March 2023

The Complexities of Machine Translation in English-Indonesian Legal Contexts

Harris Hermansyah Setiajid

Universitas Sanata Dharma

JLTC 0039

Machine Translation (MT) has seen a significant surge in development and application due to advances in Artificial Intelligence (AI) and Natural Language Processing (NLP) technologies (Knight & Koehn, 2018). MT systems have the potential to streamline translation processes, saving both time and resources. However, when it comes to legal translation, MT faces several challenges and limitations, particularly for language pairs such as English and Indonesian. This article will discuss these challenges and provide examples to illustrate the inherent complexities of legal translation in this language pair.

As the demand for efficient and accurate translation grows, Machine Translation (MT) has emerged as a potential solution for various applications. However, when it comes to legal translation, particularly in the context of the English-Indonesian language pair, MT faces a unique set of challenges and limitations. In this article, we delve into these complexities, exploring the challenges and constraints of MT in legal translation and examining the potential future prospects for overcoming these hurdles.

Terminology and Ambiguity

Legal translation involves the use of specialized terminology and often requires a deep understanding of the legal systems and concepts in both the source and target languages (Čavoški, 2016). In the English-Indonesian language pair, there are numerous legal terms with no direct equivalents, which can lead to ambiguity if not properly understood and translated by the MT system. For instance, the English term “statutory rape” has no direct equivalent in Indonesian. An inexperienced MT system might translate it as “pemerkosaan yang diatur oleh undang-undang,” which literally means “rape regulated by law” – a misleading and unclear translation.

Syntax and Grammar

English and Indonesian have different grammatical structures, and MT systems might struggle to produce accurate translations that retain the meaning and nuances of the original text. For example, the English phrase “The judge granted the motion to dismiss the case” can be translated into Indonesian as “Hakim mengabulkan gugatan untuk menolak kasus tersebut.” However, an MT system might incorrectly translate it as “Hakim memberikan gerakan untuk menolak kasus,” which translates back to English as “The judge gave the movement to reject the case,” resulting in a confusing and incorrect translation.

Cultural Differences and Context

Legal systems are deeply rooted in the cultural and historical context of a country, and legal terms often reflect these contexts (Gémar, 1995). MT systems might fail to capture these nuances, resulting in translations that are culturally inappropriate or lack contextual understanding. For instance, the term “jury” in English refers to a group of people selected to render a verdict in a legal case. In the Indonesian legal system, there is no equivalent concept, as the country does not practice trial by jury. A direct translation by an MT system might result in a confusing or misleading text for Indonesian readers.

Accuracy and Reliability

Legal translation requires a high level of accuracy, as any mistranslations can lead to severe consequences, such as misinterpretation of laws, contracts, or court rulings (Borja Albi & Prieto Ramos, 2013). MT systems, even the most advanced ones, might still produce errors that could have significant implications in the legal context. For example, the English term “binding agreement” might be translated by an MT system into Indonesian as “perjanjian mengikat,” which means “an agreement that binds.” While this translation is not entirely wrong, it lacks the legal nuance and specificity needed in a legal context.

While MT has made significant advancements in recent years, its application in the field of legal translation remains limited, particularly for language pairs like English and Indonesian. Challenges such as terminology, syntax, grammar, cultural differences, and the need for high accuracy and reliability make it difficult for MT systems to fully replace human translators in this context. Future research and development in AI and NLP technologies might help to address these challenges and improve the performance of MT systems in legal translation.

Collaborative approaches, such as post-editing, where human translators review and edit machine-generated translations, can also help to harness the potential of MT while mitigating its limitations (Garcia, 2011). This hybrid approach can leverage the efficiency and speed of MT while maintaining the quality and accuracy that only human expertise can provide.

To overcome these limitations and ensure accurate legal translations, it is crucial to involve professional human translators with expertise in both the source and target languages, as well as a deep understanding of the legal systems and cultural contexts involved (Cao, 2007). Furthermore, integrating MT systems with translation memories, glossaries, and specialized legal dictionaries could also improve the quality of machine-generated translations (Bogucki, 2013).

Collaborative approaches, such as post-editing, where human translators review and edit machine-generated translations, can also help to harness the potential of MT while mitigating its limitations (Garcia, 2011). This hybrid approach can leverage the efficiency and speed of MT while maintaining the quality and accuracy that only human expertise can provide.

Ultimately, as MT technology continues to evolve, its role in legal translation might expand, and the challenges and limitations discussed in this article may be mitigated. However, for the foreseeable future, human expertise will remain an indispensable element in the legal translation process, particularly for complex language pairs such as English and Indonesian.

References

Bogucki, Ł. (2013). Areas and Methods of Audiovisual Translation Research. Peter Lang.

Borja Albi, A., & Prieto Ramos, F. (Eds.). (2013). Legal Translation in Context: Professional Issues and Prospects. Peter Lang.

Cao, D. (2007). Translating Law. Multilingual Matters.

Čavoški, A. (2016). Legal Translation in the EU: The Paradox of Multilingualism. In L. Cheng, K. Sin, & A. Wagner (Eds.), The Ashgate Handbook of Legal Translation (pp. 89-104). Routledge.

Garcia, I. (2011). Translating by Post-Editing: Is it the Way Forward? Machine Translation, 25(3), 217-237.

Gémar, J.-C. (1995). Traduire ou l’art d’interpréter: Fonctions, statut et esthétique de la traduction. Presses de l’Université du Québec.

Knight, K., & Koehn, P. (2018). Machine Translation: A Concise History. In J. Hutchins (Ed.), Early Years in Machine Translation (pp. 1-16). Springer.

Hermeneutika dan Orientasi Penafsiran Penerjemahan (Bagian 2)

Harris Hermansyah Setiajid

Universitas Sanata Dharma

JLTC 0039

Pada Bagian 1 disebutkan bahwa hermeneutika memberi batas antara penerjemah dan hasil terjemahannya. Bahkan, penerjemah bisa menjadi entitas tersendiri yang mungkin terpisah dari penulis teks sumbernya. Artinya, hasil alih bahasa yang dilakukan penerjemah merupakan penafsiran terhadap teks sumber. Penerjemahan, menurut Nida (1984) adalah mereproduksi dalam bahasa sasaran padanan alami yang paling dekat dari bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya. Di sini makna tampaknya menjadi pusat perhatian terjemahan, itulah sebabnya pemahaman dan interpretasi yang memadai selalu menjadi kriteria dalam menilai apakah sebuah terjemahan berhasil atau gagal.

Makna tidak pernah konkret dan nyata sehingga terjemahan makna hanya dapat mencapai semacam perkiraan saja, bukan ketepatan seperti yang diyakini oleh beberapa ahli. Ketika makna yang diterjemahkan menghasilkan respons yang sama atau serupa bagi pembaca sasaran seperti halnya pembaca asli, terjemahan, menurut Newmark (1982), dikatakan berhasil. Newmark (1982) mengatakan bahwa penerjemahan terkait dengan kesepadanan efek yang ingin dicapai bagi pembaca sasaran. Dengan kata lain penerjemahan tidak berusaha untuk mereproduksi ketepatan aslinya,  tetapi lebih pada pencapaian efek yang sama terhadap pembaca sasaran. Pernyataan ini didasarkan pada fakta bahwa banyak orang percaya bahwa terjemahan itu sendiri adalah tujuan, dan melayani tujuan tertentu. 

Penerjemahan melibatkan penguraian kode wacana teks asli dan menyusun kode ke dalam wacana teks sasaran, baik yang dilakukan oleh penerjemah maupun penafsir. Selama proses ini, kesetiaan atau akurasi yang mutlak hanyalah ilusi, atau pencapaian idealisme yang mustahil. Untuk mencapai efek atau dampak yang maksimal dari wacana teks asli dan untuk menghindari kegagalan komunikasi, akomodasi (dan pergeseran) dilakukan dengan berbagai alasan.

Mungkin kontribusi hermeneutika yang paling penting adalah fokusnya pada bahasa. Bahasa paling sering ditafsirkan dalam istilah metafora sebagai ‘saluran’, bahasa menjadi ‘saluran’ yang mentransfer pemikiran dari satu pikiran ke pikiran lain. Bahasa adalah media yang digunakan manusia menyampaikan pikiran yang ada dalam benaknya. Pemahaman bahasa ini telah memengaruhi metode komunikasi. Mengikuti teori bahasa ini, setiap orang didorong untuk bisa mengomunikasikan pikiran mereka agar lebih jelas, menarik, dan efektif.

Hermeneutika menekankan bahwa bahasa adalah saluran untuk menyampaikan makna. Gadamer (1972), misalnya, menganggap bahasa pada dasarnya bersifat percakapan. Bahasa, menurutnya, dicirikan terjadinya percakapan antar individu. Percakapan ini tidak harus selalu dilakukan secara lisan, tetapi bisa juga dilakukan secara tidak langsung melalui tulisan. Kata-kata tidak dimulai dari satu orang dan berakhir di orang lain. Sebaliknya, kata-kata ikut berperan dan dialami oleh para penutur. Bahasa pada dasarnya adalah percakapan, abstraksi fakta dan simbol yang teratur dan logis dengan makna yang terkandung di dalamnya untuk ditafsirkan.

Karena bahasa bukan tentang memahami makna orang lain, tetapi tentang mengambil bagian dalam percakapan, orientasi hermeneutika juga menawarkan pemahaman yang sangat berbeda dalam penerjemahan. Percakapan, meskipun lintas bahasa, selalu penuh makna dan pengertian.

Karena bahasa bukan tentang memahami makna orang lain, tetapi tentang mengambil bagian dalam percakapan, orientasi hermeneutika juga menawarkan pemahaman yang sangat berbeda dalam penerjemahan. Percakapan, meskipun lintas bahasa, selalu penuh makna dan pengertian.

‘Menafsirkan’ dan ‘memahami’ adalah kata kerja transitif; pemahaman, seperti interpretasi, memiliki objek. Satu di bawah berdiri sesuatu (x), atau satu gagal untuk memahaminya. Terkadang kita memahami sesuatu tanpa usaha, hanya karena kita telah memperoleh kemampuan yang diperlukan, dan tidak ada lagi yang dibutuhkan. Jadi, misalnya, kita memahami ucapan linguistik ‘Piss off!’ karena kita mengerti bahasa Inggris. Namun, seringkali, pemahaman membutuhkan usaha; ini terungkap dalam frasa seperti ‘mencoba untuk memahami’ atau ‘berjuang untuk memahami’ (Vendler, 1994). Ketika kita tidak dapat memahami sesuatu dengan segera, kita mungkin berusaha untuk memahaminya. Interpretasi x diperlukan bila ada kesulitan khusus dalam memahami x.

Kesulitan-kesulitan seperti tersebut di atas berbeda jenisnya (Rosenberg, 1981): (1) Jadi, kesulitan memahami x kadang-kadang disebabkan oleh kompleksitas intrinsik x; apa yang dibutuhkan dalam kasus seperti itu adalah semacam analisis atau dekomposisi (Ziff, 1972; Moravcsik, 1979), (2) Dalam kasus lain, x mungkin sulit dipahami karena tidak cocok secara koheren dalam konteks yang lebih besar; di sini yang diperlukan adalah semacam sintesis atau penyematan x dalam jaringan koneksi, (3) Dalam kasus lain, kesulitan memahami x mungkin merupakan pertanyaan tentang ketidakjelasan x, sehingga penelusuran batas yang cermat atau artikulasi yang lebih baik dapat membantu.

Ada tiga orientasi utama dalam kegiatan penerjemahan yang saling berkelindan dalam penafsiran dan pemaknaan. 

Nah, apakah ketiga orientasi tersebut? Kita bahas di Bagian 3 pada tulisan selanjutnya.

Pustaka

Moravcsik, J.M. (1979). Understanding. Dialectica 33, 201-216.

Nida, E. (1984). On Translation. Translation Publishing Corp.

Newmark, P. (1982). Approaches to Translation. Pearson Education Limited.

Rosenberg, J.F. (1981). On understanding the difficulty in understanding understanding. In: Parret, H., Bouveresse, J. (Eds.), Meaning and Understanding. de Gruyter, Berlin and New York, pp. 29–43.

Ziff, P. (1972). Understanding Understanding. Cornell University Press.