Catatan Kami

‘Dosa-dosa’ Yang Harus Dihindari Para Penerjemah (Pemula)

Oleh Christien Yueni

Jogja Literary Translation Club

Universitas Bandar Lampung (UBL) menyelenggarakan seminar daring bertajuk “Translation for Noobs” dengan menghadirkan Harris Hermansyah Setiajid dari JLTC dan Lily Handayani dari Universitas Sanata Dharma (20/11). Seminar berlangsung dengan hangat dan seru, diikuti sekitar 80 lebih peserta, yang berasal tak hanya dari UBL tetapi juga dari universitas atau insitusi lain di seluruh Indonesia.

Pada sesi pertama, Harris mengajak peserta untuk melihat kembali definisi terjemahan dan kompetensi yang harus dimiliki penerjemah. Menurutnya, secara ideal penerjemah sebaiknya memilik dua kompetensi inti yaitu kompetensi deklaratif (know what) dan kompetensi prosedural (know how). Selain itu, Harris juga memotivasi para penerjemah noobs (baca: newbies ‘pemula’) dengan menunjukkan institusi atau lembaga yang membutuhkan penerjemah dan juga potensi honor yang diperoleh.

Di akhir sesi dibeberkan ‘dosa-dosa’ yang harus dihindari penerjemah:

  1. Menerjemahkan secara literal, mengabaikan konteks. Konteks adalah roh sebuah teks, penerjemah yang gagal membaca konteks akan gagal pula mengalihbahasakan teks sumber ke bahasa sasaran. Oleh karena itu penerjemah harus memiliki pengetahuan luas untuk bisa membaca konteks.
  2. Tidak jujur kepada diri sendiri dengan ‘malu bertanya.’ Gengsi yang terlalu tinggi, dengan bersikap malu atau takut bertanya kepada orang lain yang lebih kompeten jika menemui tantangan akan membuat penerjemah mengalami kesulitan. Di zaman digital ini, bertanya bisa dilakukan dengan bertanya kepada mesin pencari.
  3. Menutup diri terhadap perkembangan bahasa. Bahasa adalah entitas yang hidup, produk budaya manusia yang terus berkembang seiring dengan peradaban manusia. Sikap penerjemah yang tidak mau terbuka terhadap perkembangan bahasa akan membuatnya outdated.
  4. Malas mencari padanan. Sikap malas dan complacent ini akan membuat hasil terjemahan menjadi kurang baik. Sebisa mungkin carilah padanan dalam bahasa sasaran, selain untuk membuat terjemahan terbaca seperti teks asli, juga akan memperkaya khazanah bahasa sasaran.
  5. Terlalu pede dengan terjemahan yang dihasilkan. Bertolak belakang dengan sifat ‘malu’ dan ‘takut’, sikap terlalu pede ini membuat penerjemah menutup diri terhadap kritik dan saran. Penerjemah sebaiknya selalu bersikap humble dan selalu siap menerima masukan dari orang lain.
  6. Tidak memberitahu klien ketika tidak bisa menepati jadwal. Ini akan berakibat fatal karena akan menggerus kepercayaan klien kepada kita. Usahakan ketika kita mulai bernegosiasi dengan klien, kita bisa memperkirakakan durasi proses penerjemahan kita sehingga jadwal bisa ditepati. Seandainya karena keadaan kahar yang memaksa membuat kita melanggar jadwal, beritahukan secepatnya kepada klien bahwa kita minta perpanjangan waktu.
  7. Berpikir menjadi penerjemah adalah jalan pintas menjadi kaya! Paradigma ini sebaiknya dihilangkan dari pikiran kita. Jika kita bekerja dengan sungguh-sungguh, menjadi kaya karena pekerjaan kita merupakan bonus!

Pada sesi berikutnya, Lily Handayani, mahasiswa tingkat akhir Universitas Sanata Dharma berbagi pengalamannya take-off sebagai penerjemah, yang diawali dengan kegiatan magang di sebuah perusahaan farmasi nasional. Di sana Lily menemui banyak tantangan karena berhadapan dengan teks-teks berisi istilah-istilah yang sama sekali bukan berasal dari latar belakang keilmuannya. Namun, dengan bersikap persistent dan tekun, Lily berhasil mengatasi tantangan tersebut.

“Berpikir menjadi penerjemah adalah jalan pintas menjadi kaya! Paradigma ini sebaiknya dihilangkan dari pikiran kita. Jika kita bekerja dengan sungguh-sungguh, menjadi kaya karena pekerjaan kita merupakan bonus!”

Setelah selesai magang, Lily langsung terjun di dunia penerjemahan profesional dengan menawarkan jasanya di Fiverr dan telah berhasil menggaet klien. Lily juga berhasil diterima menjadi penerjemah di Tomedes, sebuah agensi penerjemahan internasional yang mengalihbahasakan berbagai pasangan bahasa.

Menentukan Tarif Terjemahan

Oleh Christien Yueni

Jogja Literary Translation Club

Menentukan tarif terjemahan ini susah-susah gampang bagi penerjemah pemula karena belum tahu berapa harga yang pantas untuk jasa mereka. Para noob akan merasa insecure ketika menetapkan tarif terjemahan ini: kemahalan, gak ya? Kemurahan, gak ya? Nah, bagaimana cara yang tepat untuk memberi harga bagi jasa kita?

Sebagai penerjemah pemula, saya  awalnya juga kesulitan menentukan tarif yang ‘sesuai’ dengan kemampuan saya. Memang, HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia) telah memberikan acuan tarif terjemahan. Namun, apalah saya ini dibandingkan para penerjemah HPI yang sudah sangat terbukti kemampuannya. Dalam kebingungan itu, saya akhirnya menentukan tarif terjemahan versi saya dengan berpegang pada prinsip-prinsip yang saya yakini kebenarannya.

“Tarif Rp20K dengan klien yang terus berdatangan secara ajeg akan lebih bermanfaat dan menguntungkan daripada tarif Rp50K tetapi tidak ada lagi klien yang datang untuk waktu yang sangat lama.”

Berikut ini prinsip-prinsip yang saya gunakan:

  1. Jujurlah pada diri sendiri. Persoalan yang dihadapi para penerjemah pemula ini sebenarnya bisa diatasi dengan kejujuran pada diri sendiri. Artinya, dengan kemampuan menerjemahkan seperti ini, berapakah aku menghargai diriku? Kejujuran pada diri sendiri ini akan membuat kita humble, tidak sok-sokan jual mahal padahal kemampuan kita belum terbukti, tetapi juga tidak rendah diri karena tidak pede dengan hasil terjemahan kita.
  2. Lakukan riset tarif-tarif para penerjemah independen atau agensi. Dengan melihat tarif yang mereka publikasikan, kita akan bisa menentukan harga yang pas buat diri kita.
  3. Terima jika klien menawar harga yang kita publikasikan. Untuk mendapatkan reputasi dan pengakuan atas kualitas hasil kerja kita, pada awal usaha bersikaplah rendah hati. Jika klien menawar dengan harga yang masih reasonable, terima saja. Misalnya, jika kita mempublikasikan harga terjemahan kita Rp30K per lembar dan klien menawar harga Rp20K per lembar, maka terimalah tawaran itu untuk sementara. Kita anggap saja sebagai investasi dan promosi. Karena apabila klien puas dengan hasil terjemahan kita dengan harga yang mereka tawarkan, mereka akan mengiklankan kita ke teman-temannya.
  4. Prioritaskan turnover yang tinggi dulu. Semakin banyak terjemahan yang masuk kita, reputasi kita akan secara perlahan terbangun. Tarif Rp20K dengan klien yang terus berdatangan secara ajeg akan lebih bermanfaat dan menguntungkan daripada tarif Rp50K tetapi tidak ada lagi klien yang datang untuk waktu yang sangat lama.
  5. Jangan terlalu menghiraukan ‘harga pasar’ dulu. Terkadang para pemain lama akan ‘kesal’ kepada kita karena kita bisa memberikan harga bersaing dengan kualitas yang tak kalah dengan mereka. Untuk itu, ketika masih dalam tahap membangun reputasi dan relasi, telanlah ‘kekesalan’ dari para pemain lama.
  6. Belajarlah gaya pemasaran startup. Perusahaan rintisan (startup) seperti Gojek, Grab pada awal-awal penetrasi pasar mereka ‘membakar uang’ dengan memberikan tarif yang murah. Namun setelah klien menjadi tergantung pada mareka, pelan-pelan tarif dinaikkan. Begitu juga dengan penerjemah pemula, awalilah dengan ‘membakar tenaga’ untuk menarik klien. Ketika mereka telah loyal dan membutuhkan kita, tarif kita naikkan pelan-pelan.

Nah, itulah yang saya lakukan di awal-awal saya terjun ke dunia penerjemahan. Bahkan, dulu saya memberikan harga yang ‘sangat spesial’ untuk teman-teman yang saya kenal jika mereka meminta jasa saya. Sampai sekarang pun, jika ada yang meminta saya menerjemahkan setengah atau satu halaman yang tidak begitu menyita tenaga saya, saya berikan tarif jauh di bawah tarif publikasi saya, bahkan seringkali gratis! Saya percaya kebaikan akan menemukan jalan rezekinya sendiri.