Merayakan Penerjemah

Harris Hermansyah Setiajid
Co-Founder Jogja Literary Translation Club
JLTC 0039

Estimasi waktu baca: 3 menit

Setiap 30 September, komunitas penerjemah di seluruh dunia merayakan Hari Penerjemahan Internasional. Perayaan ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengingat bahwa pekerjaan penerjemah adalah pekerjaan kebudayaan: menjaga jembatan antarbahasa, antarbangsa, bahkan antarperadaban.

George Steiner, pemikir besar dalam kajian hermeneutika, pernah mengatakan: “Without translation, we would be living in provinces bordering on silence.” Tanpa penerjemah, dunia akan terpecah dalam kebisuan. Kalimat ini menggambarkan dengan tepat betapa krusialnya peran penerjemah sebagai penjaga jembatan antarbudaya.

Mengapa 30 September?

Hari Penerjemahan Internasional digagas oleh Federation Internationale des Traducteurs (FIT) pada 1991. Tanggal 30 September dipilih karena bertepatan dengan wafatnya Santo Hieronimus, penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Latin (Vulgata). Karya besarnya bukan hanya teks religius, melainkan juga jembatan yang menghubungkan generasi dan budaya.

Pengakuan ini kemudian diperluas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menegaskan bahwa penerjemahan merupakan bagian dari upaya menjaga perdamaian dan pemahaman lintas bangsa.

Tantangan Penerjemah Masa Kini

Meskipun profesi penerjemah makin diakui, tantangan yang dihadapi kian kompleks.

1. Teknologi yang disruptif.
Mesin penerjemah berbasis kecerdasan buatan (AI) kini mampu bekerja cepat, tetapi sering gagal menangkap nuansa, ironi, atau emosi. Penerjemah manusia dituntut untuk memberi nilai tambah yang tak tergantikan: sensitivitas budaya dan kreativitas. Lawrence Venuti mengingatkan, “Translation changes everything.” Maka, penerjemahlah yang menentukan agar perubahan itu bermakna.

2. Kompleksitas bidang khusus.
Dari hukum, medis, hingga audiovisual, setiap bidang penerjemahan menuntut keahlian tersendiri. Penerjemah hukum harus memahami sistem common law dan civil law. Penerjemah medis berhadapan dengan istilah yang menyangkut keselamatan pasien. Penerjemah audiovisual menyeimbangkan teks dengan tempo visual. Semua ini menegaskan bahwa penerjemahan bukan sekadar memindahkan kata, melainkan menghadirkan pemahaman.

3. Pengakuan profesi.
Masih banyak penerjemah menghadapi tantangan klasik berupa rendahnya penghargaan finansial dan minimnya perlindungan hukum. Profesi ini kerap dianggap sampingan, sehingga standar tarif dan regulasi ketenagakerjaan masih jauh dari ideal. Padahal, dari dokumen hukum internasional hingga teks sastra lintas budaya, penerjemah berperan penting menjaga komunikasi global. Karena itu, pengakuan profesi perlu diperkuat melalui asosiasi, pendidikan formal, dan dukungan kebijakan agar penerjemah mendapatkan tempat yang layak di mata publik.

JLTC dan Relevansinya

Dalam konteks Indonesia, salah satu lembaga yang konsisten menegaskan peran penerjemahan adalah Jogja Literary Translation Club (JLTC). Sejak berdiri pada 2016, JLTC kini lebih berfokus pada seminar, penelitian, dan penerbitan buku.

Relevansi JLTC tercermin dalam tiga hal utama:

  1. Seminar sebagai ruang dialog
    JLTC menyelenggarakan seminar nasional dan internasional yang mempertemukan akademisi, peneliti, dan praktisi. Forum ini memperkaya wacana dan menjaga diskursus penerjemahan tetap hidup.
  2. Penelitian yang mendalam
    JLTC berfungsi sebagai basis riset yang menelaah strategi, dampak sosial, dan peran teknologi dalam penerjemahan. Hal ini meneguhkan penerjemahan sebagai bidang kajian serius di Indonesia.
  3. Penerbitan buku
    Melalui penerbitan karya akademik, JLTC menghadirkan referensi yang memperkaya literatur nasional sekaligus menjadi wadah bagi penulis muda. Inilah bentuk nyata dari peran JLTC sebagai penjaga jembatan ilmu.

Hari Penerjemahan Internasional 2025 menegaskan kembali bahwa penerjemah adalah penjaga jembatan antarbudaya. Teknologi bisa membantu, tetapi nilai kemanusiaan, sensitivitas, dan integritas penerjemah tetap tak tergantikan.

JLTC hadir untuk memastikan bahwa penerjemahan di Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi berkembang. Melalui seminar, penelitian, dan penerbitan buku, JLTC menegaskan peran penerjemah sebagai agen budaya yang menjaga dunia tetap saling memahami.

Maka, merayakan Hari Penerjemahan Internasional berarti merayakan mereka yang dalam sunyi merawat jembatan rapuh antarbudaya, agar kita semua bisa tetap berjalan di atasnya.