Teori Penerjemahan

Obligatory Features dalam Penerjemahan

Angelina Veregerin

Mahasiswi Universitas Sanata Dharma

JLTC 0240

Aristoteles (384-322 SM) adalah seorang penemu teori pilihan dengan mempertimbangkan logika. Menurut Aristoteles, asal muasal pilihan adalah keinginan dan penalaran dengan pertimbangan untuk mencapai tujuan (Allingham, 2010). Dalam menentukan pilihan, seseorang harus mampu bersikap bijaksana, seimbang, dan berdasarkan akal budi yang tepat. Keputusan yang mempertimbangkan moralitas, rasionalitas, dan kebajikan dalam proses menentukan pilihan dapat membantu untuk mencapai tujuan.

Pilihan yang tepat adalah hasil dari proses seleksi dalam memilih satu atau lebih dari suatu hal. Keputusan dalam menentukan pilihan dapat dieksplorasi melalui 4 konteks yaitu mengenai kepastian, ketidakpastian, strategi, dan kelompok pilihan (Allingham, 2010). Adanya kepastian dalam menentukan pilihan terjadi ketika semua objek dapat didefinisikan. Sementara itu, ketidakpastian terlihat ketika melibatkan kesempatan untuk memilih dengan atau tanpa kemungkinan, Selain itu, menentukan pilihan dengan melihat strategi terjadi ketika adanya kesamaan pilihan dari dua individu yang saling bergantung satu sama lain. Lalu, kelompok pilihan timbul ketika sejumlah orang perlu memilih secara kolektif. 

Dalam konteks terjemahan, penerjemah sering dihadapkan dengan pilihan untuk menerjemahkan sebuah teks. Seorang penerjemah dapat memutuskan sejauh mana mereka melakukan penyesuaian dalam terjemahan mereka. Dalam buku yang berjudul “Stylistique comparée du français et de l’anglais” (SCFA), Vinay & Darbelnet (1995) mengenalkan pendekatan servitude (keterikatan) dan option (kebebasan) sebagai dua fitur terjemahan yang dihadapi penerjemah dalam proses penerjemahan. Kedua pendekatan tersebut disebut sebagai obligatory features (fitur obligatori).

Servitude vs Option

Fitur obligatori ini membagi proses penerjemahan menjadi dua kategori, yaitu obligatory (wajib) dan non-obligatory (tidak wajib). Kategori yang termasuk dalam obligatory adalah servitude karena penerjemah cenderung mengikuti urutan kata dari teks sumber saat menerjemahkan atau bergantung dengan ketentuan bahasa sasaran. Sementara itu, option masuk dalam kategori non-obligatory karena penerjemah tidak terikat dengan ketentuan dari teks sumber atau memiliki kebebasan dalam membuat keputusan kreatif saat menerjemahkan teks.

Penerjemah yang menerapkan pendekatan servitude memiliki keterbatasan atau kendala dalam menerjemahkan teks (Munday et al., 2022). Hal tersebut mengacu pada perubahan wajib dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dengan kata lain, penerjemah akan mempertahankan struktur kalimat atau gaya bahasa dari teks sumber dan hanya melakukan sedikit perubahan. Pendekatan ini juga digunakan ketika teks sumber memiliki keunikan struktural yang penting untuk dipertahankan. Namun, hasil terjemahan dari pendekatan ini biasanya terkesan canggung. Salah satu contoh terjemahan dengan pendekatan servitude yaitu frasa nomina buku merah dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi “a red book”. Terjemahan tersebut adalah servitude karena bahasa sasaran mengharuskan penerjemah untuk mematuhi aturan gramatika bahasa sasaran dengan mengikuti struktur frasa nomina bahasa sasaran, yaitu dengan mengubah posisi dari Diterangkan-Menerangkan (DM) menjadi Menerangkan-Diterangkan (MD).

Sementara itu, pendekatan option merujuk kepada keterbukaan perubahan dan penyesuaian dalam terjemahan (Munday et al., 2022). Pendekatan option mengacu pada pilihan penerjemah terkait perubahan yang dibawa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran sehingga hasil terjemahan mudah dipahami. Oleh karena itu, option adalah salah satu komponen terpenting dalam penerjemahan karena memungkinkan adanya kemungkinan penafsiran objektif terhadap teks yang dilakukan penerjemah. Option memberikan ruang lega bagi penerjemah untuk memilih salah satu dari banyak pilihan yang tersedia sehingga keputusan yang diambil penerjemah memberikan konsekuensi pada hasil terjemahannya.

Penerjemah yang menerapkan pendekatan ini memiliki fleksibilitas dalam mengubah struktur kalimat atau gaya bahasa dan menyesuaikan ekspresi untuk membuat hasil terjemahan lebih alami. Salah satu contoh terjemahan dengan pendekatan option yaitu kalimat dalam bahasa Indonesia “Hey, hey, sebentar, sebentar” diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi “Hey, hang on a second.” Dalam konteks ini, penerjemah memiliki banyak pilihan untuk menerjemahkan kalimat tersebut. Penerjemah dapat menggunakan “Hey, wait a minute” atau “Hey, wait a second,” tetapi penerjemah lebih memilih untuk menggunakan “Hey, hang on a second,” agar terkesan lebih alami. Kalimat “Hang on a second,” biasanya digunakan ketika seseorang meminta orang lain untuk berhenti berbicara atau melakukan sesuatu untuk sementara waktu karena mereka telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang salah (LDOCE, n.d.). Pilihan yang dibuat penerjemah sangat tepat karena menggambarkan situasi di mana kalimat tersebut diucapkan oleh si Ibu Guru terhadap anak-anak murid yang berisik di dalam kelas saat dia sedang menjelaskan tugas liburan. Fitur option inilah yang menjadi playground penerjemah karena dia bisa leluasa menentukan diksi yang dirasanya tepat.

Dengan mengenal fitur obligatori, penerjemah terbantu untuk mengetahui ranah mana yang membebaskannya untuk membuat pilihan-pilihan (option), dan ranah mana yang membatasinya karena tuntutan bahasa sasaran (servitude). Ranah yang ditentukan fitur obligatori memberikan panduan bagi penerjemah untuk tetap mempertimbangkan konteks, norma, dan makna bahasa sasaran. Oleh karena itu, pilihan yang diambil penerjemah harus dilakukan dengan bijaksana, seimbang, dan berlandaskan pemikiran yang tepat.

Pustaka

Allingham, M. (2002). Choice theory: A very short introduction. http://ci.nii.ac.jp/ncid/BA59904233

Mishra, S. K. (2021). Analysing text for translation: genesis of stylistic categories for comparing language pairs. Rupkatha Journal on Interdisciplinary Studies in Humanities, 13(2), 1-9. https://doi.org/10.21659/rupkatha.v13n2.14

Munday, J., Group, T. &. F., Pinto, S. R., & Blakesley, J. (2022). Introducing translation studies: Theories and applications. Routledge.

Vinay, J., & Darbelnet, J. (1995). Comparative stylistics of French and English: A Methodology for Translation. John Benjamins Publishing.

wait a minute / just a minute / hold on a minute/hang on a minute / meaning of wait a minute / just a minute / hold on a minute / hang on a minute. (n.d.). In Longman dictionary of contemporary English (LDOCE). https://www.ldoceonline.com/dictionary/wait-a-minute-just-a-minute-hold-on-a-minute-hang-on-a-minute

Prosedur Penerjemahan Vinay & Darbelnet

Yusuf Arimatea Neno

JLTC (0238)

Jean-Paul Vinay & Jean Darbelnet atau lebih dikenal di dunia penerjemahan sebagai duo ahli bahasa dari Prancis, Vinay & Darbelnet. Mereka berdua menulis buku yang menjadi salah satu buku yang berpengaruh di dunia penerjemahan, Stylistique comparée du français et de l’anglais (1958), biasanya disingkat sebagai SCFA, dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris sebagai Comparative Stylistics of French and English: A Methodology for Translation. Buku ini membahas bagaimana analisis tata bahasa dan gaya bahasa yang berorientasi pada penerjemahan yang kontras dan berorientasi pada dua bahasa yang secara ekstensif  dengan ungkapan, frasa, dan teks. 

Vinay & Darbelnet banyak terinspirasi dari karya-karya awal  Andrei Fedorov seorang ahli penerjemah dari Rusia. Buku itu walaupun berfokus pada bahasa Inggris-Perancis, dapat menginspirasi banyak linguistik seperti Malblanc dan García Yebra. Buku ini juga menjadi salah satu buku yang sangat berpengaruh di dalam dunia penerjemahan khususnya dalam proses penerjemahan.

Vinay & Darbelnet berfokus pada proses penerjemahan yaitu semua proses atau cara yang dilakukan oleh penerjemah untuk menghasilkan teks terjemahan dengan kualitas tinggi. Di dalam proses penerjemahan tercakup berbagai strategi dan prosedur yang sengaja dipilih agar lebih efisien dari segi waktu dan tenaga. Banyak orang mengira bahwa strategi  dan prosedur itu sama dalam proses penerjemahan. Namun, sebenarnya dua istilah itu berbeda. Strategi adalah gambaran keseluruhan bagaimana seseorang akan menerjemahkan suatu teks dari bahasa satu ke bahasa lain, sedangkan prosedur itu lebih cenderung bagaimana secara spesifik seseorang menerjemahkan sebuah teks agar strategi dapat berjalan dengan baik. 

Gambar berikut ini menunjukkan relasi proses penerjemahan dengan strategi penerjemahan dan prosedur penerjemahan.

Vinay & Darbelnet memperkenalkan 2 strategi umum dan 7 prosedur penerjemahan. Dua strategi tersebut adalah direct dan oblique, sementara 7 prosedur penerjemahan adalah sebagai berikut:

Borrowing 
Menerjemah sebuah teks juga dapat meminjam beberapa kata dari bahasa sumber agar dapat mengisi kekosongan semantik sehingga pembaca lebih paham akan keseluruhan konteks. Contohnya sushi, sashimi, ramen, yang dipinjam langsung dari Bahasa Jepang tanpa mengubah apapun.

Calque
Prosedur ini memiliki kesamaan dengan borrowing tetapi lebih ke arah yang lebih spesifik atau spesial. Seperti kata android yang sering dipakai untuk langsung merujuk ke arah gawai yang menggunakan sistem android.

Literal translation
Prosedur ini diterapkan ketika penerjemah mengalihbahasakan sebuah teks secara literal. Cara ini  akan menimbulkan kesalahan terjemahan jika bahasa sumber tidak dalam satu keluarga bahasa dengan bahasa target. Prosedur ini dapat digunakan jika bahasa sumber dan bahasa target memiliki kesamaan budaya

Transposition
Prosedur ini memaksa penerjemah mengubah posisi dari struktur bahasa sumber ke bahasa target contohnya red book menjadi buku merah bukan  merah buku. Prosedur ini sering dilakukan para penerjemah agar teks terjemahan sesuai dengan aturan gramatika bahasa sasaran.

Modulation
Dalam prosedur ini penerjemah mengubah sudut pandang. Contohnya, I saw a dolphin when I swim at the beach, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai Aku melihat lumba-lumba saat aku berenang di pantai. Arti when secara literal berarti kapan tetapi diterjemahkan menjadi saat karena terasa lebih alami di Bahasa Indonesia. Modulasi biasanya digunakan penerjemah untuk mencapai tingkat kealamiahan yang tinggi dalam teks sasaran.

Jean-Paul Vinay

Équivalence atau idiomatic translation
Prosedur ini digunakan untuk menghasilkan terjemahan yang memiliki arti sama walaupun secara literal sangat berbeda sekali, prosedur biasanya dipakai untuk menerjemah kiasan, peribahasa, pantun dll. Contoh, The twin brother is  like fire and ice  yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Saudara kembar itu seperti minyak dan air. Dalam budaya Indonesia, minyak dan air  digunakan untuk menggambarkan ketidakcocokan yang laten, alih-alih air dan api seperti dalam budaya teks sumber.

Adaptation
Prosedur ini mengubah referensi budaya sumber menjadi referensi budaya sasaran, yang dilakukan karena referensi budaya sumber tidak ada dalam budaya sasaran. Contohnya, Saya suka lemper yang diterjemahkan atau diadaptasi menjadi I like apple pie. Karena di budaya sasaran tidak ada ditemukan lemper, penerjemah memutuskan untuk mengadaptasinya menjadi apple pie, yang sangat populer di budaya sasaran.

Jean Darbelnet

Prosedur penerjemahan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap teks terjemahan yang dihasilkan. Penerjemah harus bisa memilih prosedur yang paling tepat dan yang paling cocok untuk diterapkan saat proses penerjemahan. Tujuan utama dari penerjemahan adalah tetap mempertahankan kesamaan arti dengan teks sumber. Menggunakan prosedur penerjemahan harus juga dibarengi dengan pemahaman teks bahasa sumber dan referensi budaya sumber sehingga dapat menerjemahkan teks yang tetap setia dengan maksud penulis.
(Tulisan ini telah mengalami penyuntingan oleh Christien Yueni).

Pustaka

Munday, J. (2012). Introducing Translation Studies: Theories and Applications. Routledge.

Puspani, I. A. M., & Indrawati, N. L. K. M. (2018). Translation Procedures in Translating English Poem into Indonesian. International Journal of Applied Linguistics & English Literature, 7(6). http://dx.doi.org/10.7575/aiac.ijalel.v.7n.6p.12

Vinay, J.-P., & Darbelnet, J. (1995). Comparative Stylistics of French and English: A Methodology for Translation (J. C. Sager, Ed.; J. C. Sager, Trans.). J. Benjamins.