Harris Hermansyah Setiajid
Universitas Sanata Dharma
Anggota JLTC No. 0039
Hermeneutika berkembang menjadi pendekatan dalam berbagai bidang ilmu tak lama sejak kelahirannya. Dunia akademik membutuhkan pendekatan yang bisa mengurai kekusutan sebuah teks dengan cara menelusuri asal-usulnya. Hermeneutika dianggap bisa menjawab kebutuhan adanya pendekatan filosofis yang mampu menelisik teks secara komprehensif agar pemahaman terhadap teks tersebut bisa utuh.
Hermeneutika, secara singkat, dapat didefinisikan sebagai ilmu dan metodologi untuk menafsirkan teks. Latar belakang filosofis yang mendasari hermeneutika ditunjukkan oleh para pelopor di bidang ini seperti Gadamer. Menurut Gadamer (1960), kata-kata, yaitu pembicaraan, percakapan, dialog, tanya jawab, menghasilkan pemahaman. Berbeda dengan pandangan tradisional Aristoteles tentang bahasa, yaitu bahwa kata yang diucapkan mewakili gambaran mental, dan kata tertulis merupakan simbol untuk kata yang diucapkan, perspektif Gadamerian tentang linguistik menekankan kesatuan mendasar antara bahasa dan keberadaan manusia. Penafsiran tidak pernah dapat dipisahkan dari bahasa atau objektivitas. Karena bahasa datang kepada manusia dengan makna, interpretasi dan pemahaman tentang dunia tidak akan pernah bisa bebas prasangka. Sebagai manusia, seseorang tidak dapat keluar dari bahasa dan melihat bahasa atau dunia dari beberapa sudut pandang objektif. Bahasa bukanlah alat yang dimanipulasi manusia untuk mewakili dunia yang penuh makna; sebaliknya, bahasa membentuk realitas manusia (Bullock, 1997).
Penerjemah sebagai penafsir teks sumber
Tokoh penting lainnya dalam bidang hermeneutika ini adalah Schleiermacher yang konsep pemahamannya mencakup empati serta analisis linguistik intuitif. Dia percaya bahwa pemahaman tidak hanya menguraikan informasi yang dikodekan, tetapi bahwa penafsiran dibangun di atas pemahaman, dan memiliki momen gramatikal, serta psikologis. Dorongan gramatikal menempatkan teks dalam sastra (atau bahasa) tertentu dan secara timbal balik menggunakan teks untuk mendefinisikan kembali karakter sastra itu. Dorongan psikologis lebih naif dan linier. Di dalamnya, penafsir merekonstruksi dan menjelaskan motif subjek dan asumsi implisit. Jadi Schleiermacher (1998) mengklaim bahwa seorang penafsir yang sukses dapat memahami penulis dengan baik, sebagaimana atau bahkan lebih baik daripada, penulis memahami dirinya sendiri karena interpretasi menyoroti motif dan strategi tersembunyi.
Dilthey (2002), awalnya pengikut Schleiermacher, melangkah lebih jauh. Dia menekankan bahwa teks dan tindakan adalah produk dari waktu teks sebagai ekspresi individu, dan makna teks dibatasi oleh orientasi nilai-nilai masa itu dan pengalaman penulis teks tersebut. Oleh karena itu, makna digambarkan oleh pandangan dunia penulis yang mencerminkan periode sejarah dan konteks sosial. Pemahaman (verstehen), yang menjadi dasar hermeneutika metodologis, melibatkan penelusuran lingkaran dari teks ke biografi penulis dan keadaan sejarah. Penafsiran, atau penerapan sistematis pemahaman terhadap teks, merekonstruksi dunia tempat teks diproduksi dan bagaimana teks diposisikan.
Ide-ide modern tentang hermeneutika mengatakan bahwa penulis dapat menjadi editor sekaligus redaktur. Dalam mempertimbangkan aspek wacana ini, seseorang harus mempertimbangkan tujuan penulis ketika menulis lingkungan budayanya. Kedua, kita harus mempertimbangkan narator dalam tulisan yang biasanya berbeda dari penulis. Terkadang dia adalah orang yang nyata, terkadang fiksi. Penerjemah harus menentukan tujuannya berbicara dan lingkungan budayanya, dengan mempertimbangkan fakta bahwa ia mungkin ada di mana-mana dan mahatahu. Penerjemah juga harus mempertimbangkan narator dalam cerita dan bagaimana dia mendengar. Dan, penerjemah harus memperhitungkan orang yang dituju tulisan tersebut; pembaca, tidaklah selalu sama dengan orang yang dituju tulisan tersebut. Ketiga, Penerjemah harus mempertimbangkan latar penulisan, genre (apakah puisi, narasi, nubuat, dll), kiasan; perangkat yang digunakan, dan, akhirnya, plot (Hanko, 1991).
Penafsiran tidak pernah dapat dipisahkan dari bahasa atau objektivitas. Karena bahasa datang kepada manusia dengan makna, interpretasi dan pemahaman tentang dunia tidak akan pernah bisa bebas prasangka. Sebagai manusia, seseorang tidak dapat keluar dari bahasa dan melihat bahasa atau dunia dari beberapa sudut pandang objektif. Bahasa bukanlah alat yang dimanipulasi manusia untuk mewakili dunia yang penuh makna; sebaliknya, bahasa membentuk realitas manusia.
Dengan demikian hermeneutika memberi batas antara penerjemah dan hasil terjemahannya. Bahkan, penerjemah bisa menjadi entitas tersendiri yang mungkin terpisah dari penulis teks sumbernya. Artinya, hasil alih bahasa yang dilakukan penerjemah merupakan penafsiran terhadap teks sumber.
Nah, selanjutnya bagaimana orientasi penafsiran penerjemahan itu? Ikuti di Bagian 2!
ReferensiBullock, J. F. (1997). "Preaching in a Postmodern World: Gadamer's Philosophical Hermeneutics as Homiletical Conversation"
Dilthey, W. (2002). The Formation of the Historical World in the Human Sciences. Makkreel, R. A. and Rodi, F. (eds.). Princeton University Press.
Hanko, H.C. (1990, 1991). "Issues in Hermeneutics". Protestant Reformed Theological Journals. April and November, 1990, and April and November, 1991.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and Criticism. Bowie, A. (ed. and trans.). Cambridge University Press.