Kontribusi Komunitas

Bukan Sekadar 5–7–5! Begini Cara Menerjemahkan Haiku ke Bahasa Indonesia

Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
JLTC 0039

Estimasi waktu baca: 3 menit

Haiku adalah puisi sangat singkat yang berakar dari tradisi Jepang. Bentuk bakunya tiga baris, lazimnya berpola 5–7–5 suku kata dalam bahasa Jepang. Namun di luar bahasa Jepang, pola suku kata kerap lebih lentur karena struktur fonologi dan morfologi yang berbeda. Dua ciri penting haiku adalah kigo (penanda musim, misalnya “salju”, “mekar”, “panen”) dan kireji (unsur pemotong yang menimbulkan jeda, pergeseran perspektif, atau efek “potong”, sering diekspresikan lewat tanda baca, pergantian baris, atau kontras imaji). Haiku merayakan ekonomi bahasa, ketepatan imaji, dan kekosongan bermakna, ruang hening yang mengundang pembaca melengkapi makna.

Prinsip Menerjemahkan Haiku yang Baik

  1. Utamakan imaji, jangan hanya kata. Haiku bekerja lewat gambar konkret. Pastikan objek, gerak, dan suasana berpindah dengan tajam ke bahasa Indonesia.
  2. Kelola kigo secara kontekstual. Kigo bisa dipertahankan (cherry blossoms → “sakura”) bila esensial, atau mencari padanan musiman yang akrab bagi pembaca Indonesia (“padi menguning”, “hujan awal”).
  3. Terjemahkan kireji sebagai jeda makna. Gunakan tanda pisah, titik, titik-koma, atau kontras antarbait untuk menghadirkan “potongan”.
  4. Jaga kepadatan dan keheningan. Hindari penjelasan. Pilih diksi ekonomis dengan daya resonansi tinggi.
  5. Ritme diutamakan daripada hitungan kaku. Tiga baris wajib; jumlah suku kata fleksibel sejauh ritme terasa ringkas–penuh–ringkas.
  6. Kealamian bahasa Indonesia. Hindari calque. Bila citraan lokal lebih hidup (atap seng, sawah, angin lembab), gunakanlah selama tidak mengkhianati imaji asal.
  7. Uji bunyi keras-keras. Haiku yang baik terdengar jernih: konsonan, vokal, aliterasi, dan desis halus bisa menambah nuansa.

Di bawah ini dua haiku berbahasa Inggris (asli, bukan terjemahan) beserta versi Indonesia yang diusulkan, diikuti uraian pilihan penerjemahan.

Bahasa Inggris (sumber):

first rain on the zinc roof—
the lizard pauses mid-step;
dusk finds its echo

Bahasa Indonesia (sasaran):
hujan pertama di atap seng—
tokek berhenti selangkah;
senja menemukan gaungnya

Mari kita analisis:

  • Imaji & kigo: “first rain” menandai perubahan musim (awal penghujan). Padanan hujan pertama mempertahankan kigo tanpa domestikasi berlebih.
  • Lokalitas konkret: “zinc roof” dipilih menjadi atap seng, citra yang sangat Indonesia, menghadirkan timbre bunyi khas hujan di seng. Ini memperkuat oralitas: pembaca bisa “mendengar” ketukan hujan.
  • Fauna & gerak: “the lizard pauses mid-step” menjadi tokek berhenti selangkah. Pilihan tokek (alih-alih kadal) memberi resonansi budaya (suara tokek akrab di rumah-rumah tropis). Selangkah menjaga gerak mikro yang membekukan momen.
  • Kireji dan ritme: Tanda pisah “—” setelah baris pertama mempertahankan potongan; titik koma pada baris kedua menahan napas sebelum baris terakhir.
  • Diksi puitis: senja menemukan gaungnya meneruskan ide “echo” dengan gaung, kata yang ringkas, berdaya bunyi, dan tidak prosaik. “Menemukan” memberi gerak lembut sehingga senja terasa aktif, bukan sekadar latar.

Apakah 5–7–5 dipertahankan? Tidak secara ketat; ritme dan kepadatan diprioritaskan. Tiga baris terjaga, setiap baris memikul beban imaji.

Bahasa Inggris (sumber):
after the harvest
the scarecrow keeps its pose—
stars learn the field

Bahasa Indonesia (sasaran):
sesudah panen
orang-orangan tetap tegak—
bintang menghafal sawah

Analisis:

  • Kigo: “harvest” menandai musim panen; padanan sesudah panen langsung mengisyaratkan suasana agraris Nusantara.
  • Citra pusat: “scarecrow keeps its pose” → orang-orangan tetap tegak. Kata tetap menegaskan durasi, tegak menyimpan bentuk patung yang beku.
  • Metafora terakhir: “stars learn the field” ditafsirkan menjadi bintang menghafal sawah. Menghafal memberi rasa pengamatan berulang, bintang-bintang seperti membaca garis pematang. Alternatif yang lebih literal, bintang belajar sawah, terdengar datar; menghafal lebih puitis sekaligus menjaga gerak kontemplatif.
  • Kireji: Tanda pisah di baris dua memotong waktu antara aktivitas manusia (panen) dan kosmos (bintang), menghadirkan jarak hening tempat makna mengendap.

Beberapa Kekeliruan Umum yang Perlu Dihindari

  • Over-eksplikasi. Menambah keterangan yang tidak ada di teks sumber merusak kepadatan haiku.
  • Fetisisme 5–7–5. Memaksa hitungan suku kata hingga terasa janggal di bahasa Indonesia.
  • Diksi generik. Kata-kata lemah (mis. “indah”, “bagus”) tanpa citraan konkret membuat haiku hambar.
  • Hilangnya kireji. Tiga baris tanpa jeda makna menjadikan haiku terasa seperti tiga kalimat pendek biasa.

Menerjemahkan haiku adalah seni menjaga imaji, jeda, dan musim sambil menulis ulang napasnya dalam bahasa Indonesia. Pegang prinsip: konkretkan gambar, pelihara jeda, padatkan diksi, dan dengarkan bunyinya. Bila pembaca dapat “melihat”, “mendengar”, dan “merasakan” momen dalam tiga baris. Itulah tanda terjemahan haiku yang berhasil.

Selamat mengikuti Translation Olympiad #1 2025!

Sunyi di Kelas Penerjemahan

Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
JLTC 0039

Pukul tiga sore, kelas penerjemahan dimulai. Mesin pendingin ruangan berdengung, mengembuskan udara dingin yang membuat kelas semakin beku.  Di layar proyektor, kalimat bahasa Inggris tertera jelas. Namun di ruangan itu, sunyi lebih mendominasi daripada arti kata-kata.

“Siapa yang mau mencoba menerjemahkan kalimat pertama?” tanya saya.

Tak ada jawaban. Mahasiswa menunduk, seakan kata-kata di layar terlalu jauh untuk dijangkau. Seseorang memandangi layar laptop-nya, yang lain menggulir-gulir layar ponsel. Sunyi menggantung, lebih pekat daripada arti kata-kata yang tertera. Seakan-akan teks itu beban yang terlalu berat.

Si Penatap Layar

Di barisan depan, seorang mahasiswa menatap laptopnya tanpa berkedip. Dari jauh tampak serius, tetapi ketika saya mendekat, layar itu menampilkan ChatGPT. “Sir, hasilnya keluar begini… tapi kok rasanya aneh,” bisiknya.

Ia tahu terjemahannya tidak pas. Ada kejujuran di matanya, ada kebingungan yang tulus. Diamnya bukan tanpa isi. Ia sedang berdebat dengan dirinya sendiri, hanya saja tanpa suara.

Si Pengangguk Senyum

Di sisi kanan kelas, seorang mahasiswi selalu mengangguk setiap kali saya menjelaskan. Senyumnya ramah, seakan kata-kata sudah siap meluncur. Tetapi saat saya menunjuk namanya, ia menunduk, berbisik, “Not yet, Sir.”

Di buku catatannya penuh coretan: kata demi kata ia coba susun, lalu dicoret lagi. Kata-katanya hidup di kertas, tetapi tak pernah menemukan jalan keluar di ruang kelas. Barangkali rasa takut dikoreksi di depan kelas yang membuatnya memilih diam.

Si Penanya Tertunda

Kuliah berakhir. Suara kursi bergeser, pintu berderit, kelas segera kosong. Namun satu mahasiswa tetap tinggal. Ia mendekat perlahan, menyodorkan kertas penuh coretan.

Sir,” katanya ragu, “kalau kalimat ini diterjemahkan begini, pas nggak ya?”

Pertanyaan kecil itu bagaikan cahaya di kelas yang sepanjang jam kuliah hampir tanpa suara. Ada keingintahuan yang bersembunyi, menunggu waktu untuk berani keluar. Barangkali itulah ruang aman baginya untuk belajar.

Hening yang mengajarkan

Saya sering merasa kelas ini terlalu sepi. Tidak ada debat panjang, tidak ada riuh diskusi. Namun dari potret-potret kecil itu, saya belajar sesuatu: penerjemahan memang pekerjaan sunyi. Duduk berjam-jam di depan teks, memilih kata dengan hati-hati, berdebat dalam kepala sendiri.

Mungkin diamnya mahasiswa bukan berarti pasif atau malas. Mungkin justru itu cara mereka menyerap. Seperti hujan yang meresap perlahan ke tanah, tak terdengar, tetapi menghidupkan akar jauh di bawah.

Harapan yang sederhana

Saya tidak berharap semua mahasiswa ini menjadi penerjemah. Harapan saya sederhana: mereka membawa pulang kesadaran kecil bahwa kata tidak pernah netral. Bahwa memilih kata dari beberapa alternatif adalah memilih rasa. Bahwa bahasa punya banyak wajah. Bahwa kata bisa menyimpan nuansa. Bahwa komunikasi tidak sesederhana mengganti satu kata dengan kata lain. Jika dari kelas yang hening ini lahir satu mahasiswa yang lebih peka membaca dunia, itu sudah cukup.

Menutup pintu kelas yang sunyi

Ketika pintu kelas tertutup, suara gesekannya meninggalkan jejak. Ruang kembali kosong, sunyi lagi. Tetapi saya tahu, di kepala mereka kata-kata masih bergema.

Mungkin tak akan langsung mekar. Mungkin butuh waktu lama. Namun seperti benih yang tertanam diam-diam, ia bisa tumbuh suatu hari nanti.

Dan dari sunyi itu, saya belajar: mengajar penerjemahan bukan hanya soal teks, tetapi juga soal menunggu. Menunggu kata-kata menemukan keberaniannya untuk keluar dari diam.