May 25, 2023

Penerjemahan Karya Sastra (Catatan Tersisa dari Webinar HPI oleh Anton Kurnia)

Nova Natalia Heryadi (JLTC 0239)

& Jeanne Klau (JLTC 0241)

Anton Kurnia adalah  penerjemah serta penulis buku professional yang telah menerjemahkan lebih dari 80 buku termasuk esai, novel, cerita pendek, serta telah berkutat dalam dunia penerjemahan sejak tahun 1997. Dalam paparannya di webinar HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia) tentang dunia penerjemahan karya sastra, ia menyatakan bahwa dalam menerjemahkan sebuah karya sastra bisa dikatakan lebih kompleks daripada karya atau teks lainnya karena membutuhkan teknik-teknik khusus yang harus dipertimbangkan.

Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa menerjemahkan berarti memahami suatu sumber teks dalam suatu bahasa untuk direproduksi kepada bahasa lain agar pembaca memahami makna, nuansa, bahkan pesan-pesan yang tersirat dan tersurat. Namun, yang lebih penting dari menerjemahkan karya sastra adalah keberhasilan dalam menyampaikan gagasan dengan hasil yang mengalir dan tidak kaku karena terjemahan merupakan suatu bentuk komunikasi kepada para pembaca.

Isi dan bentuk

Penerjemahan teks karya sastra juga terbagi dalam dua aspek penting yaitu, isi dan bentuk. Isi merupakan hal yang terkait dengan gagasan, sedangkan bentuk adalah bagaimana suatu karya itu disampaikan. Dalam hal ini, seorang penerjemah harus teliti dalam melihat isi dan bentuk teks karna hal yang terpenting dalam teks sastra bukanlah hanya cerita dan makna tetapi, bentuk yang disengaja oleh pengarang itu tersampaikan di dalam teks terjemahan.

JAWI, 4 prinsip penerjemahan sastra

Tidak hanya itu, penerjemah karya sastra pun diharapkan menghasilkan teks terjemah yang mempunyai empat prinsip penting antara lain Jernih, Akurat,Wajar (natural), Indah (estetis). Indah dalam terjemahan tidak selalu liris atau kata kata puitis, tapi indah ada pada kebrutalannya. Namun, untuk meraih prinsip tersebut, penerjemah karya sastra akan melewati berbagai macam masalah, prosedur, dan teknik-teknik. Masalah utama yang akan dihadapi oleh penerjemah karya sastra adalah perbedaan struktur bahasa sumber dan bahasa tujuan. Hal ini dikarenakan setiap bahasa mempunyai strukturnya sendiri. Untuk itu, penerjemah diharapkan untuk tidak menerjemahkan kata per kata tetapi harus menerjemahkan konteks dan makna pada pesannya agar hasilnya natural. Selanjutnya, penerjemah akan melewati masalah karena perbedaan budaya. Bekal pengetahuan yang luas akan kultur dan konteks dari teks sumber ke teks tujuan pun menjadi solusi dari masalah ini. Selain itu, masalah ada pada keindahan yang diciptakan oleh penerjemah melalui ritme yang dipakai. Masalah ini membuktikan bahwa penerjemahan teks sastra bukan menerjemahkan pesan tetapi menciptakan karya baru dalam bahasa tujuan. Masalah yang terakhir ada pada diksi atau pemilihan kata yang terkait dengan nuansa agar membentuk ritme dan melahirkan efek bunyi. Penerjemah tetap harus menghormati penulis asli karena penerjemahan teks sastra bukan client oriented tetapi author oriented yang seringkali penerjemah harus mengadakan diskusi atas pemilihan kata dengan penulis aslinya.

Prosedur dan teknik penerjemahan sastra

Masalah-masalah tersebut mengiring penerjemah untuk mengaplikasikan prosedur yang akan memudahkan proses penerjemahan. Prosedur yang seringkali dijalankan adalah menganalisis atau memahami teks. Penerjemah diharapkan membaca serta mencari referensi terkait teks tersebut untuk mendapatkan pesan yang tersirat dan tersurat di dalamnya. Langkah tersebut tidak  boleh terlewatkan karena dengan membaca, penerjemah bisa memperkaya kosakata dan melahirkan tulisan yang indah. Penerjemah kemudian bisa langsung melakukan proses transfer atau pengalihan makna. 

Langkah yang terakhir, penerjemah melakukan tahap restrukturisasi atau  yang akan menghasilkan perubahan-perubahan pada teks tujuan agar maknanya tersampaikan kepada pembaca.

Dalam melakukan penerjemahan, terdapat teknik-teknik yang dipakai oleh penerjemah yaitu transposisi, parafrase, penerjemahan deskriptif, penjelasan tambahan, menambahkan catatan kaki, penerjemahan fonologi, dan serapan budaya. Transposisi merupakan teknik penerjemahan yang mengubah struktur pada kalimat-kalimat dari bahasa sumber ke bahasa tujuan. Sedangkan, parafrase merupakan teknik yang memberikan padanan kata pada teks tujuan dengan frasa berbeda, tapi mempunyai makna yang sama. Kemudian, penerjemahan deskriptif atau pemberian uraian digunakan pada saat penerjemah sulit menemukan padanan kata. Teknik selanjutnya adalah memberikan penjelasan tambahan yaitu memberikan tambahan kata untuk memberi padanan makna. Sedangkan serapan budaya sebagai teknik yang terakhir berarti budaya yang ada dalam bahasa sumber diterjemahkan dalam budaya yang terdapat pada bahasa tujuan.

Penyuntingan teks sastra terjemahan

Hal yang sering dianggap tidak terlalu penting namun tak kalah krusial adalah menyunting. Menyunting sebuah karya terjemahan diperlukan agar bisa menyajikan sebuah karya terjemahan yang tepat dan sesuai. Namun, teknik menyunting ini sebaiknya dilakukan diakhir proses penerjemahan agar penerjemah bisa fokus dengan isi teks yang hendak diterjemahkan. Sejatinya, penerjemah harus merupakan seorang pembaca sama seperti penulis. Dengan membaca, kosa kata akan diperkaya dan semakin indah. Oleh karena itu, senang membaca merupakan hal wajib yang harus dimiliki seorang penerjemah.

Di era globalisasi, semakin banyak peluang dalam bidang penerjemahan. Ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya yaitu menerbitkan karya terjemahan di penerbit. Penerjemah bisa menawarkan karya mereka ke penerbit-penerbit buku yang ada. Selanjutnya, penerjemah juga bisa bekerja sama dengan lembaga kebudayaan untuk menghasilkan karya terjemahan. Selain itu, ada situs-situs sastra digital yang menerbitkan karya terjemahan seperti Words without Border yang  memberikan peluang bagi penerjemah untuk berkarya. Jurnal sastra luar dan dalam negeri serta terlibat kerja sama dengan instansi pemerintah pun juga bisa dijadikan peluang bagi para penerjemah.