November 2021

Cakap Berbahasa Asing: Cukupkah untuk Menjadi Penerjemah?

Oleh Anis Zulfi Amalia

Penerjemah Paruh Waktu,

Anggota JLTC No. 0145

 

Sumber: suara.com

Seorang penerjemah dalam menjalankan tugasnya pasti akan berhubungan dengan bahasa asing. Sehingga, tidak mengherankan ketika banyak orang yang menganggap jika syarat utama seseorang untuk bisa menjadi penerjemah adalah kemampuan dalam berbahasa asing. Orang yang mampu berbicara bahasa asing dengan lancar dianggap mampu menjadi seorang penerjemah. …

Namun, apakah kemampuan berbahasa asing saja cukup? Jawabannya tentu saja tidak. Untuk bisa menjadi penerjemah yang baik, setidaknya ada beberapa kualifikasi atau keterampilan tambahan lain yang harus dimiliki. Apa saja kemampuan tersebut? 

Memahami Konteks Penerjemahan

Pernahkah Anda membaca sebuah novel atau buku terjemahan namun merasa kebingungan dengan kalimat yang ada dalam buku tersebut? Hal tersebut bisa saja terjadi dikarenakan penerjemahan yang dilakukan tidak disesuaikan dengan konteks. Konteks penerjemahan bisa berkaitan dengan banyak hal namun lebih sering dikaitkan dengan budaya maupun kebiasaan di suatu masyarakat.

Inilah yang menjadi alasan mengapa pengetahuan berbahasa saja tidak cukup. Seorang penerjemah setidaknya dituntut untuk memahami konteks bacaan maupun pembicaraan seseorang supaya bisa menerjemahkan dengan tepat. Jika menerjemahkan tidak dilakukan sesuai konteks, itu akan menciptakan misleading information dan pada akhirnya bisa membuat pembaca keliru menafsirkan isi buku atau pembicaraan yang sebenarnya.

Bisa Mengolah Kalimat dengan Baik dan Tepat

Kemampuan satu ini juga sedikit banyak berhubungan dengan kemampuan penerjemah dalam memahami konteks. Ketika seorang penerjemah bisa memahami konteks bacaan dengan baik, maka ia juga perlu menyampaikan terjemahannya dengan kalimat yang mudah dipahami dan pastinya tidak menyeleweng dari arti sebenarnya. Semakin mudah seorang pembaca dalam memahami kalimat yang diterjemahkan, maka secara tidak langsung membuktikan mahirnya seorang penerjemah tersebut.

“Inilah yang menjadi alasan mengapa pengetahuan berbahasa saja tidak cukup. Seorang penerjemah setidaknya dituntut untuk memahami konteks bacaan maupun pembicaraan seseorang supaya bisa menerjemahkan dengan tepat.”

Manajemen Waktu

Selain kemampuan dalam hal pemahaman konteks penerjemahan, seorang penerjemah juga harus pandai dalam mengelola waktu. Terlebih lagi jika penerjemah tersebut bekerja secara mandiri atau sebagai penerjemah lepas. Tanpa manajemen waktu yang baik, penerjemah lepas akan keteteran dan pada akhirnya kesusahan dalam mengelola daftar pekerjaannya.

Memiliki Spesifikasi Tertentu

Dunia penerjemahan sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas. Di antaranya penerjemahan dokumen kedokteran, ekonomi, naskah hukum, maupun naskah dalam bidang lainnya. Setiap penerjemah biasanya akan berfokus pada satu atau dua bidang untuk memudahkan spesifikasi kompetensi mereka dalam dunia penerjemahan. Namun, tidak menutup kemungkinan jika ada penerjemah yang bersedia untuk menerjemahkan naskah tanpa batasan topik.

Nah, bisa dikatakan jika penerjemah adalah profesi yang tidak sepenuhnya bisa dikerjakan oleh semua orang dan tentunya membutuhkan kompetensi tertentu. Modal kecakapan dalam berbahasa asing pun dirasa tidak cukup. Tanpa pemahaman konteks, kemampuan menyusun kalimat, manajemen waktu, dan spesifikasi bidang tertentu, kemampuan penerjemahan masih belum lengkap. Selamat menerjemahkan!

Sumber: blog.ruangbahasa.com

Kode Etik Penerjemah? Yuk, Cari Tahu, Yuk…

Oleh Chindy Christine

Mahasiswi Master of Translation Studies

University of Western Australia

Anggota JLTC No. 0161

Sumber: https://www.ache.org

Profesi penerjemah bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak orang yang mungkin masih mengira menjadi penerjemah hanya membutuhkan pengetahuan alih bahasa dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target language). Padahal, dalam praktiknya, proses penerjemahan tidak sesingkat proses seorang awam salin-tempel di Google Translate. 

Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan saat menerjemahkan, salah satunya adalah aspek etika. Untuk memelihara standar kualitas suatu penerjemahan, seorang penerjemah (translator) dan juru bahasa (interpreter) harus mematuhi kode etik yang ada. 

Di Indonesia, kode etik penerjemahan telah diatur oleh Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Ada empat asas yang perlu dipatuhi oleh setiap anggota HPI saat menerjemahkan suatu teks/produk, yaitu Pancasila, Profesionalitas, Integritas, dan Kolegialitas. HPI juga telah mengatur Kode Perilaku yang terdiri atas empat bagian, yaitu Hubungan dengan Rekan Sejawat (pentingnya saling membantu dan saling menghormati), Hubungan dengan Klien (perlunya melakukan kesepakatan kontrak sebelum proyek dimulai), Persaingan Sehat, dan Penyelesaian Perselisihan. Untuk detil dari setiap poin Kode Etik dan Kode Perilaku, kamu dapat membaca lebih lengkapnya di sini.

Berkenalan dan mempraktikkan kode etik dan kode perilaku sangatlah penting dalam praktek profesi penerjemahan ini. Sama seperti dokter yang juga memegang sumpah profesi saat bekerja, penerjemah juga memegang peran yang sangat penting dalam memberikan informasi yang akurat tentang suatu hal. Saya ingin membagikan apa yang saya pelajari di salah satu mata kuliah yang saya ambil, yaitu Translation Ethics. Australian Institute of Interpreters and Translators (AUSIT) telah menentukan sembilan kode etik penerjemah:

“Padahal, dalam praktiknya, proses penerjemahan tidak sesingkat proses seorang awam salin-tempel di Google Translate. Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan saat menerjemahkan, salah satunya adalah aspek etika.”

1. Perilaku Profesional (Professional Conduct)

Menjadi penerjemah yang professional artinya menjadi seseorang yang bertanggung jawab, berkomitmen, jujur, berintegritas, dan dapat diandalkan saat bekerja. Penerjemah yang profesional tidak akan lari dari tanggung jawab dan bertindak seenaknya, misalnya kabur saat dicari atasan/ rekan kerja/ klien karena tidak memenuhi tenggat waktu yang diberikan.

2. Kerahasiaan (Confidentiality)

Sebagai penerjemah atau juru bahasa yang profesional, kita wajib menjaga rahasia atau informasi dari perusahaan/organisasi/acara yang telah dipercayakan kepada kita. Dokumen yang diterjemahkan adalah milik klien sepenuhnya, jadi kita sangat tidak boleh mengungkapkan informasi apapun, kecuali kita mendapatkan izin dari klien.

3. Kompetensi (Competence)

Pastikan tugas/proyek yang kita ambil adalah bidang yang sesuai dengan kualifikasi atau bidang kita. Oleh sebab itu, penerjemah dan juru bahasa wajib menanyakan bidang dari tugas yang diberikan ke kita sebelum kita mengiyakan untuk mengerjakannya.

4. Ketidakberpihakan (Impartiality)

Nah, poin ketidakberpihakan ini sangat penting ya. Kita harus menjadi penerjemah yang objektif. Apabila tugas yang diberikan akan membuat kita menjadi tidak objektif atau bertentangan dengan hati nurani, kita boleh menolak tugas tersebut. Jangan lupa sampaikan alasan kita dan beri pengertian kepada klien.

5. Kejelasan Batasan Peran (Clarity of Role Boundaries)

Penting sekali bagi penerjemah untuk menjelaskan batasan peran seorang penerjemah saat tugas diberikan ke kita. Apabila diminta untuk menyelesaikan suatu masalah yang berada di luar konteks penerjemahan, jangan ragu untuk mengklarifikasi batasan tugas kita kepada klien.

6. Menjaga Hubungan Profesional (Maintaining Professional Relationship)

Satu contoh penting dari poin ini adalah adanya pengarahan yang tepat (proper briefing) dari klien sebelum tugas mulai dikerjakan. Poin ini cukup mirip dengan yang dijelaskan oleh HPI.

7. Akurasi (Accuracy)

Tugas yang kita terjemahkan harus akurat, ya.

8. Pengembangan Profesional (Professional Development)

Miliki terus rasa dan usaha untuk terus mengembangkan diri agar kita dapat memberikan kualitas penerjemahan terbaik. Contoh usaha yang dapat dilakukan adalah mengambil sertifikasi, mengikuti seminar dan lokakarya, dan lainnya.

9. Solidaritas Profesional (Professional Solidarity)

Memang ada penerjemah yang bekerja sendirian. Namun, untuk penerjemah yang berada di naungan suatu perusahaan atau organisasi, sangat penting untuk memiliki solidaritas antar rekan kerja. Caranya cukup sederhana: saling menghormati dan mendukung rekan kerja tanpa drama-drama yang tidak diperlukan.

Pada akhirnya, kode etik yang telah dibuat oleh HPI dan AUSIT dapat menjadi pedoman kita sebagai penerjemah profesional untuk terus berkarya dan menghasilkan pekerjaan yang terbaik.