September 29, 2025

Sunyi di Kelas Penerjemahan

Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
JLTC 0039

Pukul tiga sore, kelas penerjemahan dimulai. Mesin pendingin ruangan berdengung, mengembuskan udara dingin yang membuat kelas semakin beku.  Di layar proyektor, kalimat bahasa Inggris tertera jelas. Namun di ruangan itu, sunyi lebih mendominasi daripada arti kata-kata.

“Siapa yang mau mencoba menerjemahkan kalimat pertama?” tanya saya.

Tak ada jawaban. Mahasiswa menunduk, seakan kata-kata di layar terlalu jauh untuk dijangkau. Seseorang memandangi layar laptop-nya, yang lain menggulir-gulir layar ponsel. Sunyi menggantung, lebih pekat daripada arti kata-kata yang tertera. Seakan-akan teks itu beban yang terlalu berat.

Si Penatap Layar

Di barisan depan, seorang mahasiswa menatap laptopnya tanpa berkedip. Dari jauh tampak serius, tetapi ketika saya mendekat, layar itu menampilkan ChatGPT. “Sir, hasilnya keluar begini… tapi kok rasanya aneh,” bisiknya.

Ia tahu terjemahannya tidak pas. Ada kejujuran di matanya, ada kebingungan yang tulus. Diamnya bukan tanpa isi. Ia sedang berdebat dengan dirinya sendiri, hanya saja tanpa suara.

Si Pengangguk Senyum

Di sisi kanan kelas, seorang mahasiswi selalu mengangguk setiap kali saya menjelaskan. Senyumnya ramah, seakan kata-kata sudah siap meluncur. Tetapi saat saya menunjuk namanya, ia menunduk, berbisik, “Not yet, Sir.”

Di buku catatannya penuh coretan: kata demi kata ia coba susun, lalu dicoret lagi. Kata-katanya hidup di kertas, tetapi tak pernah menemukan jalan keluar di ruang kelas. Barangkali rasa takut dikoreksi di depan kelas yang membuatnya memilih diam.

Si Penanya Tertunda

Kuliah berakhir. Suara kursi bergeser, pintu berderit, kelas segera kosong. Namun satu mahasiswa tetap tinggal. Ia mendekat perlahan, menyodorkan kertas penuh coretan.

Sir,” katanya ragu, “kalau kalimat ini diterjemahkan begini, pas nggak ya?”

Pertanyaan kecil itu bagaikan cahaya di kelas yang sepanjang jam kuliah hampir tanpa suara. Ada keingintahuan yang bersembunyi, menunggu waktu untuk berani keluar. Barangkali itulah ruang aman baginya untuk belajar.

Hening yang mengajarkan

Saya sering merasa kelas ini terlalu sepi. Tidak ada debat panjang, tidak ada riuh diskusi. Namun dari potret-potret kecil itu, saya belajar sesuatu: penerjemahan memang pekerjaan sunyi. Duduk berjam-jam di depan teks, memilih kata dengan hati-hati, berdebat dalam kepala sendiri.

Mungkin diamnya mahasiswa bukan berarti pasif atau malas. Mungkin justru itu cara mereka menyerap. Seperti hujan yang meresap perlahan ke tanah, tak terdengar, tetapi menghidupkan akar jauh di bawah.

Harapan yang sederhana

Saya tidak berharap semua mahasiswa ini menjadi penerjemah. Harapan saya sederhana: mereka membawa pulang kesadaran kecil bahwa kata tidak pernah netral. Bahwa memilih kata dari beberapa alternatif adalah memilih rasa. Bahwa bahasa punya banyak wajah. Bahwa kata bisa menyimpan nuansa. Bahwa komunikasi tidak sesederhana mengganti satu kata dengan kata lain. Jika dari kelas yang hening ini lahir satu mahasiswa yang lebih peka membaca dunia, itu sudah cukup.

Menutup pintu kelas yang sunyi

Ketika pintu kelas tertutup, suara gesekannya meninggalkan jejak. Ruang kembali kosong, sunyi lagi. Tetapi saya tahu, di kepala mereka kata-kata masih bergema.

Mungkin tak akan langsung mekar. Mungkin butuh waktu lama. Namun seperti benih yang tertanam diam-diam, ia bisa tumbuh suatu hari nanti.

Dan dari sunyi itu, saya belajar: mengajar penerjemahan bukan hanya soal teks, tetapi juga soal menunggu. Menunggu kata-kata menemukan keberaniannya untuk keluar dari diam.