March 2022

Memahami Skopostheorie

Harris Hermansyah Setiajid

Penikmat Buku-buku Terjemahan

Anggota JLTC No. 0039

Hans J. Vermeer

Skopostheorie berasal dari bahasa Yunani “skopos” yang artinya “tujuan”. Istilah ini diperkenalkan oleh Hans J. Vermeer  tahun 1970an sebagai istilah teknis untuk menggambarkan tujuan penerjemahan dan kegiatan penerjemahan.

Teori ini kemudian dikembangkan oleh Vermeer dan Katharina Reiss pada tahun 1984 dalam buku mereka yang terkenal berjudul Towards a General Theory of Translational Action.

Katharina Reiss  telah dikenal dengan pendekatannya dalam penerjemahan berdasarkan tipe-tipe teks yang dibaginya menjadi empat, yaitu (1) ekspresif, (2) informatif, (3) operatif, dan (4) multimodal. Dalam segitiga tipe teksnya, Reiss mengidentifikasi adanya beragam jenis teks bauran (hybrid) yang membutuhkan pendekatan berbeda. Tipe teks Reiss ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan yang berbeda.

Skopostheorie menyatakan bahwa tindakan translasional (translational action) harus dinegosiasikan dan dilakukan untuk mencapai tujuan dan membuahkan hasil yang diinginkan. TSa (yang disebut Vermeer sebagai Translatum) harus bisa memenuhi dan sesuai dengan tujuan penerjemahan, serta harus adekuat secara fungsional (functionally adequate)Berdasarkan Skopostheorie, kegiatan penerjemahan harus memerhatikan dua hal berikut ini: (1) mengapa TSu harus diterjemahkan, dan (2) apa fungsi TSa pada pembaca sasaran.

Aturan  Skopostheorie

  1. Tindakan translational ditentukan oleh skopos.
  2. Terjemahan adalah tawaran informasi dalam budaya dan bahasa sasaran tentang tawaran informasi dalam budaya dan bahasa sumber.
  3. TSa tidak memulai tawaran informasi yang bisa dibalikkan.
  4. TSa harus koheren secara internal.
  5. TSa harus koheren dengan TSu.
  6. Lima aturan tersebut berada dalam urutan hierarkis, tidak bisa dibolak-balik, dengan aturan skopos yang mendominasi semua aturan.

Penjelasan aturan Skopostheorie

  1. Skopos menjadi faktor penentu dalam kegiatan penerjemahan.
  2. TSu dan TSa memiliki fungsinya dalam konteks linguistik dan budaya masing-masing. Penerjemah menjadi pemain kunci dalam proses komunikasi antarbudaya dan produksi Translatum (TSa).
  3. Fungsi TSa dalam budaya sasaran tidak harus sama dengan fungsi TSu dalam budaya sumber (bdk. efek kesepadanan Nida)
  4. Keberhasilan TSa dinilai dari adekuasi fungsionalnya (aturan koherensi)
  5. Keberhasilan TSa dinilai dari adekuasi fungsionalnya (aturan kesetiaan, koherensi antarteks dengan TSu)
  6. Urutan aturan ini bersifat hierarkis, artinya semakin ke bawah, aturan kalah penting dari aturan di atasnya.

Aturan Koherensi dan Kesetiaan

Karena aturan dalam Skopostheorie ini bersifat hierarkis, aturan ke-5 yang mensyaratkan koherensi antarteks antara TSa dan TSu kalah penting dari aturan 4 tentang koherensi internal.

  1. Aturan koherensi: TSa harus koheren dengan situasi pembaca TSa. TSa harus diterjemahkan sedemikian rupa sehingga bisa diterima pembaca sasaran. Terjemahan dikatakan adekuat, jika bisa memenuhi tujuan.
  2. Aturan kesetiaan: harus ada koherensi antara TSa dan TSu dengan indikator sbb: (a) koherensi informasi TSu yang diterima penerjemah, (b) koherensi penafsiran penerjemah terhadap informasi TSu, dan (c) koherensi informasi yang disampaikan kepada pembaca sasaran.

Karena urutan hierarkis, penerjemah harus lebih memprioritaskan pemenuhan tujuan TSa terlebih dahulu, baru kemudian mempertimbangkan aturan kesetiaan.

Skopostheorie memungkinkan teks yang sama diterjemahkan ke dalam beragam versi tergantung pada tujuan TSa dan commission (komisi) yang diberikan kepada penerjemah. Oleh karena itu, agar kegiatan penerjemahan sesuai dengan TSa yang diinginkan, skopos harus dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam sebuah commission, yang isinya mencakup (1) tujuan, (2) syarat dan ketentuan yang mengatur bagaimana tujuan tersebut dicapai (termasuk tenggat, biaya, honor, dsb).

Teks sasaran ditentukan oleh komisi, dan adekuasi digunakan sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan penerjemahan.

Veermer mengatakan bahwa jika TSa memenuhi tujuan yang digariskan dalam commission, terjemahan tersebut disebut sebagai functionally and communicatively adequate.

Contoh sebuah teks bisa diterjemahkan ke dalam dua versi:

“And Abraham was commanded to sacrifice his beloved son, Isaac, to prove his total obedience to God.”

Commission 1: penerbit meminta penerjemah melakukan terjemahan untuk pembaca Kristen.

“Dan Abraham diperintahkan untuk mengorbankan putra kesayangannya, Ishak, untuk membuktikan ketaatannya kepada Tuhan.”

Commission 2: penerbit meminta penerjemah melakukan terjemahan yang bisa diterima pembaca Muslim.

“Dan Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan putra kesayangannya, Ismail, untuk membuktikan ketaatannya kepada Tuhan.”

Berdasarkan commission yang diberikan, penerjemahan tersebut dikatakan sebagai functionally and communicatively adequate, karena bisa melayani dua jenis pembaca sasaran yang berbeda, walaupun di Commission 2 ada perubahan signifier, yaitu Isaac (Ishak) menjadi Ismail.

Vermeer dengan Skopostheorie-nya berhasil menunjukkan pentingnya audience design sebelum dilakukan translational action sehingga teks yang akan diterjemahkan menjadi tepat sasaran dengan tingkat keberterimaan yang tinggi.

Desain Toko Buku Meningkatkan Minat Baca?

Fransiska Hernina Puspitasari

Fakultas Teknologi Industri

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa tingkat literasi di Indonesia tergolong rendah. Hal ini sempat diungkapkan oleh staf ahli Menteri dalam negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro (Perpustakaan Kemendagri, 2021) bahwa Indonesia menempati urutan ke-62 dari 70 negara untuk tingkat literasi berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-Operation and Development (OECO). Tingkat literasi yang rendah ini memiliki relasi dengan rendahnya budaya baca di Indonesia (Perpustakaan Kemendagri, 2021).

Seperti yang sudah diketahui bahwa membaca adalah jendela dunia dimana kita bisa memperoleh banyak informasi baru dengan gemar membaca. Seseorang yang gemar membaca biasanya mampu memahami ilmu pengetahuan secara mendalam dan berpikir kritis. Walaupun pada jaman sekarang seseorang memiliki fasilitas online untuk membaca (e-library, e-book), bagi sebagian orang membaca buku cetak masih diminati. Hal ini yang menyebabkan penyedia buku cetak secara offline atau toko buku masih eksis sampai sekarang.

Tanpa disadari, toko buku dapat menjadi sarana untuk membangkitkan minat baca masyarakat, entah hanya berkunjung sekedar membaca-baca buku saja atau memang membeli sebuah buku. Namun, faktanya, masih ada beberapa toko buku yang sepi pengunjung. Lalu, mengapa? Mengapa ada sebuah toko buku yang ramai pengunjung, sedangkan sebuah toko buku lain sepi pengunjung? Menurut Berman et al. (2018), atmosfer toko merupakan elemen penting untuk menarik konsumen dengan memberikan suatu pengalaman tertentu ketika berkunjung dimana hal ini belum dimiliki oleh beberapa toko buku, terutama mereka yang berada di Yogyakarta.

Seseorang yang gemar membaca biasanya mampu memahami ilmu pengetahuan secara mendalam dan berpikir kritis. Walaupun pada jaman sekarang seseorang memiliki fasilitas online untuk membaca (e-library, e-book), bagi sebagian orang membaca buku cetak masih diminati.

Eksterior. Desain eksterior, seperti marquee (tanda yang menampilkan nama toko), pencahayaan, lorong untuk berjalan, dan display window, berkontribusi menciptakan imej tertentu bagi pengunjung. Marquee sebuah toko buku dengan warna yang eye-catching dilengkapi dengan lampu neon yang bisa menyala di malam hari dapat menarik konsumen ketika berjalan melewatinya. Sistem pencahayaan yang dipilih juga memberikan efek nyaman kepada pengunjung. Tentu saja, jendela-jendela lebar dan lampu dengan cahaya putih dengan jumlah lampu yang tersebar merata sampai ke sudut-sudut ruangan toko buku tersebut merupakan contoh untuk memberikan kesan imej toko yang bersih, terang, dan nyaman untuk membaca. Lorong-lorong yang lebar yang dapat mengakomodasi ketika ada dua pengunjung berpapasan sangat disarankan sehingga tidak mengganggu pengunjung ketika sedang melihat-lihat buku. Terakhir, display window yang menampilkan buku-buku terbaru, buku-buku bestseller, penawaran diskon yang diberikan pada minggu itu, atau memberikan tampilan rak-rak buku yang berjajar rapi terlihat dari kaca luar mampu menarik perhatian konsumen yang sedang melewati toko buku tersebut.

Interior. Pemilihan warna cat dinding pun juga diperhatikan. Oleh karena toko buku juga digunakan untuk ruang membaca, cat dinding warna putih lebih disarankan ketimbang cat berwarna mencolok. Alunan musik yang dengan aliran slow dan volume yang cukup lirih pun memberikan suasana nyaman dan fokus bagi pengunjung ketika memilih atau membaca buku. Hal ini dapat ditambah dengan aroma wangi ruangan yang lembut serta tidak bau apek dan tidak berdebu.

Layout Toko. Penyusunan kategori buku, alokasi ruang untuk setiap kategori buku, dan susunan rak buku (planogram) merupakan bagian dari layout toko. Pengelompokan kategori buku yang jelas dan detil dengan papan nama yang mudah dibaca oleh pengunjung sangatlah penting. Misal, pada kategori novel, dibagi lagi berdasarkan genre-nya, seperti misteri, teenlit, fantasi, biografi, dan lain-lain. Ruang untuk kategori buku tertentu juga harus konsisten agar pengunjung tidak kebingungan. Susunan buku pada rak (planogram) juga harus menarik, rapi, dan bersih. Sebisa mungkin rak buku yang sejajar dengan pandangan mata merupakan buku-buku favorit. Untuk beberapa susunan buku, cover buku dapat diperlihatkan sebagai tampilan visual di mata pengunjung.

Penulis pun berinisiatif untuk berkunjung ke tiga toko buku di Yogyakarta, sebut saja Toko A, B, dan C. Toko A adalah toko buku berskala nasional, sedangkan toko B dan C berskala lokal.

Dari segi eksterior, Toko A tergolong baik. Toko ini memiliki sistem pencahayaan yang baik, marquee yang eye-catching, ukuran lorong yang ‘nyaman’, serta display window yang menarik dan selalu di-update. Dibandingkan dengan Toko B dan C, kedua toko ini memiliki display window yang kurang menarik. Namun sistem pencahayaan, marquee, dan ukuran lorongnya sudah cukup baik, meskipun masih ada hal yang dapat ditingkatkan, seperti ada beberapa lorong sempit.

Dari segi interior, Toko A masih dalam kategori baik sehingga tidak heran pengunjung kerap hanya berkunjung untuk membaca-baca buku saja. Lain hal di Toko B dan C. Interior di Toko B sudah cukup baik, kecuali masih ada beberapa rak buku yang berdebu. Sedangkan, interior pada Toko C masih kurang dan beberapa yang perlu diperbaiki, seperti warna cat dinding yang mencolok dan bau debu di beberapa sudut ruangan.

Dari segi layout toko, Toko A tergolong sudah baik. Kategori sampai dengan sub-kategori buku yang jelas di Toko A yang berbeda signifikan dengan sistem pengkategorian di Toko B dan C. Sama halnya dengan planogram, rak-rak buku yang rapi dan bersih dengan susunan buku ditata sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat melihat sampul buku yang berwarna-warni. Dalam hal ini, Toko B dan C dirasa kurang. Bahkan di Toko B seringkali dijumpai susunan buku yang random.

Berdasarkan hasil ‘blusukan’ yang telah dilakukan, ketiga kriteria di atas bukanlah hal yang sulit untuk dipenuhi bagi toko buku berskala nasional. Namun, bagi toko buku berskala lokal masih banyak hal yang perlu ditingkatkan dan menjadi peluang riset untuk melakukan perbaikan tentunya. Selain itu, pemanfaatan collaborative space dapat menjadi peluang selanjutnya untuk dapat menarik pengunjung. Misalnya di Yogyakarta, trend kafe kekinian dan co-working space cenderung meningkat alias kedua fasilitas ini merupakan fasilitas yang paling ‘digandrungi’ oleh masyarakat (Google Trends, 2022). Lalu, mengapa tidak menggabungkan salah satu dari dua fasilitas ini dengan toko buku? Hang out me-refresh pikiran sambil ngopi asik sembari ditemani sebuah buku sepertinya menyenangkan.

Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa atmosfer toko buku mampu berkontribusi untuk menarik pengunjung. Bukanlah hal yang mustahil juga untuk dapat membangkitkan semangat membaca di kalangan masyarakat, bahkan dari usia dini dengan mengajak anak-anak pergi ke toko buku sampai kawula muda dengan menawarkan hiburan yang sehat.