October 7, 2025

Ingin Jadi Juara Translation Olympiad? Kuasai Rahasia Terjemahan Cerita Pendek Ini!

Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
JLTC 0039

Estimasi waktu baca: 4 menit

Menerjemahkan cerita pendek bukan sekadar memindahkan kata, melainkan menghidupkan kembali jiwa teks dalam bahasa yang berbeda. Di balik setiap kalimat, ada pilihan estetik, nuansa budaya, dan emosi halus yang menuntut kepekaan seorang seniman kata. Itulah sebabnya, dalam Translation Olympiad #1, cabang Short Story Translation menjadi ajang paling menantang, dan paling memikat, karena di sinilah para penerjemah diuji apakah mampu menjaga roh sastra sambil menghadirkannya dalam Bahasa Indonesia yang hidup dan menyentuh.

,Menjadi juara bukan hanya soal fasih berbahasa Inggris, tetapi tentang menemukan keseimbangan antara kesetiaan dan kebebasan, antara teknik dan rasa. Artikel ini membongkar langkah-langkah dan prinsip yang bisa membuat terjemahan cerpenmu menonjol di mata juri, dan bahkan berpeluang membawa pulang gelar juara.

Tantangan utama yang sering menjebak penerjemah

  1. Ritme bahasa
    Cerpen punya musiknya sendiri. Kadang kalimat panjang digunakan untuk membangun suasana, kadang pendek untuk menimbulkan kejutan. Terjemahan yang baik menangkap irama itu, bukan hanya artinya.
  2. Dialog dan karakter sosial
    Dialog menunjukkan kepribadian dan latar sosial tokoh. Kalimat seperti “You okay, mate?” bisa diterjemahkan menjadi “Kau nggak apa-apa, Bro?” atau “Kau baik-baik saja, Kawan?” tergantung siapa yang bicara dan di mana.
  3. Metafora dan imaji puitik
    Metafora adalah jantung cerita. “The field of poppies” bukan sekadar bunga. Ia simbol kehilangan dan pengorbanan. Jangan buru-buru menerjemahkannya secara literal. Terjemahkan, misalnya, menjadi “Ia berdiri di tepi ladang bunga poppy—hamparan merah yang seolah menandai batas antara kehidupan dan kenangan.” Kalimat ini menjaga keindahan visual (foreignness) sekaligus menyampaikan makna simbolik (dynamic equivalence).
  4. Suara narator
    Apakah pengisahnya dingin, getir, penuh kasih, atau sinis? Nada itu harus tetap hidup. Penerjemah harus membaca dengan telinga batin, bukan hanya mata.

Prinsip klasik yang harus diingat

  1. Fidelity and freedom
    Kemenangan tidak datang dari terjemahan yang kaku. Jadilah setia pada jiwa teks, bukan hanya katanya. Eugene Nida menyebut ini dynamic equivalence, yaitu menyampaikan makna dan dampak emosional yang sama, bukan sekadar bentuk.
  2. Naturalness in target language
    Gunakan Bahasa Indonesia yang mengalir dan alami. Pembaca tidak boleh merasa sedang membaca teks terjemahan. Peter Newmark menyebut ini communicative translation, yaitu terjemahan yang berbicara dengan pembaca, bukan menggurui.
  3. Cultural resonance
    Cerita selalu lahir dari konteks budaya. Misalnya, idiom “a skeleton in the closet” tidak diterjemahkan mentah menjadi “kerangka di lemari”, tetapi “rahasia kelam yang disembunyikan”. Jadilah jembatan budaya, bukan penerjemah kamus.
  4. Ethical sensibility
    Jangan hapus keunikan karya asing hanya demi “terdengar Indonesia banget”. Venuti mengingatkan bahwa penerjemah sejati merayakan keasingan, dengan membiarkan pembaca merasakan dunia lain tanpa kehilangan orientasi.

Strategi menjadi Juara Translation Olympiad #1!

  1. Baca dua kali sebelum menerjemahkan.
    Pertama untuk memahami jalan cerita dan emosi, kedua untuk mencatat gaya dan struktur.
  2. Tentukan suara pengarang.
    Apakah lembut seperti Alice Munro, atau lugas seperti Hemingway? Pilihan diksi dan ritme kalimatmu harus menirunya.
  3. Jaga konsistensi gaya.
    Buat catatan gaya sendiri: kata khas, repetisi, metafora favorit. Ini yang sering membuat terjemahan tampak profesional.
  4. Bacalah keras-keras hasil terjemahanmu.
    Cerpen yang baik punya irama. Bila kalimatmu terdengar kaku, revisilah.
  5. Pertahankan keasingan bila memperkaya.
    Istilah seperti Thanksgiving atau Hanami bisa dibiarkan dengan penjelasan halus. Ini menambah warna budaya.
  6. Gunakan bahasa Indonesia yang hidup.
    Jangan takut pada kata yang sederhana asal kuat. Yang dicari bukan kerumitan, melainkan keterhubungan.

Menjadi juara penerjemahan short story dalam Translation Olympiad #1 bukan soal siapa paling pintar, tetapi siapa paling peka dan sabar mendengar teks berbicara. Terjemahan yang baik adalah hasil dialog panjang antara penerjemah dan pengarang.

Seperti kata Umberto Eco, “Translation is the art of saying almost the same thing.” Dan dalam kata “almost” itulah para juara menemukan keindahan sejati penerjemahan: seni menyentuh jiwa lewat bahasa yang berbeda.