dalam produksi TSa.
  • TT producer: penerjemah atau agensi penerjemahan.
  • TT user: orang yang menggunakan TSa, misalnya dosen yang menggunakan buku teks terjemahan, atau penerbit/perusahaan
  • TT receiver: penerima akhir TSa, misalnya mahasiswa yang membaca buku teks terjemahan yang ditugaskan dosen, atau pembaca umum buku terjemahan yang diterbitkan perusahaan.

Holz-Mänttäri menekankan kebutuhan penerima TSa sebagai faktor yang menentukan dalam produksi TSa. Sebagai contoh ketika menerjemahkan istilah medis Thrombocytopenia cukup diterjemahkan sebagai Trombositopenia untuk pembaca yang akrab dengan istilah medis, tetapi harus ditambahkan penjelasan jumlah platelet dalam darah jika teks tersebut dikonsumsi oleh pembaca umum yang tidak berlatar belakang medis.

Model translatorial action Holz-Mänttäri ini  berfokus pada produksi TSa yang functionally communicative  bagi pembaca sasaran. Ia mengatakan bentuk dan genre TSa harus disesuaikan dengan budaya TSa, alih-alih hanya menyalin budaya TSu.

Model translatorial action Holz-Mänttäri ini  berfokus pada produksi TSa yang functionally communicative  bagi pembaca sasaran. Ia mengatakan bentuk dan genre TSa harus disesuaikan dengan budaya TSa, alih-alih hanya menyalin budaya TSu.

Kesesuaian fungsional tersebut ditentukan oleh penerjemah sebagai pemain kunci, yang memastikan bahwa transfer antarbudaya tersebut berlangsung dengan memuaskan semua “pemain” dalam translatorial text operation (meminjam istilah Holz-Mänttäri untuk menyebut produksi TSa).

Model Holz-Mänttäri menjadi pendorong bagi semakin berkembangnya pemikiran untuk menilai terjemahan bukan berdasarkan kesepadanannnya dengan TSu, namun juga fungsionalitasnya terhadap pembaca sasaran. Teks terjemahan tidak lagi diukur dari tingkat kesepadanannya terhadap TSu, tetapi justru seberapa adekuat terjemahan tersebut mempunyai dampak terhadap pembaca sasaran. Walaupun pada perkembangan selanjutnya, model  Holz-Mänttäri ini dikritik karena dinilai tidak menjaga keseimbangan antara bahasa yang superior dan inferior.