Catatan Kami

6-6-6

Christien Yueni

Jogja Literary  Translation Club

Hari ini tepat 6 tahun lalu, Jogja Literary Translation Club  (JLTC) mulai menapakkan kakinya, mencoba menemukan eksistensinya di tengah dunia yang makin ramai dan gaduh. Menemukan eksistensi dan niche dalam dunia yang semakin penuh ini sangat tidak mudah karena banyak celah telah terjembatani dan banyak ceruk telah terisi. Namun, pemilihan penerjemahan sastra sebagai inti dari perkumpulan ini tampaknya telah menghasilkan buah yang patut disyukuri. Di tengah laju perkembangan teknologi dan kecerdasan artifisial, aktivitas penerjemahan mulai terambil oleh mesin. Penerjemahan sastra disebut sebagai benteng terakhir penerjemahan manusia seolah menegaskan relevansi misi dan visi JLTC.

Tulisan berikut ini  mencoba merekonstruksi perjalanan JLTC dari awal berdirinya 26-6-2016 hingga hari ini 26-26-2022 dengan membuat periodisasi JLTC, yaitu formatif, eksploratif, dan integratif.

Periode formatif

Periode ini menjadi basis berdirinya JLTC. Ditandai dengan diselenggarakannya kegiatan lokakarya penerjemahan sastra yang dipimpin oleh Rosemary Kesauly, JLTC mulai memperkenalkan dirinya menjadi sebuah perkumpulan yang ditujukan sebagai ajang bagi para penerjemah pemula untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman menerjemahkan. 

Perkumpulan penerjemah sebetulnya sudah banyak berdiri dan mapan. Namun, untuk mewadahi para penerjemah pemula yang kadang masing ragu untuk bergabung ke dalam perkumpulan penerjemah mapan diperlukan semacam bridging agar bisa lebih percaya diri. Periode formatif ini merupakan momen bagi JLTC untuk membentuk dirinya, melihat yang bisa dilakukan, dan merencanakan langkah selanjutnya berdasarkan evaluasi.

Periode formatif ini menjadi tahun-tahun yang cukup berat bagi JLTC terutama terkait masalah kontinuitas pendanaan dan kegiatan yang bisa dilakukan. Namun, dukungan dari para anggota awal  JLTC membuat perjalanan formatif ini mulai menemukan momentumnya. Didukung penuh oleh Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, JLTC memulai kegiatannya berskala nasional dengan menyelenggarakan seminar penerjemahan pertama bertema “Mernilik Ulang Teori dan Praktik Penerjemahan.” Kesuksesan acara ini menebalkan keyakinan  kami bahwa kami telah berada di jalur yang tepat. Kekhawatiran tentang bagaimana format JLTC mulai menemukan penenangnya.

Periode eksploratif

Dengan keyakinan diri yang makin tebal seiring dengan makin banyaknya minat untuk menjadi anggota, JLTC mulai merancang acara dan juga konten-konten media sosial untuk menegaskan postur JLTC sebagai sebuah perkumpulan penerjemah yang bisa ikut berbicara dan menyumbang demi kemaslahatan dunia penerjemahan. Pada periode ini, yang kami sebut juga sebagai periode coba-coba, kami melebarkan ‘sayap’ dengan merambah bidang-bidang yang secara langsung tidak terkait dengan penerjemahan, seperti acara ‘JLTC Education’, dan bahkan ‘JLTC Extended’, sebuah acara yang sangat jauh dari rel penerjemahan! Periode eksploratif ini membuka mata kami, sebenarnya banyak bidang yang bisa kami rambah, namun keterbatasan tenaga kami membuat keajegan acara tidak bisa terjaga. Dalam evaluasi ditemukan bahwa kegiatan yang tidak begitu terkait dengan penerjemahan akan menguras tenaga kami   dan membuyarkan konsentrasi kami untuk mengadvokasi para penerjemah. Bergabungnya para penerjemah kawakan menjadi anggota JLTC membuat kami menyadari bahwa kami memiliki aset yang sangat berharga yang bisa kami manfaatkan untuk mengadvokasi penerjemah pemula sekaligus menyumbang bagi perkembangan penerjemahan. Dalam periode eksploratif ini, JLTC mengundang para pembicara berkaliber internasional seperti John McGlynn (Lontar Foundation), Haru Deliana Dewi (Universitas Indonesia), dan Dono Sunardi (Universitas Ma Chung). Kehadiran para pakar dalam seminar yang diselenggarakan JLTC dan disambut secara antusias mewarnai periode ini.

Periode integratif

Pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 mengacaukan semua rancangan acara yang disusun JLTC untuk mengembangkan dirinya. Namun, pandemi ini juga memaksa kami untuk membuat acara yang bisa dilakukan secara jarak jauh. Selain itu, pandemi ini juga semakin menyadarkan kami pentingnya situs web sebagai anchor bagi semua media sosial JLTC. Situs web ini berisi ‘Kontribusi Komunitas’ yang berisi artikel-artikel tulisan para anggota JLTC, ‘Teori Penerjemahan’ yang mengulas teori penerjemahan secara ringkas dan mudah dipahami, hasil penelitian terjemahan para anggota JLTC, dan Direktori Penerjemah JLTC yang memudahkan klien untuk mencari penerjemah yang mereka ingini. Untuk mengatasi kekosongan acara akibat batalnya berbagai acara yang kami susun, kami membuat acara interaktif agar JLTC tetap dekat di hati anggota sambil sekaligus reaching out  kepada calon anggota. Acara ‘Yemi & the Alumni’ hadir mengisi kekosongan tersebut dengan mengundang alumni yang bekerja di beragam bidang pekerjaan. Untuk mengakomodasi dan semakin mengenalkan anggota JLTC kami membuat acara ‘Emerging Translator’. Periode integratif ini juga membuat kami untuk kembali ke bisnis inti kami, yaitu penerjemahan. Beberapa kegiatan yang tak lagi terkait dengan penerjemahan kami hapus. JLTC juga merasa perlu untuk mengukuhkan dirinya sebagai badan hukum untuk membuat langkah-langkah kami lebih legal. Pada tanggal 21 Desember 2021 JLTC diakui keberadaannya oleh negara dengan terbitnya SK Menkumham RI. Berbekal SK tersebut JLTC bisa melapangkan geraknya dan kini bisa merambah ke bisnis penerbitan buku. Periode integratif ini menjadi momen penting bagi JLTC untuk kembali ke khittahnya sebagai perkumpulan penerjemah.

Hari ini tanggal 6 bulan 6, JLTC tepat berusia 6 tahun. Angka 666 dalam Kekristenan, seperti termuat dalam Kitab Wahyu Bab 13, dipercaya sebagai the number of beasts, makhluk jahat (atau Antikristus) yang akan muncul menjelang hari kiamat. Namun, bagi kami di JLTC, angka 666 adalah angka yang harus kami syukuri, karena kami bisa survive and thrive, semakin kuat dan percaya diri untuk melangkah ke tahun-tahun selanjutnya yang kami percaya akan semakin banyak tantangan dan hambatan.

Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh anggota JLTC yang selalu setia dan mendukung keberlangsungan perkumpulan ini. Teriring salam hangat dari kami pengurus JLTC.

Take-Off and Soar…

Christien Yueni

Jogja Literary Translation Club

Mengambil tajuk “Taking-Off as a Translator”, Universitas Bandar Lampung melanjutkan rangkaian webinar Becoming a Translator Series, Rabu (30/3/22). Episode kedua ini melanjutkan episode sebelumnya tahun lalu yang mengambil tajuk “Translation for Noobs.”

Episode kedua ini masih menghadirkan Harris Hermansyah Setiajid, co-founder JLTC, dengan ditemani Alma Anindita, mahasiswa Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma sekaligus pendiri convertio.co, biro jasa terjemahan yang cukup terkenal di Yogyakarta. Webinar episode kedua yang dipandu Ratu Nizatun ini dibagi menjadi dua sesi. 

Pada sesi pertama, Harris menyegarkan ingatan para peserta webinar isi episode kesatu tentang hal-hal yang harus dihindari penerjemah. Selanjutnya, ia mengetengahkan prinsip-prinsip penerjemahan yang diadopsi dari Alan Duff (1989). Prinsip-prinsip tersebut meliputi:

  1. terjemahan harus bisa mengantarkan makna teks sumber secara akurat,
  2. kalimat dan gagasan harus tersusun semirip mungkin dengan teks sumber,
  3. level formalitas tetap dipertahankan,
  4. terjemahan harus terasa ‘alami’ bagi pembaca sasaran,
  5. terjemahan tidak mengubah gaya teks sumber,
  6. ekspresi idiomatis bisa tidak diterjemahkan, diterjemahkan dengan penjelasan literal, atau diterjemahkan dengan mengubahnya menjadi non-idiomatis.

The Triumphs and the Challenges

Pada sesi kedua, Alma Anindita berbagi kisah membangun translation service-nya hingga berkembang seperti sekarang ini. Alma menyebutnya sebagai the triumphs and the challenges. Dua sisi ini akan selalu dialami oleh para penerjemah yang membuat dinamika dalam kehidupan mereka.  Di sisi the triumphs, Alma menyebut ucapan terima kasih dari klien sebagai tanda puas sudah bisa make her day, selain tentu saja cash and coins yang mengikutinya. Selain itu, kesempatan baru akan semakin terbuka dengan adanya interaksi dengan klien.

Di sisi the challenges, Alma mengeluh karena ada juga klien yang tidak responsif sehingga menghambat ritme pekerjaan. Hal lain yang menjadi tantangan adalah tenggat yang ketat. Sebagai profesional, Alma menekankan, pentingnya untuk tidak melanggar tenggat. Ketepatan waktu menunjukkan profesionalitas kita. Akuntabilitas terhadap pekerjaan juga harus kita jaga 100%. 

Selanjutnya Alma memberikan contoh-contoh materi yang biasa diterjemahkannya dan workflow pekerjaannya.

Webinar episode kedua yang disambut cukup antusias peserta ini diakhiri dengan sesi tanya jawab. Yanuarius Yanu Dharmawan sebagai penanggung jawab  dari Universitas Bandar Lampung menutup acara. Setelah webinar ini diharapkan para peserta bisa take off and soar high dalam meniti karier penerjemahan mereka.

Sampai jumpa di episode ketiga dalam rangkaian Becoming a Translator Series!