September 2025

Merayakan Penerjemah

Harris Hermansyah Setiajid
Co-Founder Jogja Literary Translation Club
JLTC 0039

Estimasi waktu baca: 3 menit

Setiap 30 September, komunitas penerjemah di seluruh dunia merayakan Hari Penerjemahan Internasional. Perayaan ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengingat bahwa pekerjaan penerjemah adalah pekerjaan kebudayaan: menjaga jembatan antarbahasa, antarbangsa, bahkan antarperadaban.

George Steiner, pemikir besar dalam kajian hermeneutika, pernah mengatakan: “Without translation, we would be living in provinces bordering on silence.” Tanpa penerjemah, dunia akan terpecah dalam kebisuan. Kalimat ini menggambarkan dengan tepat betapa krusialnya peran penerjemah sebagai penjaga jembatan antarbudaya.

Mengapa 30 September?

Hari Penerjemahan Internasional digagas oleh Federation Internationale des Traducteurs (FIT) pada 1991. Tanggal 30 September dipilih karena bertepatan dengan wafatnya Santo Hieronimus, penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Latin (Vulgata). Karya besarnya bukan hanya teks religius, melainkan juga jembatan yang menghubungkan generasi dan budaya.

Pengakuan ini kemudian diperluas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menegaskan bahwa penerjemahan merupakan bagian dari upaya menjaga perdamaian dan pemahaman lintas bangsa.

Tantangan Penerjemah Masa Kini

Meskipun profesi penerjemah makin diakui, tantangan yang dihadapi kian kompleks.

1. Teknologi yang disruptif.
Mesin penerjemah berbasis kecerdasan buatan (AI) kini mampu bekerja cepat, tetapi sering gagal menangkap nuansa, ironi, atau emosi. Penerjemah manusia dituntut untuk memberi nilai tambah yang tak tergantikan: sensitivitas budaya dan kreativitas. Lawrence Venuti mengingatkan, “Translation changes everything.” Maka, penerjemahlah yang menentukan agar perubahan itu bermakna.

2. Kompleksitas bidang khusus.
Dari hukum, medis, hingga audiovisual, setiap bidang penerjemahan menuntut keahlian tersendiri. Penerjemah hukum harus memahami sistem common law dan civil law. Penerjemah medis berhadapan dengan istilah yang menyangkut keselamatan pasien. Penerjemah audiovisual menyeimbangkan teks dengan tempo visual. Semua ini menegaskan bahwa penerjemahan bukan sekadar memindahkan kata, melainkan menghadirkan pemahaman.

3. Pengakuan profesi.
Masih banyak penerjemah menghadapi tantangan klasik berupa rendahnya penghargaan finansial dan minimnya perlindungan hukum. Profesi ini kerap dianggap sampingan, sehingga standar tarif dan regulasi ketenagakerjaan masih jauh dari ideal. Padahal, dari dokumen hukum internasional hingga teks sastra lintas budaya, penerjemah berperan penting menjaga komunikasi global. Karena itu, pengakuan profesi perlu diperkuat melalui asosiasi, pendidikan formal, dan dukungan kebijakan agar penerjemah mendapatkan tempat yang layak di mata publik.

JLTC dan Relevansinya

Dalam konteks Indonesia, salah satu lembaga yang konsisten menegaskan peran penerjemahan adalah Jogja Literary Translation Club (JLTC). Sejak berdiri pada 2016, JLTC kini lebih berfokus pada seminar, penelitian, dan penerbitan buku.

Relevansi JLTC tercermin dalam tiga hal utama:

  1. Seminar sebagai ruang dialog
    JLTC menyelenggarakan seminar nasional dan internasional yang mempertemukan akademisi, peneliti, dan praktisi. Forum ini memperkaya wacana dan menjaga diskursus penerjemahan tetap hidup.
  2. Penelitian yang mendalam
    JLTC berfungsi sebagai basis riset yang menelaah strategi, dampak sosial, dan peran teknologi dalam penerjemahan. Hal ini meneguhkan penerjemahan sebagai bidang kajian serius di Indonesia.
  3. Penerbitan buku
    Melalui penerbitan karya akademik, JLTC menghadirkan referensi yang memperkaya literatur nasional sekaligus menjadi wadah bagi penulis muda. Inilah bentuk nyata dari peran JLTC sebagai penjaga jembatan ilmu.

Hari Penerjemahan Internasional 2025 menegaskan kembali bahwa penerjemah adalah penjaga jembatan antarbudaya. Teknologi bisa membantu, tetapi nilai kemanusiaan, sensitivitas, dan integritas penerjemah tetap tak tergantikan.

JLTC hadir untuk memastikan bahwa penerjemahan di Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi berkembang. Melalui seminar, penelitian, dan penerbitan buku, JLTC menegaskan peran penerjemah sebagai agen budaya yang menjaga dunia tetap saling memahami.

Maka, merayakan Hari Penerjemahan Internasional berarti merayakan mereka yang dalam sunyi merawat jembatan rapuh antarbudaya, agar kita semua bisa tetap berjalan di atasnya.

Sunyi di Kelas Penerjemahan

Harris Hermansyah Setiajid
Pemerhati Penerjemahan
JLTC 0039

Pukul tiga sore, kelas penerjemahan dimulai. Mesin pendingin ruangan berdengung, mengembuskan udara dingin yang membuat kelas semakin beku.  Di layar proyektor, kalimat bahasa Inggris tertera jelas. Namun di ruangan itu, sunyi lebih mendominasi daripada arti kata-kata.

“Siapa yang mau mencoba menerjemahkan kalimat pertama?” tanya saya.

Tak ada jawaban. Mahasiswa menunduk, seakan kata-kata di layar terlalu jauh untuk dijangkau. Seseorang memandangi layar laptop-nya, yang lain menggulir-gulir layar ponsel. Sunyi menggantung, lebih pekat daripada arti kata-kata yang tertera. Seakan-akan teks itu beban yang terlalu berat.

Si Penatap Layar

Di barisan depan, seorang mahasiswa menatap laptopnya tanpa berkedip. Dari jauh tampak serius, tetapi ketika saya mendekat, layar itu menampilkan ChatGPT. “Sir, hasilnya keluar begini… tapi kok rasanya aneh,” bisiknya.

Ia tahu terjemahannya tidak pas. Ada kejujuran di matanya, ada kebingungan yang tulus. Diamnya bukan tanpa isi. Ia sedang berdebat dengan dirinya sendiri, hanya saja tanpa suara.

Si Pengangguk Senyum

Di sisi kanan kelas, seorang mahasiswi selalu mengangguk setiap kali saya menjelaskan. Senyumnya ramah, seakan kata-kata sudah siap meluncur. Tetapi saat saya menunjuk namanya, ia menunduk, berbisik, “Not yet, Sir.”

Di buku catatannya penuh coretan: kata demi kata ia coba susun, lalu dicoret lagi. Kata-katanya hidup di kertas, tetapi tak pernah menemukan jalan keluar di ruang kelas. Barangkali rasa takut dikoreksi di depan kelas yang membuatnya memilih diam.

Si Penanya Tertunda

Kuliah berakhir. Suara kursi bergeser, pintu berderit, kelas segera kosong. Namun satu mahasiswa tetap tinggal. Ia mendekat perlahan, menyodorkan kertas penuh coretan.

Sir,” katanya ragu, “kalau kalimat ini diterjemahkan begini, pas nggak ya?”

Pertanyaan kecil itu bagaikan cahaya di kelas yang sepanjang jam kuliah hampir tanpa suara. Ada keingintahuan yang bersembunyi, menunggu waktu untuk berani keluar. Barangkali itulah ruang aman baginya untuk belajar.

Hening yang mengajarkan

Saya sering merasa kelas ini terlalu sepi. Tidak ada debat panjang, tidak ada riuh diskusi. Namun dari potret-potret kecil itu, saya belajar sesuatu: penerjemahan memang pekerjaan sunyi. Duduk berjam-jam di depan teks, memilih kata dengan hati-hati, berdebat dalam kepala sendiri.

Mungkin diamnya mahasiswa bukan berarti pasif atau malas. Mungkin justru itu cara mereka menyerap. Seperti hujan yang meresap perlahan ke tanah, tak terdengar, tetapi menghidupkan akar jauh di bawah.

Harapan yang sederhana

Saya tidak berharap semua mahasiswa ini menjadi penerjemah. Harapan saya sederhana: mereka membawa pulang kesadaran kecil bahwa kata tidak pernah netral. Bahwa memilih kata dari beberapa alternatif adalah memilih rasa. Bahwa bahasa punya banyak wajah. Bahwa kata bisa menyimpan nuansa. Bahwa komunikasi tidak sesederhana mengganti satu kata dengan kata lain. Jika dari kelas yang hening ini lahir satu mahasiswa yang lebih peka membaca dunia, itu sudah cukup.

Menutup pintu kelas yang sunyi

Ketika pintu kelas tertutup, suara gesekannya meninggalkan jejak. Ruang kembali kosong, sunyi lagi. Tetapi saya tahu, di kepala mereka kata-kata masih bergema.

Mungkin tak akan langsung mekar. Mungkin butuh waktu lama. Namun seperti benih yang tertanam diam-diam, ia bisa tumbuh suatu hari nanti.

Dan dari sunyi itu, saya belajar: mengajar penerjemahan bukan hanya soal teks, tetapi juga soal menunggu. Menunggu kata-kata menemukan keberaniannya untuk keluar dari diam.