October 2025

Menulis Cerita Anak dalam Dua Bahasa? Lebih Sulit (dan Lebih Indah) dari yang Kamu Kira!

Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
JLTC 0039

Estimasi waktu baca: 3-4 menit

Banyak orang mengira menulis cerita anak itu mudah. Kalimatnya pendek, tokohnya lucu, dan temanya ringan. Namun, ketika cerita itu harus hidup dalam dua bahasa, semuanya berubah. Itulah tantangan sesungguhnya bagi para penulis yang berani menulis Bilingual Children’s Story dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Menulis dalam dua bahasa bukan sekadar menerjemahkan kata. Ini adalah upaya untuk membuat dua versi cerita yang sama-sama bernyawa. Satu versi mungkin lahir dari budaya Indonesia yang hangat, sedangkan versi lainnya harus terasa alami bagi pembaca berbahasa Inggris yang tumbuh dalam konteks berbeda. Tugas penulis adalah menjaga agar keduanya tetap memiliki hati yang sama.

Dua Bahasa, Satu Jiwa

Ketika seseorang menulis cerita anak dalam bahasa Indonesia lalu menerjemahkannya ke bahasa Inggris, ia sedang berusaha menjembatani dua dunia. Ia harus memikirkan bagaimana menjaga imajinasi dan rasa lucu dalam versi lain tanpa kehilangan makna.

Contohnya, kalimat: “Kancil tersenyum nakal ketika melihat buaya tertidur.”

Jika diterjemahkan secara langsung menjadi: “The naughty mousedeer smiled when he saw the crocodile sleeping.”

Kalimat itu terdengar agak kasar dalam bahasa Inggris karena kata “naughty” sering berkonotasi negatif. Penulis yang peka akan memilih padanan yang lebih sesuai, seperti:

“The clever mousedeer grinned when he saw the crocodile fast asleep.”

Dalam satu keputusan sederhana, penulis menunjukkan kepekaan terhadap budaya dan nada bahasa. Itulah seni menulis dwibahasa: mengubah tanpa mengkhianati.

Menulis untuk Anak Itu Serius, tapi Menyenangkan

Cerita anak menuntut keseimbangan antara keindahan dan kesederhanaan. Bahasa harus jernih, ritmenya lembut, dan emosi terasa nyata. Anak-anak membaca bukan untuk menganalisis, tetapi untuk merasakan. Mereka tidak peduli seberapa rumit struktur kalimatnya, yang mereka ingat adalah rasa bahagia, lucu, atau haru setelah menutup halaman terakhir.

 

Ketika cerita itu harus dihadirkan dalam dua bahasa, penulis perlu lebih berhati-hati. Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tidak selalu memiliki cara yang sama untuk mengekspresikan kehangatan, kasih sayang, atau humor. Namun, di situlah keindahannya. Penulis belajar melihat dunianya dari dua jendela yang berbeda.

Lima Tips Menulis Cerita Anak Bilingual yang Menyentuh Hati

Berikut beberapa panduan sederhana agar ceritamu bisa hidup dalam dua bahasa tanpa kehilangan pesonanya.

  1. Mulailah dari ide yang dekat dengan anak 
    Cerita terbaik lahir dari hal-hal kecil. Seekor kupu-kupu yang takut hujan, seorang anak yang kehilangan pensil kesayangannya, atau kucing rumahan yang ingin terbang. Hal sederhana seperti itu justru paling universal.
  2. Gunakan kalimat pendek dan ritme yang mengalir
    Cerita anak harus mudah dibaca keras-keras. Gunakan kalimat yang lembut dan berirama agar bisa dinikmati dengan suara. Contohnya: “Lala melangkah pelan. Angin sore membelai rambutnya.” Kalimat seperti ini sederhana, tetapi kaya nuansa.
  3. Tulis dengan imaji yang kuat
    Ceritakan seolah kamu sedang menggambar. Anak-anak membayangkan kata menjadi gambar di kepala mereka. Kata-kata seperti “pohon tinggi menjulang” atau “langit merah jambu” membantu mereka merasakan dunia cerita.
  4. Gunakan nilai lokal, jangan takut memperkenalkannya
    Dalam versi bahasa Inggris, biarkan kata lokal tetap hadir dengan sedikit penjelasan. Contohnya: “Grandma served warm bajigur, a sweet coconut drink from the village.” Cerita anak justru menarik ketika membawa aroma budaya yang baru bagi pembacanya.
  5. Terjemahkan dengan perasaan, bukan hanya makna
    Jangan memaksakan kalimat agar identik. Biarkan versi kedua memiliki napasnya sendiri. Tujuanmu adalah menciptakan keseimbangan, bukan salinan. Dua bahasa bisa menjadi dua cara berbeda untuk merasakan keajaiban yang sama.

Ketika Bahasa Menjadi Jembatan Imajinasi

Menulis cerita anak bilingual mengajarkan hal berharga tentang empati. Ketika kamu menulis dalam dua bahasa, kamu belajar memahami dua cara berpikir, dua dunia nilai, dan dua lapisan emosi. Kamu tidak hanya menulis cerita, tetapi juga membangun jembatan antara pembaca yang berbeda.

Anak-anak yang membaca kedua versi ceritamu akan belajar bahwa bahasa apa pun bisa menjadi rumah bagi perasaan. Mereka akan tahu bahwa kebaikan, keberanian, dan kasih sayang tetap sama, entah disebut “love” atau “cinta”.

Menulis cerita anak dalam dua bahasa memang tidak mudah, tetapi di sanalah letak keindahannya. Dalam setiap kata yang kamu pilih dan setiap kalimat yang kamu ciptakan, ada dua dunia yang kamu satukan. Dan siapa tahu, dari cerita kecil yang kamu tulis hari ini, lahir pembaca cilik yang mencintai bahasa. Dalam bentuk apa pun ia hadir.

Ingin Jadi Juara Translation Olympiad? Kuasai Rahasia Terjemahan Cerita Pendek Ini!

Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
JLTC 0039

Estimasi waktu baca: 4 menit

Menerjemahkan cerita pendek bukan sekadar memindahkan kata, melainkan menghidupkan kembali jiwa teks dalam bahasa yang berbeda. Di balik setiap kalimat, ada pilihan estetik, nuansa budaya, dan emosi halus yang menuntut kepekaan seorang seniman kata. Itulah sebabnya, dalam Translation Olympiad #1, cabang Short Story Translation menjadi ajang paling menantang, dan paling memikat, karena di sinilah para penerjemah diuji apakah mampu menjaga roh sastra sambil menghadirkannya dalam Bahasa Indonesia yang hidup dan menyentuh.

,Menjadi juara bukan hanya soal fasih berbahasa Inggris, tetapi tentang menemukan keseimbangan antara kesetiaan dan kebebasan, antara teknik dan rasa. Artikel ini membongkar langkah-langkah dan prinsip yang bisa membuat terjemahan cerpenmu menonjol di mata juri, dan bahkan berpeluang membawa pulang gelar juara.

Tantangan utama yang sering menjebak penerjemah

  1. Ritme bahasa
    Cerpen punya musiknya sendiri. Kadang kalimat panjang digunakan untuk membangun suasana, kadang pendek untuk menimbulkan kejutan. Terjemahan yang baik menangkap irama itu, bukan hanya artinya.
  2. Dialog dan karakter sosial
    Dialog menunjukkan kepribadian dan latar sosial tokoh. Kalimat seperti “You okay, mate?” bisa diterjemahkan menjadi “Kau nggak apa-apa, Bro?” atau “Kau baik-baik saja, Kawan?” tergantung siapa yang bicara dan di mana.
  3. Metafora dan imaji puitik
    Metafora adalah jantung cerita. “The field of poppies” bukan sekadar bunga. Ia simbol kehilangan dan pengorbanan. Jangan buru-buru menerjemahkannya secara literal. Terjemahkan, misalnya, menjadi “Ia berdiri di tepi ladang bunga poppy—hamparan merah yang seolah menandai batas antara kehidupan dan kenangan.” Kalimat ini menjaga keindahan visual (foreignness) sekaligus menyampaikan makna simbolik (dynamic equivalence).
  4. Suara narator
    Apakah pengisahnya dingin, getir, penuh kasih, atau sinis? Nada itu harus tetap hidup. Penerjemah harus membaca dengan telinga batin, bukan hanya mata.

Prinsip klasik yang harus diingat

  1. Fidelity and freedom
    Kemenangan tidak datang dari terjemahan yang kaku. Jadilah setia pada jiwa teks, bukan hanya katanya. Eugene Nida menyebut ini dynamic equivalence, yaitu menyampaikan makna dan dampak emosional yang sama, bukan sekadar bentuk.
  2. Naturalness in target language
    Gunakan Bahasa Indonesia yang mengalir dan alami. Pembaca tidak boleh merasa sedang membaca teks terjemahan. Peter Newmark menyebut ini communicative translation, yaitu terjemahan yang berbicara dengan pembaca, bukan menggurui.
  3. Cultural resonance
    Cerita selalu lahir dari konteks budaya. Misalnya, idiom “a skeleton in the closet” tidak diterjemahkan mentah menjadi “kerangka di lemari”, tetapi “rahasia kelam yang disembunyikan”. Jadilah jembatan budaya, bukan penerjemah kamus.
  4. Ethical sensibility
    Jangan hapus keunikan karya asing hanya demi “terdengar Indonesia banget”. Venuti mengingatkan bahwa penerjemah sejati merayakan keasingan, dengan membiarkan pembaca merasakan dunia lain tanpa kehilangan orientasi.

Strategi menjadi Juara Translation Olympiad #1!

  1. Baca dua kali sebelum menerjemahkan.
    Pertama untuk memahami jalan cerita dan emosi, kedua untuk mencatat gaya dan struktur.
  2. Tentukan suara pengarang.
    Apakah lembut seperti Alice Munro, atau lugas seperti Hemingway? Pilihan diksi dan ritme kalimatmu harus menirunya.
  3. Jaga konsistensi gaya.
    Buat catatan gaya sendiri: kata khas, repetisi, metafora favorit. Ini yang sering membuat terjemahan tampak profesional.
  4. Bacalah keras-keras hasil terjemahanmu.
    Cerpen yang baik punya irama. Bila kalimatmu terdengar kaku, revisilah.
  5. Pertahankan keasingan bila memperkaya.
    Istilah seperti Thanksgiving atau Hanami bisa dibiarkan dengan penjelasan halus. Ini menambah warna budaya.
  6. Gunakan bahasa Indonesia yang hidup.
    Jangan takut pada kata yang sederhana asal kuat. Yang dicari bukan kerumitan, melainkan keterhubungan.

Menjadi juara penerjemahan short story dalam Translation Olympiad #1 bukan soal siapa paling pintar, tetapi siapa paling peka dan sabar mendengar teks berbicara. Terjemahan yang baik adalah hasil dialog panjang antara penerjemah dan pengarang.

Seperti kata Umberto Eco, “Translation is the art of saying almost the same thing.” Dan dalam kata “almost” itulah para juara menemukan keindahan sejati penerjemahan: seni menyentuh jiwa lewat bahasa yang berbeda.