Memahami Skopostheorie

Harris Hermansyah Setiajid

Penikmat Buku-buku Terjemahan

Anggota JLTC No. 0039

Hans J. Vermeer

Skopostheorie berasal dari bahasa Yunani “skopos” yang artinya “tujuan”. Istilah ini diperkenalkan oleh Hans J. Vermeer  tahun 1970an sebagai istilah teknis untuk menggambarkan tujuan penerjemahan dan kegiatan penerjemahan.

Teori ini kemudian dikembangkan oleh Vermeer dan Katharina Reiss pada tahun 1984 dalam buku mereka yang terkenal berjudul Towards a General Theory of Translational Action.

Katharina Reiss  telah dikenal dengan pendekatannya dalam penerjemahan berdasarkan tipe-tipe teks yang dibaginya menjadi empat, yaitu (1) ekspresif, (2) informatif, (3) operatif, dan (4) multimodal. Dalam segitiga tipe teksnya, Reiss mengidentifikasi adanya beragam jenis teks bauran (hybrid) yang membutuhkan pendekatan berbeda. Tipe teks Reiss ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan yang berbeda.

Skopostheorie menyatakan bahwa tindakan translasional (translational action) harus dinegosiasikan dan dilakukan untuk mencapai tujuan dan membuahkan hasil yang diinginkan. TSa (yang disebut Vermeer sebagai Translatum) harus bisa memenuhi dan sesuai dengan tujuan penerjemahan, serta harus adekuat secara fungsional (functionally adequate)Berdasarkan Skopostheorie, kegiatan penerjemahan harus memerhatikan dua hal berikut ini: (1) mengapa TSu harus diterjemahkan, dan (2) apa fungsi TSa pada pembaca sasaran.

Aturan  Skopostheorie

  1. Tindakan translational ditentukan oleh skopos.
  2. Terjemahan adalah tawaran informasi dalam budaya dan bahasa sasaran tentang tawaran informasi dalam budaya dan bahasa sumber.
  3. TSa tidak memulai tawaran informasi yang bisa dibalikkan.
  4. TSa harus koheren secara internal.
  5. TSa harus koheren dengan TSu.
  6. Lima aturan tersebut berada dalam urutan hierarkis, tidak bisa dibolak-balik, dengan aturan skopos yang mendominasi semua aturan.

Penjelasan aturan Skopostheorie

  1. Skopos menjadi faktor penentu dalam kegiatan penerjemahan.
  2. TSu dan TSa memiliki fungsinya dalam konteks linguistik dan budaya masing-masing. Penerjemah menjadi pemain kunci dalam proses komunikasi antarbudaya dan produksi Translatum (TSa).
  3. Fungsi TSa dalam budaya sasaran tidak harus sama dengan fungsi TSu dalam budaya sumber (bdk. efek kesepadanan Nida)
  4. Keberhasilan TSa dinilai dari adekuasi fungsionalnya (aturan koherensi)
  5. Keberhasilan TSa dinilai dari adekuasi fungsionalnya (aturan kesetiaan, koherensi antarteks dengan TSu)
  6. Urutan aturan ini bersifat hierarkis, artinya semakin ke bawah, aturan kalah penting dari aturan di atasnya.

Aturan Koherensi dan Kesetiaan

Karena aturan dalam Skopostheorie ini bersifat hierarkis, aturan ke-5 yang mensyaratkan koherensi antarteks antara TSa dan TSu kalah penting dari aturan 4 tentang koherensi internal.

  1. Aturan koherensi: TSa harus koheren dengan situasi pembaca TSa. TSa harus diterjemahkan sedemikian rupa sehingga bisa diterima pembaca sasaran. Terjemahan dikatakan adekuat, jika bisa memenuhi tujuan.
  2. Aturan kesetiaan: harus ada koherensi antara TSa dan TSu dengan indikator sbb: (a) koherensi informasi TSu yang diterima penerjemah, (b) koherensi penafsiran penerjemah terhadap informasi TSu, dan (c) koherensi informasi yang disampaikan kepada pembaca sasaran.

Karena urutan hierarkis, penerjemah harus lebih memprioritaskan pemenuhan tujuan TSa terlebih dahulu, baru kemudian mempertimbangkan aturan kesetiaan.

Skopostheorie memungkinkan teks yang sama diterjemahkan ke dalam beragam versi tergantung pada tujuan TSa dan commission (komisi) yang diberikan kepada penerjemah. Oleh karena itu, agar kegiatan penerjemahan sesuai dengan TSa yang diinginkan, skopos harus dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam sebuah commission, yang isinya mencakup (1) tujuan, (2) syarat dan ketentuan yang mengatur bagaimana tujuan tersebut dicapai (termasuk tenggat, biaya, honor, dsb).

Teks sasaran ditentukan oleh komisi, dan adekuasi digunakan sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan penerjemahan.

Veermer mengatakan bahwa jika TSa memenuhi tujuan yang digariskan dalam commission, terjemahan tersebut disebut sebagai functionally and communicatively adequate.

Contoh sebuah teks bisa diterjemahkan ke dalam dua versi:

“And Abraham was commanded to sacrifice his beloved son, Isaac, to prove his total obedience to God.”

Commission 1: penerbit meminta penerjemah melakukan terjemahan untuk pembaca Kristen.

“Dan Abraham diperintahkan untuk mengorbankan putra kesayangannya, Ishak, untuk membuktikan ketaatannya kepada Tuhan.”

Commission 2: penerbit meminta penerjemah melakukan terjemahan yang bisa diterima pembaca Muslim.

“Dan Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan putra kesayangannya, Ismail, untuk membuktikan ketaatannya kepada Tuhan.”

Berdasarkan commission yang diberikan, penerjemahan tersebut dikatakan sebagai functionally and communicatively adequate, karena bisa melayani dua jenis pembaca sasaran yang berbeda, walaupun di Commission 2 ada perubahan signifier, yaitu Isaac (Ishak) menjadi Ismail.

Vermeer dengan Skopostheorie-nya berhasil menunjukkan pentingnya audience design sebelum dilakukan translational action sehingga teks yang akan diterjemahkan menjadi tepat sasaran dengan tingkat keberterimaan yang tinggi.