Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
JLTC 0039
Pada Bagian 1 disebutkan bahwa hermeneutika memberi batas antara penerjemah dan hasil terjemahannya. Bahkan, penerjemah bisa menjadi entitas tersendiri yang mungkin terpisah dari penulis teks sumbernya. Artinya, hasil alih bahasa yang dilakukan penerjemah merupakan penafsiran terhadap teks sumber. Penerjemahan, menurut Nida (1984) adalah mereproduksi dalam bahasa sasaran padanan alami yang paling dekat dari bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya. Di sini makna tampaknya menjadi pusat perhatian terjemahan, itulah sebabnya pemahaman dan interpretasi yang memadai selalu menjadi kriteria dalam menilai apakah sebuah terjemahan berhasil atau gagal.
Makna tidak pernah konkret dan nyata sehingga terjemahan makna hanya dapat mencapai semacam perkiraan saja, bukan ketepatan seperti yang diyakini oleh beberapa ahli. Ketika makna yang diterjemahkan menghasilkan respons yang sama atau serupa bagi pembaca sasaran seperti halnya pembaca asli, terjemahan, menurut Newmark (1982), dikatakan berhasil. Newmark (1982) mengatakan bahwa penerjemahan terkait dengan kesepadanan efek yang ingin dicapai bagi pembaca sasaran. Dengan kata lain penerjemahan tidak berusaha untuk mereproduksi ketepatan aslinya, tetapi lebih pada pencapaian efek yang sama terhadap pembaca sasaran. Pernyataan ini didasarkan pada fakta bahwa banyak orang percaya bahwa terjemahan itu sendiri adalah tujuan, dan melayani tujuan tertentu.
Penerjemahan melibatkan penguraian kode wacana teks asli dan menyusun kode ke dalam wacana teks sasaran, baik yang dilakukan oleh penerjemah maupun penafsir. Selama proses ini, kesetiaan atau akurasi yang mutlak hanyalah ilusi, atau pencapaian idealisme yang mustahil. Untuk mencapai efek atau dampak yang maksimal dari wacana teks asli dan untuk menghindari kegagalan komunikasi, akomodasi (dan pergeseran) dilakukan dengan berbagai alasan.
Mungkin kontribusi hermeneutika yang paling penting adalah fokusnya pada bahasa. Bahasa paling sering ditafsirkan dalam istilah metafora sebagai ‘saluran’, bahasa menjadi ‘saluran’ yang mentransfer pemikiran dari satu pikiran ke pikiran lain. Bahasa adalah media yang digunakan manusia menyampaikan pikiran yang ada dalam benaknya. Pemahaman bahasa ini telah memengaruhi metode komunikasi. Mengikuti teori bahasa ini, setiap orang didorong untuk bisa mengomunikasikan pikiran mereka agar lebih jelas, menarik, dan efektif.
Hermeneutika menekankan bahwa bahasa adalah saluran untuk menyampaikan makna. Gadamer (1972), misalnya, menganggap bahasa pada dasarnya bersifat percakapan. Bahasa, menurutnya, dicirikan terjadinya percakapan antar individu. Percakapan ini tidak harus selalu dilakukan secara lisan, tetapi bisa juga dilakukan secara tidak langsung melalui tulisan. Kata-kata tidak dimulai dari satu orang dan berakhir di orang lain. Sebaliknya, kata-kata ikut berperan dan dialami oleh para penutur. Bahasa pada dasarnya adalah percakapan, abstraksi fakta dan simbol yang teratur dan logis dengan makna yang terkandung di dalamnya untuk ditafsirkan.
Karena bahasa bukan tentang memahami makna orang lain, tetapi tentang mengambil bagian dalam percakapan, orientasi hermeneutika juga menawarkan pemahaman yang sangat berbeda dalam penerjemahan. Percakapan, meskipun lintas bahasa, selalu penuh makna dan pengertian.
Karena bahasa bukan tentang memahami makna orang lain, tetapi tentang mengambil bagian dalam percakapan, orientasi hermeneutika juga menawarkan pemahaman yang sangat berbeda dalam penerjemahan. Percakapan, meskipun lintas bahasa, selalu penuh makna dan pengertian.
‘Menafsirkan’ dan ‘memahami’ adalah kata kerja transitif; pemahaman, seperti interpretasi, memiliki objek. Satu di bawah berdiri sesuatu (x), atau satu gagal untuk memahaminya. Terkadang kita memahami sesuatu tanpa usaha, hanya karena kita telah memperoleh kemampuan yang diperlukan, dan tidak ada lagi yang dibutuhkan. Jadi, misalnya, kita memahami ucapan linguistik ‘Piss off!’ karena kita mengerti bahasa Inggris. Namun, seringkali, pemahaman membutuhkan usaha; ini terungkap dalam frasa seperti ‘mencoba untuk memahami’ atau ‘berjuang untuk memahami’ (Vendler, 1994). Ketika kita tidak dapat memahami sesuatu dengan segera, kita mungkin berusaha untuk memahaminya. Interpretasi x diperlukan bila ada kesulitan khusus dalam memahami x.
Kesulitan-kesulitan seperti tersebut di atas berbeda jenisnya (Rosenberg, 1981): (1) Jadi, kesulitan memahami x kadang-kadang disebabkan oleh kompleksitas intrinsik x; apa yang dibutuhkan dalam kasus seperti itu adalah semacam analisis atau dekomposisi (Ziff, 1972; Moravcsik, 1979), (2) Dalam kasus lain, x mungkin sulit dipahami karena tidak cocok secara koheren dalam konteks yang lebih besar; di sini yang diperlukan adalah semacam sintesis atau penyematan x dalam jaringan koneksi, (3) Dalam kasus lain, kesulitan memahami x mungkin merupakan pertanyaan tentang ketidakjelasan x, sehingga penelusuran batas yang cermat atau artikulasi yang lebih baik dapat membantu.
Ada tiga orientasi utama dalam kegiatan penerjemahan yang saling berkelindan dalam penafsiran dan pemaknaan.
Nah, apakah ketiga orientasi tersebut? Kita bahas di Bagian 3 pada tulisan selanjutnya.
Pustaka
Moravcsik, J.M. (1979). Understanding. Dialectica 33, 201-216.
Nida, E. (1984). On Translation. Translation Publishing Corp.
Newmark, P. (1982). Approaches to Translation. Pearson Education Limited.
Rosenberg, J.F. (1981). On understanding the difficulty in understanding understanding. In: Parret, H., Bouveresse, J. (Eds.), Meaning and Understanding. de Gruyter, Berlin and New York, pp. 29–43.
Ziff, P. (1972). Understanding Understanding. Cornell University Press.