November 13, 2021

Bahasa hukum: rigiditas yang perlu?

Oleh Christien Yueni

Jogja Literary Translation Club

Bahasa hukum terkenal dengan rigiditasnya yang tak bisa ditawar karena dokumen hukum diciptakan untuk menghindari multiinterpretasi. Setiap kata dalam bahasa hukum mempunyai makna yang tunggal dan tidak boleh dimaknai lain.

Pendapat itu mengemuka dalam acara Professional Talk #9 yang menghadirkan pembicara David Kurniawan Bengu seorang lawyer di sebuah kantor hukum di Indonesia. Dalam pemaparannya, David mengatakan bahwa karena bahasa itu multi interpretasi maka bahasa hukum dibuat untuk menghindari atau setidaknya mengurangi ragam penfasiran yang muncul dari para pihak yang berkepentingan dalam dokumen hukum tersebut.

Oleh karena itu, dalam dokumen hukum ditemukan pengulangan-pengulangan kata atau frasa. Misalnya, dalam sebuah dokumen hukum tertulis “… pelaksana pewarisan senantiasa bersedia, wajib, dan diwajibkan..” Kata ‘bersedia, wajib, dan diwajibkan’ sebenarnya memiliki makna yang mirip, tetapi itu harus dinyatakan secara eksplisit dan tidak boleh dikurangi karena walaupun mirip, kata-kata tersebut memiliki makna yang berbeda.

“Rigiditas dalam bahasa hukum memang diperlukan bukan untuk sok-sokan melainkan untuk menjaga setiap kata dalam bahasa hukum memiliki makna yang tepat dan sesuai.”

Dalam konteks terjemahan, teks hukum yang diterjemahkan harus mengikuti bentuk dan gaya teks sumber seperti apa adanya. Penerjemah dilarang untuk berkreasi seperti ketika menerjemahkan teks sastra, misalnya. Selain itu istilah-istilah hukum juga harus diterjemahkan dengan semantik yang tepat untuk menghindari salah tafsir.

Rigiditas dalam bahasa hukum memang diperlukan bukan untuk sok-sokan melainkan untuk menjaga setiap kata dalam bahasa hukum memiliki makna yang tepat dan sesuai.

Diskusi daring JLTC ProTalk #9 yang diselenggarakan JLTC bekerja sama dengan kelas Register Translation Program Studi Sastra Inggris (13/11)  ini juga  menunjukkan pentingnya teks sumber sebagai acuan seandainya terjadi ketidaksinkronan makna antara teks sumber dan teks sasaran. 

Bahasa hukum yang dianggap ‘kaku’ atau ‘rigid’ oleh para pembaca adalah karena memang jenis teks ini tidak mengizinkan adanya ruang bagi inisiatif estetik.