Sastra terjemahan dan dampak ideologi pengasingan dalam konstelasi sastra bahasa sasaran

Bagaimana posisi sastra terjemahan di konstelasi sastra bahasa sasaran dam bagaimana dampak ideologi foreignization (pengasingan) dalam buku cerita anak?

Dua pertanyaan krusial itu mengemuka dalam Seminar Internasional the 9th Literary Studies Conference bertajuk “Literature and Interdisciplinarity” yang diselenggarakan oleh Program Studi Sastra Inggris dan Program Pascasarjana Kajian Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma dan berkolaborasi dengan Ateneo de Manila University, Philippines, 20-21 Oktober 2021.

Harris Hermansyah Setiajid dalam makalahnya berjudul “Finding a Place for Translated Literature in Literary System” mencoba memetakan posisi sastra terjemahan yang banyak ditemukan di belantara sastra Indonesia. Dalam tulisannya yang didasarkan pada teori polisistem, Harris menemukan bahwa sastra terjemahan berada di posisi primer atau utama ketika sastra bahasa sasaran masih mencoba mencari keseimbangan bentuk, seperti yang terjadi ketika bangsa Indonesia baru saja merdeka. Sastra terjemahan saat itu memengaruhi gaya penulisan sastra Indonesia. 

Posisi ini akhirnya bergeser ketika menjadi berada di pinggiran atau sekunder ketika Indonesia telah menemukan bentuknya yang cukup stabil di masa Orde Baru. Sastra terjemahan sempat merangsek ke posisi utama ketika terjadi Reformasi, saat bangsa Indonesia mencari keseimbangan baru yang berdampak pada sistem sastranya. Setelah itu hingga sekarang ini, sastra terjemahan berada di posisi perifer walaupun masih bisa memberikan pengaruh kepada sastra bahasa sasaran.

Sementara itu, Almira Ghassani Shabrina Romala, dalam makalahnya berjudul “Foreignization in Translated Indonesian Children’s Literature” menyoroti dampak ideologi pengasingan ini dalam sastra terjemahan. Menurutnya, pengasingan ini mengakibatkan “gangguan” pada kenyamanan membaca karena dengan dipertahankannya istilah-istilah asing dalam sastra terjemahan akan membuat penerjemah menuliskan catatan kaki, catatan akhir, atau glosarium, yang akan menginterupsi reading flow. Akan tetapi memang inilah kompensasi dari diterapkannya ideologi pengasingan dalam terjemahan.

Sisi baiknya, ideologi pengasingan membuat identitas yang terkandung dalam teks sumber tetap terpertahankan. Identitas teks sumber ini akan memperkaya repertoir kultural pembaca sastra terjemahan.

Seminar yang berlangsung dua hari ini berjalan dengan lancar dan diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai negara.

Harris dan Almira, pembicara pleno LSC 2021